CHAPTER 8

58 28 0
                                    

Harry melihat kepergian mobil itu sampai tak terlihat lagi di matanya, ia memukul dadanya yang kini terasa semakin sakit, dirundung rasa bersalah pada kakaknya, dirundung masalah karena Dea membencinya, dan kini ia sendirian. Bahkan Charlotte, wanita itu sudah memiliki calon suami, tak bisa sebebas dulu mereka mempunyai waktu.

Harry akan menjaga jarak dari Charlotte, dia bukan pria brengsek yang tidak bisa menjaga perasaan sesama lelaki, Harry tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman untuk calon suami Charlotte jika ia terus dekat-dekat dengan wanita itu, walau sahabatnya sekalipun.

"Dea." Harry melihat Dea yang berada di pintu gerbang rumah sakit, segera Harry berlari mendekati wanita itu.

Tanpa banyak berbicara Harry langsung menggendong Dea tanpa bertanya dulu, sudah jelas bagi Harry bahwa Dea akan kabur dari rumah sakit, itu tidak baik untuknya, bahkan Dea kesulitan berjalan, Harry tak mengerti mengapa Dea bisa sampai.

Air mata Dea membasahi baju yang melapisi dada bidang Harry, Dea merasa bahwa dunianya sudah sangat hancur.

Dea, Charlotte dan Harry sudah berteman sejak kecil, begitu pun dengan orang tua mereka, hanya saja orang tua Dea sudah tiada sehingga membuatnya hidup seorang diri tanpa bimbingan, hingga ia mudah rapuh ketika hal yang membuatnya lalai itu datang.

"Aku tahu kau mencintainya tapi sekarang kau harus melupakannya, menyakitkan untukku melihatmu lemah seperti ini. Tidak akan mudah bagimu untuk melupakan pria brengsek itu, tapi aku yakin kau bisa melewatinya, Dea."

"Sakit, Harry." Terdapat luka di sorot matanya, menyakitkan untuk dilihat. Harry menggenggam tangan Dea untuk membuatnya tidak merasa lemah, kematian Jacksen adalah luka untuk Dea tapi jika lelaki itu tetap hidup, pria itu akan membuat hidup Dea kembali dipenuhi luka, bahkan lebih sakit dari yang Dea rasakan.

Pria brengsek itu mana tahu apa yang namanya tanggung jawab, pria brengsek itu mana tahu jika Dea sudah sangat tersakiti, dan sialnya Dea tenggelam dalam itu, dia tidak peduli seberapa banyak Jacksen telah menyakitinya.

"Itu akan sangat menyakitkan, tapi pria itu sudah sangat keterlaluan dalam menyakitimu Dea, pahami itu. Kau tidak pantas membuang air matamu untuknya. Semuanya sudah berakhir, lupakan dia," tutur Harry.

Tatapannya tak lepas dari mata Dea yang sembab, wajah gadis itu sudah memerah, banyak tangis yang Dea tumpahkan akhir-akhir ini, menyakitkan dan selama itu Dea tetap bertahan.

"Aku harus bagaimana, Harry?" tanya Dea sendu.

"Bangkitlah Dea, aku bersamamu."

"Terlalu sulit untukku."

Zayn dalam kegundahannya, bagaimana ia tidak marah saat melihat calon wanitanya bersama lelaki lain? Bagaimana api cemburu tidak memenuhi relung hatinya saat melihat calon istrinya berpelukan dengan lelaki lain?

Zayn menjaga diri untuk wanitanya, menjaga pandangannya untuk tidak tergiur dengan kecantikan wanita lain, menjaga hati untuk Charlotte sementara wanita itu seperti sama sekali tidak memikirkan bagaimana hatinya, perasaannya, Charlotte seperti tidak bisa mengerti bagaimana arti dari sebuah hubungan.

Zayn menoleh pada Charlotte yang kini hanya diam dan menatap lurus ke depan, bahkan kata maaf tidak terdengar dari mulut Charlotte, apakah di sini Zayn hanya bertepuk sebelah tangan? Zayn tidak habis pikir mengapa Charlotte bisa melakukan itu sementara mereka sebentar lagi akan menikah, Zayn menuntut penjelasan.

"Zayn, kau marah?" tanya Charlotte dengan wajah takut, Zayn masih diam. Akad belum terucap tapi cemburunya sudah tetap.

Zayn tidak tahu harus berkata apa bersikap bagaimana, hubungan mereka belum terikat, tetapi tentu Zayn mempunyai hak untuk cemburu bukan? Sikap Charlotte sudah seperti ini sebelum menikah bagaimana jika sudah? Zayn harus bisa membuat Charlotte untuk tidak berpaling.

"Zayn, apa aku perlu memelukmu untuk membuatmu tenang? Tapi aku tidak bisa melakukannya karena kau belum jadi suamiku," ucap Charlotte tapi justru membuat Zayn semakin tidak bisa menahan diri.

Berpelukan dengan lelaki lain adalah kesalahan besar di mata Zayn, mereka berpelukan seolah tak ada batasan, bahkan Zayn saja belum pernah melakukannya.

"Lalu pria itu? Suamimu? Kau berani untuk berpelukan dengannya dan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, kenapa kau melakukan itu?" Zayn menggebu, tak ada candaan dari setiap kata yang diucapkan. Charlotte diam, baru kali ini ia takut pada Zayn, Charlotte takut jika Zayn akan semakin marah.

"Maaf."

"Maafmu tidak kuterima sampai nanti kita menikah, aku menunggumu untuk mengucapkannya lagi di hari itu, Nona Charlotte." Charlotte diam, ia benar-benar membuat Zayn marah.

Baiklah, ia akan memohon lagi saat Zayn selesai mengucapkan akad, Charlotte menunggu kapan hari itu tiba, jauh dalam relung hatinya ia mengulum senyum, Zayn seperti ini karena mencemburuinya, marahnya Zayn untuk kebaikannya, Charlotte paham, memang benar seharusnya ia bisa lebih menjaga diri.

"Baiklah, Tuan Zayn. Aku berhutang maaf padamu, aku harap kau memaafkanku."

"Tuan?" Zayn baru sadar jika ia selalu memanggil Charlotte dengan kata nona.

Charlotte menatap lurus ke depan melihat jalanan, pikirannya melayang pada Dea, bagaimana dengan sahabatnya? Seharusnya ia ada di sana, apakah dari pihak rumah sakit akan memberikan Dea makanan? Charlotte pikir ia harus menghubungi Harry untuk menyuruh pria itu membelikan Dea makanan, Dea tidak bisa ditinggal sendiri.

Charlotte harus menghubungi Harry untuk pria itu tetap ada di samping Dea.

Charlotte mencoba mengambil kembali handphonenya walau bisa ia lihat bahwa ekor mata Zayn meliriknya tajam, Charlotte mencoba tidak memedulikan, toh itu adalah handphonenya sendiri, untuk apa meminta izin pada Zayn? Untuk melarangnya Zayn belum ada hak untuk itu.

"Satu jam tanpa menghubungi pria itu kau tidak tahan?" Charlotte menghela napas dan masih dengan handphonenya, ia harus tetap mengirimkan pesan untuk Harry.

Bagaimanapun Dea adalah sahabatnya, Harry juga pasti khawatir dengan Dea, tapi Charlotte hanya ingin memastikan bahwa Dea tidak kelaparan.

"Letakkan ponselnya, Nona Charlotte."

"Kenapa?" Sorot matanya seolah terhunus, roda mobil tak lagi berputar, jantung Charlotte seolah berhenti berdetak, apa perkataannya kembali membuat Zayn tersulut emosi? Mulutnya terkunci, Zayn terlihat menyeramkan, ia merebut ponsel Charlotte yang memang masih menyala.

Tertulis nama Harry dengan tanda hati, Zayn menoleh pada Charlotte sebentar, sementara Charlotte mencoba diam tidak ingin kembali memperkeruh suasana, ponsel itu akhirnya kembali ke tangannya tapi kini Charlotte yang menatap marah pada Zayn.

"Kau menghapus nomornya!?" Charlotte melempar ponselnya hingga benda pipih itu terbanting, dadanya naik turun tak beraturan, menatap marah pada Zayn karena pria itu telah berbuat konyol dengan menghapus nomor Harry, sekarang bagaimana ia harus menghubungi Harry untuk menanyakan keadaan Dea? Zayn benar-benar membuatnya kesal hari ini, pria itu tidak bertanya lebih dulu padanya bahkan meminta izin saja tidak.

"Kau marah karena aku menghapus nomornya?"

"Iya!" sungut Charlotte, tatapannya tak lepas dari wajah Zayn, pria itu tertawa remeh.

Hal itu kembali membuat Charlotte semakin menjadi-jadi, Zayn tidak seharusnya tertawa setelah membuatnya kesal, walau nomor Harry masih bisa ia dapatkan tetapi Zayn sudah lancang.

"Sudah lama kalian berhubungan?"

"Dia sahabatku! Dia penting bagiku! Dia lebih dulu datang daripada kau dan tidak seharusnya kau menghapus chatku dengannya serta menghapus kontaknya! Andai kau tahu bahwa kami tidak seperti yang kau pikirkan, aku ingin menjelaskan semuanya padamu tadi tetapi kau sudah tersulut emosi! Kau buta dalam kecemburuan, Zayn!" berang Charlotte.

TO BE CONTINUED

RENJANA UNTUK CHARLOTTE (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang