Bagian IX : We Will Prove It

19 5 0
                                    

Amplop yang diberikan oleh Yuuki memang benar-benar terjadi. Tidak lama setelah ia membaca isi kertas itu, hampir seluruh siaran televisi menayangkan mengenakan kebijakan baru yang telah disahkan oleh Presiden Alinea dan Menteri Olahraga. Women's Eiland Cup benar-benar akan diadakan. Menurut penjelasan dari siaran yang Zoe saksikan, setiap sekolah menengah atas yang ada di Eiland memiliki kesempatan yang sama—akan dikirimkan undangan untuk mengikuti tahap pertama saat awal musim panas.

Betapa bahagianya Zoe dengan berita itu. Bahkan, forum sekolah mendadak dibuat heboh, karena jelas sekolah akan ikut serta setelah perjanjian antara Pelatih Joo dengan Zoe waktu itu. Grub obrolan dengan kelima rekannya juga mendadak ribut.

Gaye: Aku tidak menyangka jika surat yang diberikan oleh Senior Yuuki ternyata benar-benar terjadi.

Deppna: Aku juga. Astaga, kita akan bertanding. Permainan yang sesungguhnya.

Elakshi: Aku sebenarnya sudah tidak terkejut ketika Senior Yuuki membawa surat penting seperti itu.

Avanti: Kenapa tidak terkejut? Apa ada sesuatu yang kami tidak ketahui.

Ishana: Menteri Olahraga adalah ayah Yuuki.

Kedua mata Zoe nyaris keluar dari tempatnya—tidak menyangka dengan kebenaran yang ia juga baru ketahui. Pantas saja, Yuuki mendapatkan surat itu. Hanya saja, ia tidak menyangka jika Yuuki anak seorang menteri. Memang, aura Yuuki terkesan mahal, dingin dan tak tersentuh, tetapi Zoe beranggapan itu efek samping sebagai ketua basket dan pemain paling berharga dengan berbagai kemampuan, tetapi nyatanya juga anak dari seorang menteri.

Zoe termangu. Ia mengamati pemandangan langit dari jendela dengan pikiran yang berkelana. "Walau begitu, ia cukup baik," kata Zoe.

"Zoe, kamu belum tidur? Ini sudah hampir larut malam. Jika tidak ada yang kamu kerjakan, lebih baik istirahat di kamarmu. Jika berada di sini, kamu akan masuk angin." Nenek Linda datang dengan dirinya yang mengenakan kain di atas pundak. Langkah yang tertarih, mendekat ke arah Zoe yang sontak menoleh.

"Aku belum mengantuk, Nenek. Mungkin beberapa menit lagi. Aku ingin menikmati angin malam terlebih dahulu." Kembali Zoe mengamati pemandangan taman kecil yang ada di belakang rumah, bahkan lapangan bola basket juga ada di sana—mengingatkannya kembali akan momen bersama keluarganya.

"Apa Nenek tahu, aku sering melihat Ayahku bermain bola basket di sini. Dia men-dribble dan melakukan shooting di sana. Aku melihatnya. Lalu, Ibuku akan menarik pergelangan tanganku untuk mendekat ke arah Ayah. Berakhir aku dan Ibu menyaksikan Ayah yang berlatih. Saat itu, Ayah mengajariku cara melakukannya dan kami sangat bahagia. Ya, aku mengingatnya," kata Zoe, perlahan senyum terbit di wajahnya karena ia seperti melihat momen itu kembali berputar.

"Ayah, ini sulit sekali! Aku tidak akan bisa melakukannya. Ring itu terlalu tinggi untuk anak berusia lima tahun!"

"Jangan putus asa, Zoe. Percaya pada Ibu, kamu bisa melakukannya. Kamu juga akan terus tumbuh dan ada saat di mana kamu akan bisa menganggap ring itu begitu kecil!"

"Benarkah?"

"Ibumu benar, Sayang. Kamu bisa melakukannya. Ayah akan mengajarimu sampai kamu mencetak bola pertama. Kamu bisa menjadi pebasket profesinal jika terus berusaha!"

Zoe menghela napas, matanya dengan spontan berkaca-kaca—terasa perih, tetapi ia tidak ingin menangis. Ia sudah janji tidak akan bersedih, walau janji untuk sulit untuk dilakukan. Zoe sering mengingkari. Nenek Linda yang memang ada di sana saat memutuskan untuk menemani sang cucu, tersentak—merasa prihatin. Disentuhnya pundak Zoe yang terasa gemetar.

Hello, Captain!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang