Dalam setiap penulisanku, jika ada yang salah, jangan sungkan buat mengingatkan ♥️🔥
Napasku tercekat saat mendengarnya, usiaku memang sudah terbilang cukup untuk menikah, tapi bukan berarti harus dijodoh-jodohkan bukan? Kenapa orang tuaku bersikap terburu-buru seperti ini.
Mereka tidak memahami perasaanku, lagi pula nantinya pernikahan itu aku yang harus menjalaninya, bahkan pria yang kini duduk bersebrangan denganku di sofa belum tentu bisa menjadi imam yang baik untukku, aku tidak mengenalnya.
"Kau harus segera menikah, Charlotte."
"Tapi aku bisa memilih calon untukku sendiri, bagaimana bisa kalian memilihkanku calon tanpa aku tahu dia siapa, bagaimana keluarganya, bagaimana agamanya, kalian tidak mengerti perasaanku!" Aku meninggikan nada bicara pada orang tuaku, sesaat muncul rasa bersalah karena pastinya aku telah melukai hati mereka.
Tapi kata maaf itu kuurungkan karena mereka juga tidak mengerti dengan hatiku, selama ini aku hanya diam dengan segala ucapan mereka, aku mematuhinya, dan kini aku ingin dengan pilihan dan keputusanku sendiri. Pria di sofa itu hanya diam, ketampanannya sama sekali tidak membuatku tertarik, aku mengambil kunci mobil dan pergi dari rumah, mereka tidak mencegahku.
Jalanan masih dengan salju yang belum juga meleleh, cuaca dingin tidak selaras dengan hatiku yang rasanya sangat panas. Aku memarkirkan mobil dan masuk pada sebuah bar, memang nakal. Baru sejenak aku menenangkan diri, iya, ini caraku menenangkan diri.
Terbilang salah, bahkan sangat, tapi ketahuilah aku tidak ikut minum cairan setan itu, aku hanya akan diam dan menikmati alunan musik jika itu diputar. Baru aku akan memejamkan mata, tangan besar itu menarikku pergi ke luar, tentu aku memberontak dan menamparnya kasar, kurasakan telapak tanganku terasa panas.
"Untuk apa kemari?" Kutatap sorot matanya tajam sementara ia menatapku hangat seolah tak marah, padahal aku baru saja mendaratkan tamparan keras.
"Kau telah menodaiku, Nona Charlotte, maka dari itu kau harus menikah denganku." Menodai? Apa maksud pria di hadapanku ini? Walau baru pertama kali aku bertemu dengannya, aku masih ingat bahwa pria ini adalah pria yang sama dengan yang dibawa oleh mama dan papa ke rumah tadi, jadi pria ini mengikutiku? Apa dia kurang kerjaan? Ah sudahlah, aku melihat sorot matanya yang masih saja terlihat tenang, jika aku menyelam ke dalamnya mungkin akan tenang.
"Charlotte! Ayo masuk, sudah lama kita tidak bersenang-senang, bukan? Tubuhmu juga terlihat berisi dan... seksi," ucap seorang pria yang tiba-tiba datang dengan sebotol minuman, itu alkohol. Dulu sebelum menjadi mualaf aku memang sering ke sini, hampir setiap malam dan meniduri banyak pria, aku begitu hina.
Bodohnya malam ini aku malah mendatangi tempat ini lagi, aku menatap pria di depanku yang tampaknya terkejut, matanya yang tadi terlihat tenang sekarang seolah menghunusku bak pedang.
"Sepertinya teman-teman juga merindukanmu, Charlotte. Ayolah masuk dan bermain." Aku terbelalak saat tiba-tiba pria di depanku menghajar mulut Dione dengan emosi, dia terlihat tidak terima sampai-sampai aku mencoba untuk menghalanginya berbuat lebih kasar.
Aku menahan tangannya tapi ternyata aku yang terkena pukulannya, ini terasa sangat sakit. Dione pergi terbirit-birit sementara pria yang belum aku ketahui namanya itu kini ia berjongkok melihat wajahku, ada lebam karena ulahnya.
"Maaf." Tidak kusangka kini dia menuntunku untuk masuk ke dalam mobil, ia mengobati luka lebam yang walau tidak seberapa tapi ini rasanya menyakitkan. Kutatap wajahnya, ia mengobatiku pelan. Setelahnya dengan bergetar ia menyentuh wajahku dan mengusapnya lembut, mengapa aku terbuai? Memang benar, julukan wanita murahan itu pantas untukku.
"Kau telah menyentuh tanganku dan sekarang aku menyentuh wajahmu, kita telah berzina, aku akan bertanggung jawab dan menikahimu." Tunggu, apa maksudnya? Bersentuhan kulit itu yang dimaksud zina olehnya? Tuhan, aku merasa malu padanya. Saat di rumah aku menyinggungnya apakah dia pria baik atau bukan, agamanya baik atau tidak, tapi ternyata aku yang tidak baik.
"Terima kasih."
"Maaf boleh aku bertanya?" Aku mengangguk mendengar itu, bahkan aku belum mengetahui namanya, akan kutanyakan setelah ini.
"Kau sudah tidak gadis?" Tertohok aku mendengarnya, aku hanya diam dan kini menunduk, tanpa aku jawab pasti pria itu mengerti. Aku memang wanita hina dan sepertinya dia terlalu baik. Pria itu membuang napas, ia terlihat kecewa, aku menoleh padanya dan ia hanya melihat lurus ke depan.
"Aku pezina, Tuan." Setibanya di depan rumah aku langsung masuk karena rasanya wajahku sudah memerah karena rasa malu, bahkan aku mengabaikan mama dan papa saat ternyata mereka masih berada di ruang tengah.
Aku pulang dengan mobilnya, mungkin aku akan menyuruh Harry untuk membawa mobilku pulang, pria itu selalu mau saat kusuruh melakukan apa pun.
"Harry bisakah kita bicara besok?"
"Kenapa? Kau galau lagi?" balasnya cepat, Harry meresponku kurang dari satu menit, andai Harry tidak pindah rumah mungkin bisa saja seperti dulu, aku tinggal mendatangi rumah Harry tanpa harus mengabarinya, jarak rumah kami sekarang begitu jauh. Hanya saja tadi siang kami tidak sengaja bertemu saat aku sedang dalam aktivitas harian, melamun di pinggir jalan.
"Siapa nama pria itu, Ma?" tanyaku. Mama yang sedang mengeluarkan barang belanjaan segera menoleh padaku dan menjawab, bisa kulihat bahwa ia tersenyum.
Aku merutuki diri, pasti mama akan berpikir bahwa aku menyukai pria itu, aku hanya penasaran. Aku juga lupa untuk menanyakan langsung pada pria itu saat di dalam mobil, kami malah sama-sama melamun sepanjang perjalanan.
"Muhammad Zayn, dia seorang muslim. Melihatmu menjadi mualaf Mama dan papa berpikir bahwa kau akan menyukainya, tapi setelah melihat penolakan darimu, Mama pikir tidak usah menjodohkanmu dengannya."
"Dia laki-laki yang baik," ucapku. Mama selesai membereskan barang belanjaannya dan kembali menoleh padaku, ia mendekat dan menghampiri, senyumnya mengembang dengan perkataanku barusan.
"Maka dari itu, menikah dengannya."
"Entahlah, Ma." Aku mengembuskan napas pasrah, mama mengusap bahuku dengan tatapannya yang tidak lepas, jalan pikiran mama sering kali berbeda haluan denganku, bahkan aku saja tidak bisa menebak bagaimana pikirannya.
Mama juga pengendali di rumah ini, aku dan papa bisa langsung menuruti setiap perkataannya, habis mama jika sudah marah maka seharian tidak akan ada masakan dan kami tidak makan. Sulit untuk membujuk mama jika wanita paruh baya itu sudah marah besar, tapi untuk kali ini apa aku juga lebih baik menurut saja?
"Apa yang membuatmu ragu?" tanyanya.
"Apa dia mau menerimaku?"
"Jika dia mencintaimu, seburuk apa pun keadaanmu dia akan tetap menerimamu. Jangan takut melangkah bersama Zayn, dia lelaki yang baik." Mama berucap dengan yakin, hatiku masih menimbulkan banyak pertanyaan juga keraguan, lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas dan mengembuskannya pasrah.
"Apa dia mencintaiku?" gumamku bertanya pada diri sendiri.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA UNTUK CHARLOTTE (SUDAH TERBIT)
RomanceTentang bagaimana perjalanan emosional Charlotte yang penuh tantangan dan pencarian makna dalam hidupnya. Charlotte merupakan sosok yang terjebak dalam kegelapan dan mendapat cemoohan dari lingkungan sekitar, namun terus berusaha memperbaiki diri me...