Buah Simalakama

73 25 6
                                    

"Akhirnya kamu sampai juga, Sya. Aku menunggu berkas-berkas itu." Wira menghampiri Harsya yang baru saja sampai.

"Maaf tadi sedikit macet di jalan." Harsya menyerahkan map berkas-berkas itu pada Wira.

"Tidak apa-apa." Wira menerimanya tapi dahinya mengerut melihat wajah Harsya yang terlihat sedih dan matanya sembab. "Kamu habis menangis? Sebenarnya sedang ada masalah apa kalau aku boleh tahu?"

"Tidak. Aku tidak ada masalah, aku hanya sedikit tidak enak badan."

"Astaga, Sya. Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kamu sedang tidak enak badan." Wira merasa tak enak karena telah meminta Harsya untuk pergi meminta tanda tangan padahal dia sedang sakit.

"Sungguh, aku tidak apa-apa. Tidak usah meminta maaf." Harsya menghindari Wira, ia memilih untuk duduk di kursinya dan berusaha untuk mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan miliknya.

Wira melihat Harsya dan memperhatikannya sejenak lalu ia juga kembali ke kursinya untuk melanjutkan pekerjaannya.

🍂🍂🍂

"Bagaimana, Han? Kamu setuju dengan ucapanku? Harsya tidak akan pernah menjadi milikmu."

Orion mengulangi ucapannya, Harsya tidak akan pernah menjadi milik Handes jika pria itu tidak mau berusaha.

"Aku bisa saja nekad menikahi Harsya dan memperjuangkannya."

"Lalu kenapa kamu tidak lakukan itu?"

"Aku tidak ingin menyeret Harsya masuk dalam masalah."

"Harsya tidak akan merasa hidup bersama kamu adalah sebuah masalah. Aku yakin dia akan bahagia jika akhirnya kalian bisa bersatu."

"Kamu jangan lupakan sifat ayahku yang keras kepala dan penuh ambisi. Dia akan membuat banyak masalah untuk hidupku dan Harsya. Mungkin fokusnya tidak lagi menyakitiku secara langsung tapi dia akan gunakan Harsya sebagai senjatanya supaya aku mau bertekuk lutut dan bersedia menjadi bonekanya."

"Ah ya, kamu benar." Orion setuju, ayah Handes mungkin bisa saja menerima Harsya tapi dia pasti akan menggunakan Harsya untuk membuat Handes patuh. Sedangkan yang ia tahu, Handes tidak suka diatur atau perintah.

"Aku tidak mau ayahku menyakiti Harsya, aku tidak mau orang-orang yang membenciku melampiaskannya pada Harsya. Aku tidak mengikatnya lebih jauh karena aku ingin membuat dia aman."

"Apa yang kamu lakukan sudah benar tapi kamu juga salah."

"Salah?"

"Ayolah, Han. Gunakan otakmu."

"Aku tidak paham?" Handes melihat ke arah Orion untuk meminta penjelasan.

"Kamu bilang tidak ingin mengikat Harsya lebih jauh. Maksud kamu menikah, bukan?"

"Tentu saja. Aku tidak akan mengikat Harsya dengan pernikahan karena sudah sangat jelas, jika aku menikah dengannya, dia akan menjadi bagian hidupku dan kelemahanku."

"Kamu tidak menikahinya tapi kamu sudah tidur dengannya. Sama saja kamu sudah mengikatnya, Han. Coba pikirkan, bagaimana jika Harsya hamil?"

"Kau benar." Handes terdiam, kenapa ia tidak berpikir sejauh itu. Ia tidak memikirkan bagaimana jika Harsya hamil. Tidak mungkin jika ia tidak menikahinya. Ia tidak mau, anaknya lahir tanpa ayah tentunya.

"Makanya, berpikirlah sebelum bertindak."

Handes mengusap wajahnya kasar. Ia tak mampu berpikir logis saat bersama Harsya. Ia hanya berpikir bagaimana caranya menghabiskan waktu bersama wanita itu. Ia merasa ingin selalu berdekatan dan memadu cinta bersama. Harsya seperti candu yang memabukkan baginya.

"Aku tidak tahu."

Perpisahan yang Harsya tawarkan memang cara terbaik untuk menjauhinya tapi Handes tidak bisa jika harus berjauhan dengan Harsya. Ia ingin selalu berada di dekat Harsya. Ia pun tidak akan rela jika nantinya Harsya menjalin hubungan dengan pria lain.

"Jika kamu tidak mau berjuang, lepaskan Harsya."

Handes tidak tahu, hatinya kacau. Ia tidak ingin menyeret Harsya kedalam masalah hidupnya tapi ia juga tak bisa melepaskan Harsya dari hidupnya.

Pilihan yang ia ambil terasa seperti buah simalakama, keduanya tidak ada yang baik menurut Handes. Kedua pilihan itu dapat membunuhnya. Membunuhnya melalui Harsya dan membunuhnya kalau harus hidup tanpa Harsya.

Love and Tears Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang