Niat hati berangkat lebih awal untuk menghindari Handes tapi ternyata pria itu sudah berdiri di dekat pintu masuk karyawan.
"Kamu datang lebih awal dari biasanya."
Harsya terus berjalan, ia tidak menanggapi ucapan pria itu dan ia berjalan tanpa menoleh ke arahnya saat lewat di depannya.
"Harsya, aku marah padamu." Handes berjalan mengikuti Harsya. "Kamu tidak mengangkat telepon dan tidak membalas pesan yang aku kirimkan."
Harsya masih diam, ia masih enggan untuk berbicara dengan Handes.
Tak terima di acuhkan, Handes menarik tangan Harsya dan menyeretnya masuk lift pribadinya.
"Apa yang kamu lakukan!" Harsya berteriak kesal saat mereka sudah berada di dalam lift.
"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan?!" Handes tak mau kalah, ia berbicara cukup keras hampir membentak.
"Aku rasa, hubungan kita harus diakhiri." Harsya menatap Handes dengan tatapan sungguh-sungguh.
"Putus maksud kamu?"
Handes tersenyum tipis. Namun, senyuman itu justru membuat Harsya merinding. Meski takut, Harsya mengiyakan pertanyaan pria itu. "Ya. Kita putus."
"Baiklah."
Tubuh Harsya rasanya kaku dan hatinya hancur. Ia tidak menyangka jika Handes setuju dengan ucapannya begitu mudah.
"Kita putus?" Harsya ingin memastikan. Meski ia sendiri yang pertama kali melontarkan keinginan itu.
"Kamu yang inginkan."
"Maksud aku...."
Harsya bingung, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mencintai Handes tapi ia juga ingin lepas dari jeratan pria itu. Pria yang egois dan maha benar.
"Maksud kamu?" Handes menunggu kelanjutan ucapan Harsya tapi wanita itu justru terlihat melamun.
"Ya, kita putus." Harsya berucap lemah. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia hanya berdoa, keputusannya kali ini tepat tapi entah mengapa hatinya seakan tidak setuju dengan keputusannya saat ini.
Handes tidak berbicara lagi, ia hanya berdasar di dinding lift sembari menatap Harsya.
Putus? Tentu Handes tidak setuju tapi ia tetap mengiyakan keinginan Harsya karena ia bukan tipikal pria yang suka mengejar wanita.
"Keluarlah!" Handes menunjuk ke arah pintu lift yang kini telah terbuka.
Harsya ragu tapi ia tetap melangkah keluar lift sambil melihat ke arah Handes yang sepertinya tidak akan mengikutinya keluar.
"Putus." Harsya menutup mulutnya bersamaan dengan pintu lift yang tertutup kembali.
Air mata Harsya menetes dan ia berusaha menutup mulutnya menggunakan tangan lebih kuat lagi supaya Isak tangisnya tidak terdengar oleh orang lain.
Harsya pikir semua akan membaik saat ia putus dengan Handes tapi nyatanya ia tidak baik-baik saja. Hatinya terasa sangat perih.
"Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" Wira menghampiri Harsya yang terlihat sangat menyedihkan.
Wira adalah salah satu teman kantor Harsya dan mereka bekerja di devisi yang sama. Tak jarang juga, Wira dan Harsya menjadi best team di devisinya.
"Aku tidak apa-apa." Harsya buru-buru menghapus air matanya. Ia tidak ingin ada orang kantor yang tahu hubungan antara dirinya dan Handes yang notabene menjadi atasannya.
"Ikutlah bersamaku sarapan. Mungkin perasaan kamu akan membaik."
"Tidak, terima kasih." Saat ini Harsya tidak merasa lapar sama sekali meski ia belum sarapan.
"Ayolah, Sya. Kita sarapan."
Wira meraih tangan Harsya dan mengajaknya ke kantin. Namun, langkah Wira terhenti karena Handes menghalanginya.
"Pagi, Pak." Wira melepaskan tangan Harsya dan menyapa Handes sopan.
"Siapa namamu?" Handes tidak menampilkan senyum sama sekali di wajahnya.
Awalnya Handes kembali karena ingin mengajak Harsya membicarakan lagi hubungan tentang mereka tapi saat ia keluar lift, ia melihat Harsya tengah bersama pria lain.
Handes tahu, mereka hanya mengobrol biasa tapi tiba-tiba pria itu meraih tangan Harsya dan ia tidak terima.
Handes tidak suka. Apa yang sudah menjadi miliknya disentuh oleh orang lain.
"Wira, Pak."
Wira bingung dan canggung tapi ia berusaha untuk menjaga sikapnya supaya terlihat meyakinkan di hadapan atasan.
"Datang ke ruanganku setelah jam makan siang nanti."
"Baik, Pak."
Handes pergi. Namun, ia masih sempat melirik ke arah Harsya yang menunduk dan tidak melihat ke arahnya sama sekali.
"Astaga Harsya, aku ngeri dengan atasan kita ini. Kenapa ada orang sedingin dan sekaku itu." Wira mengusap-usap dadanya sendiri untuk menetralkan detak jantungnya yang tidak karuan setelah memastikan Handes sudah pergi.
Harsya setuju. Handes memang pria dingin dan kaku kadang sikap Handes yang seperti itu membuatnya membeku dan menggigil.
![](https://img.wattpad.com/cover/360264079-288-k25289.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Tears
RomancePria itu yang mengatakan cinta padanya dan pria itu juga yang terus membuatnya menangis. "Apakah cinta sesakit ini?" Harsya merasa bodoh, ia terjerat dalam sebuah cinta yang toxic. Ia sadar sepenuhnya tapi ia tak bisa lepas dari jeratan Handes, pria...