Bagian VII : Meet

29 9 5
                                    

Zoe mengambil satu langkah, mendekat ke arah Pelatih Joo yang termangu akan apa yang dilihatnya. Terdapat lima gadis mengenakan seragam Universe High School yang berjejer di belakang Zoe. Jelas, skenario yang terjadi di luar dugaan Pelatih Joo, Zoe pun sudah menduga. Senyum licik merekah di wajah manisnya. Dua buah lesung pipi lantas ikut menampakkan diri.

"Pelatih, Saya sudah memenuhi syarat yang diberikan. Sebagai pria sejati, pelatih tidak bisa mengelak di lapangan ini, di hadapan semua orang mengenai klub basket putri yang kembali didirikan," kata Zoe begitu enteng, tidak takut sama sekali karena ia hanya mengatakan fakta yang memang sebenar-benarnya terjadi.

Terlebih, di lapangan basket ini bukan hanya dirinya, melainkan semua anggota basket ikut andil karena adanya sesi latihan seperti biasa. Jika Pelatih Joo ingkar, reputasinya akan semakin buruk di hadapan muridnya. Beberapa orang juga menganggap keahlian yang dimiliki Zoe—seperti pemain basket profesional. Jadi, tak ayal banyak yang memberikan dukungan walau hanya dalam bentuk diam. Mereka akan bertindak jika Pelatih Joo tidak menepati janji.

Namun, Pelatih Joo belum berujar. Ia tidak mengatakan apapun selain memberikan amatan dengan lekat. Akan tetapi, Pelatih Joo spontan tertawa kecil tatkala menoleh pada seseorang—itu adalah Ishana. "Aku mengingat, kamu dulunya satu-satunya junior yang masuk  ke dalam tim inti pada waktu itu dan ikut merasakan kegagalan telak itu, bukan? Ya, Ishana dengan nomor punggung 20," katanya dengan nada remeh.

Ishana membalas tatapan Pelatih Joo dengan tenang, tidak seperti dulu yang hanya ada kebencian. Perlahan, Ishana memang mulai berdamai dengan keadaan. Ia menjadikan kebencian itu sebagai perjuangan untuk membalik keadaan bersama dengan para juniornya. "Senang jika Pelatih Joo bisa mengingat saya, tetapi Pelatih Joo tidak perlu terlalu khawatir karena kami bisa memastikan jika kami akan keluar sebagai juara kali," katanya lantas tersenyum.

Kedua tangan Pelatih Joo tampak mengepal kuat, napasnya naik turun dan tetap berusaha untuk tenang—tidak terbawa akan suasana, hingga ia memberikan jawaban dengan anggukan. "Oke, buktikan kalau begitu. Aku akan dengan senang hati menerima klub basket putri jika kalian benar-benar bisa membuktikannya!" Lalu Pelatih Joo membunyikan sempritannya, menyentak beberapa anggota basket yang tengah bermain. Mereka berhenti dan memberikan fokus pada Pelatih Joo yang ingin berujar.

"Perhatian, mulai hari ini, klub basket putri kembali beroperasi. Mereka memiliki akses yang sama dengan klub basket putra, di bawah pengendalianku!" Pengumuman yang membuat semua orang yang ada di sana terkejut dan tidak habis pikir. Semula yang hanya ada klub basket putra, tetapi waktu yang berotasi ternyata memutar keadaan.

Seorang lelaki yang baru datang pun tiba-tiba menghentikan langkah di pintu utama sesaat mendengar pengumuman tersebut. Kedua sudut bibirnya terbentang sempurna karena apa yang sudah ia prediksikan ternyata tepat sasaran.

"Kamu memang benar, Yuuki! Perubahan itu terjadi, nyalinya begitu kuat hingga Pelatih Joo tidak bisa membuat keputusan selain kembali membangun klub basket putri," sahut seorang lelaki berambut blonde sembari memperbaiki posisi kacamatanya yang berdiri di samping kanan Yuuki.

Lelaki lainnya yang mengenakan seragam olahraga tahun ketiga langsung merangkul pundak Yuuki dari sebelah kiri. Ia tersenyum lebar. "Kapten kita'kan memang luar biasa. Prediksinya selalu tepat seperti seorang peramal. Hei, Yuuki! Apa kamu memiliki keturunan seorang penyihir atau peramal? Coba kamu ramal aku! Berapa bola yang akan aku masukkan nanti?" Dengan kedua alis yang naik turun, lelaki itu bertanya.

"Omong kosong sekali! Yuuki, abaikan omongan Nalen! Si botak satu ini memang tidak memiliki otak setelah kalah taruhan dan berakhir harus mencukur habis rambutnya. Aku yakin, otaknya juga ikut tercukur!"

"Hei Ebra! Astaga, lebih baik kamu diam saja. Aku sedang berbicara dengan Kapten Yuuki. Aku hanya bertanya."

Hingga helaan napas terdengar, menghentikan perdebatan mereka dengan spontan. "Pertanyaanmu tidak masuk akal, tetapi biar kutebak," kata Yuuki yang beralih mengamati Nalen dari bawah hingga atas—dua kali berturut-turut. Tatapan yang begitu dingin, menimbulkan efek yang mengerikan. Nalen dan Ebra serasa menggigil, berakhir Nalen melepaskan rangkulan dan sedikit menjauh.

Hello, Captain!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang