Aku terbangun dan melihat Zayn yang tengah menggenggam erat tanganku, kurasakan tangannya hangat. Tubuhku terasa sangat sakit, aku menggerakkan tangan perlahan. Zayn membuka matanya dan melihatku dengan binar bahagia, aku masuk ke dalam pelukannya, bisa kurasakan bahu Zayn bergetar.
Tak berselang lama kedua orang tuaku dan Zayn masuk ke dalam ruangan, pikiranku menebak bahwa ini adalah rumah sakit, tak salah lagi.
Mereka tersenyum padaku dan menghampiri, hanya sebentar karena sepertinya mereka mengerti ingin membiarkan aku dengan Zayn berdua.
Saat akad itu sudah terucap aku menangis haru, dan saat peluru itu tertancap aku menangis lagi, bukan karena haru melainkan sakit sebab melihat siapa pelakunya.
Dea, dengan wajah tersenyum dia mencelakaiku, aku tidak habis pikir kenapa dia berbuat sejahat itu padaku.
"Zayn," ucapku pelan. Untukku berbicara terasa masih sulit, aku meraba wajah Zayn yang terasa basah, matanya sembab. Aku menyadari satu hal, aku tidak lagi mengenakan gaun pengantin begitu juga dengan Zayn, jangan bilang kalau aku sudah tidak sadar selama beberapa hari.Bersyukur pada Allahku, memberiku kesempatan untuk hidup disaat ambang kematian aku pijaki, sehebat apa pun perlakuan jahat orang untuk mencelakai, jika Allahku tidak mengizinkan separah apa pun lukaku aku tidak akan mati.
"Terima kasih, terima kasih telah membuka matamu untukku. Aku menangisimu berhari-hari, aku takut kau meninggalkanku, jangan pernah seperti ini lagi. Ini ... sangat menyakitkan untukku." Bahu Zayn bergetar, dia memelukku erat. Zayn mengusap kepalaku lembut, ia membawaku tenang dalam dekapannya, pada akhirnya aku hanya bisa menangis.
Setiap kali mengingat Dea hatiku berdenyut sakit, wajah dengan tawa senang itu masih kuingat bahkan sangat jelas, aku tidak pernah berpikir bahwa Dea akan mencelakaiku, aku menganggapnya sahabat baik, tidak kusangka dia berbuat sejahat itu di hari pernikahanku dengan Zayn. Atas dasar apa Dea melakukan itu, aku pening memikirkannya.
"Zayn," lirihku.
"Aku takut kehilanganmu, Sayang." Pertama kalinya aku mendengar Zayn mengatakan sayang, darahku berdesir merasakan sesuatu yang berbeda, satu kata yang mampu menciptakan hawa panas kembali menjalar hingga wajahku memerah menahan malu, tidak, bukan malu, aku senang tapi malu.
Zayn dengan cintanya yang lebih besar dariku, aku tidak tahu mengapa Zayn bisa sebegitunya padahal aku saja baru mengenal Zayn saat papa membawanya ke rumah, aku akan menanyakan alasannya, nanti.
Dia menatapku dalam, makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini membuatku bersyukur dengan kehadirannya, dia membuatku merasa dicintai disaat aku merasa diriku tidak pantas untuk siapa pun. Zayn, pria yang tidak mempermasalahkan masa laluku, bahkan saat aku mengatakan kegadisanku sudah hilang, dia tersenyum tak apa.
"Maaf, aku membuat kacau hari pernikahan kita."
"Di hari itu kau menjadi milikku, di hari itu juga hatiku sangat takut jika sampai kehilanganmu. Aku berdoa siang malam untukmu, lebih tepatnya untukku.
Duniaku runtuh melihatmu lemah, aku meminta Allah untuk berbelas kasih padaku, aku sangat kesakitan melihatmu penuh dengan darah. Di hari itu, kau benar-benar tidak mau membuka mata sekalipun aku sangat memohon, tolong jangan pernah seperti ini lagi. Seharusnya aku saja yang terluka, sangat sakit melihatmu terbaring seperti ini, aku–"
"Cukup Zayn, aku baik-baik saja." Aku memotong ucapan Zayn cepat, aku berharap ini semua hanya mimpi dan aku akan terbangun dari tidur, tapi mustahil.
Rasa sakitnya nyata, kesalahan besar apa yang telah kuperbuat pada Dea sehingga dia dengan tega mencelakaiku, apa karena aku tidak menemuinya akhir-akhir ini? Itu bukan kesalahan besar, hatiku seakan ditimpa batu besar yang sulit untuk disingkirkan.
Jika aku berbuat kesalahan mengapa dia tidak membicarakan dengan baik-baik, apa kesalahanku fatal sampai dia berpikir untuk membuatku mati? Aku saja tidak tahu apa kesalahanku, aku ingin menemui Dea hanya untuk bertanya mengapa dia melakukan ini, selama ini aku menganggapnya sahabat, perbuatannya di luar naluriku, tidak pernah aku berpikir bahwa dia akan mencelakaiku.
Aku akan sangat sedih jika Dea mati, aku masih mengingat jelas bahwa saat itu Dea juga menembakkan peluru pada dirinya sendiri, berulang kali sampai ia tersungkur.
"Zayn, aku takut." Bibirku bergetar, jantungku berdetak lebih kencang bukan karena perasaan senang tapi netraku melihat seseorang.
Entah hanya ilusiku, tapi semuanya nyata dan aku tidak melihat ada kaki yang berpijak, dia tersenyum mengerikan, wajahnya mengerikan, aku memegang tangan Zayn erat, keningku penuh dengan keringat.
Dea, Dea mengerikan, dia menyeramkan. Bisa kurasakan hawa dingin saat Dea mendekat, mengapa Zayn tidak ketakutan sepertiku? Apakah dia tidak melihat Dea yang datang?
Aku mencoba berpikir positif Dea mendatangiku untuk permohonan maaf, jika benar begitu aku juga akan memaafkannya, rasa sayangku pada Dea tidak berkurang sedikit pun.
"Dea," sapaku. Herannya Zayn menatapku aneh, dia mengusap wajahku dan menatapnya dalam sedangkan mataku terpaku pada sosok Dea di sampingnya, aku ingin membersihkan darah yang ada pada bajunya, aku tersenyum padanya dan Dea membalas, senyuman itu mengerikan.
Bahuku bergetar hebat namun hatiku senang dengan kedatangannya, aku tidak waras. Dea tidak lagi terlihat dan ia meninggalkan harum semerbak, melati.
"Dea tadi kemari."
"Tidak ada siapa pun yang datang," ucap Zayn. Aku menggeleng, mataku masih terpaku pada tempat di mana tadi Dea berdiri walau tanpa kaki, tubuhku dingin dengan kedatangannya sedangkan hatiku menghangat, jika aku yang berbuat kesalahan hingga ia menumpahkan kekesalannya dengan peluru itu, aku bersedia untuk meminta maaf asalkan kami tetap berteman.
Zayn mengguncang tubuhku dan aku tidak merasakan apa pun, aku tersenyum padanya. Zayn berusaha keras membuatku sadar sampai akhirnya aku tertawa melihat tingkahnya, Zayn diam, tidak ada yang lucu.
"Kenapa Zayn? Aku ini sedang senang sahabatku datang."
"Sahabat yang mana? Tidak ada siapa pun yang datang, Sayang. Hanya ada aku dan kau di sini, tolong jangan membuatku khawatir." Zayn menangis, aku mengusap wajahnya, dia terlihat sangat tampan, sangat-sangat tampan. Zayn milikku, tidak boleh siapa pun mengambilnya dariku.
"Tadi Dea datang."
"Tidak ada yang datang."
"Tadi sahabatku datang," jelasku. Lama Zayn menatapku, dia mengerti dengan kesakitan yang kurasakan, aku merasa sangat sakit tetapi rasa sayangku pada Dea jauh lebih besar.
Tidak pernah terbesit sedikit pun dalam hatiku untuk meninggalkan Dea sebagai sahabat, dan sialnya Dea menusukku seakan aku tidak pernah berbuat baik padanya.
"Tidak, dia ular."
"Kalau begitu dia temanku." Aku masih tetap menghibur diri.
"Dia bukan teman, dia ular."
"Zayn jangan seperti itu, aku menyayanginya," ucapku menahan tangis.
"Jangan bodoh dengan menyayangi ular." Perkataan Zayn membuatku menangis kencang, aku menumpahkan segala rasa sakit pada dada bidangnya, Zayn memelukku sayang. Dia membiarkanku menangis sepuasnya sampai rasa sakit dalam hati memudar.
Dea ular? Bisanya sangat menyakitkan. Lagi-lagi aku mencoba menolak kenyataan bahwa Dea tidak mungkin mencelakaiku, tapi fakta menampar keras sampai aku tersungkur, lilitan ular itu kencang sampai membuatku sesak.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA UNTUK CHARLOTTE (SUDAH TERBIT)
RomanceTentang bagaimana perjalanan emosional Charlotte yang penuh tantangan dan pencarian makna dalam hidupnya. Charlotte merupakan sosok yang terjebak dalam kegelapan dan mendapat cemoohan dari lingkungan sekitar, namun terus berusaha memperbaiki diri me...