CHAPTER 10

45 26 0
                                    

Penyesalan dalam keburukan selalu mendatangi pelakunya di akhir kisah, terkadang nikmat untuk berpikir tidak digunakan oleh manusia dengan akal yang sudah terbalut nafsu, akal sehat seperti tak ada harga diri sebab pemiliknya sendiri tidak peduli.

Rintihan dalam hati berat dengan rasa sesak, kata ampunan yang terus terucap, hambar dirasa sebab hati sudah mengeras, maksiat itu memenuhi pikirannya, kehilangan kendali dengan dirinya.

Dua pengawas berada di kanan kirinya namun ia tidak menyadari, melanjutkan maksiatnya tanpa memikirkan bagaimana catatan dosanya.

Celakalah engkau, bersenang-senanglah dengan dosa, berbuat kerusakan untuk dirimu sendiri, yang berbuat engkau, namun saat sudah terjatuh mengapa akalmu begitu dangkal dengan menyalahkan Tuhan? Membawa langkah pada keburukan hanya akan mengantarkanmu pada kerugian.

"Aku terjatuh dalam dosa, terbalut di dalamnya, untuk bangkit rasanya sangat sulit." Dea memeluk dirinya dalam kesunyian malam, dalam ruangan tempatnya dirawat ia merenung sendiri, Dea adalah gadis rantauan yang jauh dari keluarga, ia menolak keluarganya tahu bagaimana keadaannya.

Harry juga harus pulang tidak bisa menemani Dea, memeluk diri yang rasanya sangat kotor, namun bagaimana ia bertahan jika hanya tubuh ini yang akan selalu menemaninya? Ingin mendekat pada Tuhan tapi nyatanya sangat merasa malu, lima waktu itu tertinggal, raga berat sekali untuk melakukan.

Menyakitkan untuk hati yang ingin taat namun raga justru menolak, Dea butuh seseorang untuk menggandengnya lagi, mengajaknya lagi pada ketaatan, Dea sedang lupa dengan imannya.

Terdengar derit pintu masuk.

"Tuhanmu tidak meninggalkanmu, bagaimanapun engkau, seburuk apa pun engkau, betapa hebatnya engkau dalam berbuat dosa, melanggar aturan, membangkang pada Tuhan sekalipun, Tuhan tidak akan meninggalkanmu. Tuhan menciptakanmu dengan sangat baik, keadaanmu saat ini adalah bukti bahwa Tuhan begitu menyayangimu, bisa saja Tuhan membuatmu mati saat kau sedang dalam perbuatan dosa, begitu hinanya jika itu terjadi, mati dalam maksiat adalah aib. Apa Tuhan melakukan itu padamu? Tidak, artinya Tuhan sangat menyayangimu."

"Anisha!?" Dea menekan salivanya dengan susah payah, seingatnya Anisha sudah tiada. Apakah ini khayalannya saja? Suara Anisha terasa sangat nyata, Dea menarik selimut dengan keringat yang sudah membasahi kening, bagaimana seorang yang telah tiada kini bisa ada di depannya?

"Iya, kau terkejut?" Perempuan dengan kulit pucat itu tersenyum kemudian mendekat pada Dea, Dea sedang dirundung ketakutan.

Imannya yang lemah lalu dihadapkan dengan orang yang sudah meninggal, bagaimana hatinya tidak menjerit ketakutan, Anisha sudah tiada, lalu siapa yang sedang tersenyum padanya sekarang? Dea membuka matanya perlahan, dengan segenap keberanian yang ada ia berteriak.

"Kau sudah tiada!" Perempuan itu kembali tersenyum, bahkan sosok itu mendekat lebih berani pada Dea dengan duduk di samping ranjang rumah sakit, suasana malam yang dingin menjadi bertambah saat tubuh Dea yang hangat berdekatan dengan perempuan bernama Anisha itu.

Ilusi itu membawanya, Dea yakin dirinya sedang tertidur dan ini hanyalah mimpi. Anisha, gadis baik yang kematiannya patut dicemburui.

Kala itu, jam tiga pagi Anisha mengajak kedua sahabatnya yakni Dea dan Charlotte untuk bermalam dengan Tuhan, yang dimaksud adalah berlama-lama dengan Tuhan, dalam untaian doa, lantunan indah kitab suci, terasa indah dalam kesunyian beribadah pada jam tiga pagi, sebagian manusia masih terlelap namun sebagiannya lagi sudah memulai hari, dengan beribadah pada Tuhan yang sangat dicintanya.

Anisha menikmati rakaat salatnya, rasa sakit dalam nikmatnya ibadah hampir tak terasa pada rakaat kedua, ia tersungkur tenang pada sujudnya. Di mana manusia diwafatkan sesuai dengan bagaimana kebiasaannya, itulah yang terjadi pada Anisha.

Sujud yang memberikan ketenangan, sujud itu juga telah mengantarkannya pada ketenangan yang abadi, sujud terakhir Anisha mengantarkan jiwanya pada Tuhan. Bumi yang selalu dijadikan sandaran untuk keningnya bersujud dalam lapisan sajadah, bagian dari bumi itu kelak juga akan bersaksi bahwa Anisha selalu menjalankan tanggung jawab lima waktunya, kala itu tugasnya telah usai.

"Anisha!"

"Bangunlah!"

"Sudah pagi jangan tidur lagi!" Teriakan itu tidak terdengar, Anisha dengan dunianya yang berbeda, tugasnya usai.

Dea dan Charlotte menangisi kepergian Anisha, yang dekat dengannya pasti tahu bahwa Anisha gadis yang baik, berteman dengannya adalah keberuntungan.

Wajah yang selalu menenangkan itu sudah terpejam dengan ukiran senyum, Anisha kembali pada Tuhan di usia yang masih terbilang muda, Anisha adalah manusia yang patut untuk dicemburui, tutur katanya mengingatkan pada kebaikan, gerak-geriknya mengingatkan terhadap kematian, di mana pikiran Anisha yang selalu tertuju pada bagaimana akhiratnya, dunia hanya sebagai tempat untuk persinggahan.

Anisha, terlalu baik untuk ada di dunia sehingga Tuhan mengambilnya di usia muda.

"Aku ada, untuk mengingatkanmu. Tuhan memberimu rasa penyesalan, itu panggilan cintanya untukmu, mendekatlah. Betapa indahnya jika Tuhan dan hambanya saling mencintai, jangan sombong dengan menolak cinta Tuhan, Tuhanmu mencintaimu, percayalah." Dea terlonjak dari tidurnya, napasnya berhembus tak beraturan, ilusi atau mimpi tapi kini Dea semakin yakin itu hanya mimpi.

Anisha mendatanginya, dengan raut wajah yang kecewa. Anisha tersenyum padanya, di mimpi itu Anisha memeluknya sebelum kembali pergi.

"Aku tertidur dalam nikmat, aku menunggu untuk kita bisa bersama, di surga." Dea kembali terlonjak saat merasakan bisikan halus itu, ia menoleh dan tidak didapati siapa-siapa. Dea menarik napasnya guna menenangkan hati, apakah di dalam mimpinya benar-benar Anisha?

"Kau tidak benar-benar tahu apa itu cinta, Anisha. Kau selalu sibuk dengan ibadah, makanya kau tidak mengerti aku, aku sudah terlalu jauh, tidak pantas lagi untu taat."

"Cinta tidak akan membawamu pada keburukan, Dea."

"Pergilah!" Dea menutup telinga karena bisikan itu kembali terdengar, jika pun itu Anisha tidak pantas dia yang sudah berbeda dunia malah mengganggu hidupnya.

Dea menutup telinga rapat-rapat, hembusan angin terasa padahal ruangan ini tertutup, tidak ada celah yang cukup untuk angin luar masuk. Bulu halusnya berdiri dengan perasaan aneh, begitu juga pikiran negatif yang memenuhi isi kepalanya.

"Kau menyuruhku pergi?" Sayup suara itu kembali terdengar, Dea membuka matanya dan kembali berteriak, Harry mengisyaratkan Dea untuk menutup mulutnya.

Pria itu menyodorkan segelas air pada Dea, dengan keringat dingin yang membasahi kening Dea masih dalam ketakutan. Harry sendiri masih menunggu untuk menanyai Dea apa yang telah terjadi, Dea terlihat sangat ketakutan, sudah jam dua belas malam sekarang.

"Dea, kau tidak apa?"

"B-bagaimana bisa kau ada di sini?" Dea mengusap keningnya yang terasa basah oleh keringat, segelas air ia habiskan tanpa tersisa, yang terlihat tadi adalah bayangan seorang perempuan tapi kenapa tiba-tiba berubah jadi sosok Harry? Pria itu juga terlihat bingung, Dea tidak tahu ada apa dengan dirinya, tadi mimpi atau ilusi?

"Aku tidak ke mana-mana, Dea. Ada apa denganmu? Sedari tadi aku di sini."

"Kau sendiri yang bilang kalau kau harus pulang." Dea mengingat jelas bahwa Harry berpamitan untuk pulang sebentar dan akan kembali besok pagi, mengapa dunianya serasa nyata dan tidak, bagai ilusi yang membawanya pada kebingungan.

TO BE CONTINUED

RENJANA UNTUK CHARLOTTE (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang