Ancaman

6 3 0
                                    

Empat jam berlalu, bel istirahat kedua berbunyi Kira langsung keluar dari kelas, tak mau sampai Ita datang lagi dan merusak rencana Kira bersama Anggi.

"Lo mau ke mana? Buru-buru amat," ucap Glen sambil mengikuti Kira.

"Ke perpus, mau ketemu sama Anggi." Kira membalas cepat begitu juga dengan langkahnya.

"Boleh nggak gue ikut?" tanya Glen dengan seringai tengilnya. Dia mencoba menyamakan langkah agar tak ketinggalan.

Tepat saat itu juga Kira berhenti, dia menoleh dan menggelengkan kepala ke arah Glen. "Ini urusan perempuan, kau mana ngerti pergi sana ke temen-temenmu."

"Jadi ngusir nih?" Glen memperlihatkan mimik muka yang dibuat sedih.

"Iya, aku cuma mau ketemu sama Anggi dan kamu nggak boleh nguping pembicaraanku sama dia." Sebelum sempat Glen menyela, Kira langsung pergi.

"Ok kalau gitu sampai jumpa pulang sekolah." Glen berjalan masuk kembali ke kelas. Langkahnya langsung berhenti saat menemukan Cia hendak keluar dari kelas.

Tatapan Glen berubah dingin dalam sekejap. Dia sangat tidak suka gadis di depannya ini. "Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu? Dasar tukang nyontek!" ejek Cia.

Gadis itu berjalan lebih dulu bahkan dengan sengaja menyenggol bahu Glen kasar. "Lo nggak papa, kan bro?" tanya Beni langsung menghampiri Glen.

"Iya nggak papa," jawab Glen singkat. Beni sontak melihat ke arah Cia yang sudah menjauh sambil mencebikkan bibirnya sebab jengkel.

"Tuh cewek emang keterlaluan, siapa sih yang masukin dia ke pengurus osis? Udah sombong berlagak cantik pula, heran banget gue kenapa cewek kayak gitu disukain sama cowok? Kalau gue mah ilfeel banget lihat dia."

"Udahlah Ben, mending kita ngobrol yuk jadi nggak nih kita futsal habis pulang sekolah?" tanya Glen yang lalu berjalan sambil merangkul pundak Beni agar masuk ke dalam kelas.

Kira masuk ke dalam perpus. Dengan mudah ia menemukan Anggi duduk di sebuah kursi yang disediakan. "Ayo kita ke rak paling ujung."

Ia mengiyakan dan berjalan menuju rak paling terakhir di mana tak ada orang yang bisa mendengarkan mereka. "Jadi mau bicarain apa? Kayanya penting banget," kata Kira memulai obrolan.

"Kamu tahu kan kalau aku lagi siap-siap buat seleksi pemain timnas voli?" Kira mengangguk sebagai jawaban.

"Aku mau latihan selepas pulang sekolah, temani aku ya. Sekalian kita beli kue ulang tahunku," pinta Anggi.

Ah iya, Kira benar-benar lupa soal ulang tahun Anggi. Ia merasa bersalah padahal baru saja bulan kemarin Anggi merayakan ulang tahun Kira. Meski hanya berdua, Kira sangat senang hanya dengan kehadiran sang sahabat.

"Nah kalau gitu, setelah kita pulang aku akan ke rumahmu. Kita jalan sama-sama okay?" Anggi mengangguk seraya tersenyum.

"Dari tadi aku ngerasa aneh banget sama Ita dan teman-temannya, kenapa mereka pengen kamu makan sama mereka? Padahal dari tadi jelas banget mereka nggak suka sama kamu."

Kira menghela napas. "Itu juga yang aku pikirin kenapa sih Ita traktirin aku padahal teman-temannya tuh nggak suka sama aku."

"Pokoknya Kira, kamu harus hati-hati sama mereka. Ada sesuatu nih yang nggak baik, firasatku bilang seperti itu." Kira mengangguk menanggapi ucapan Anggi. Ini sungguh membingungkan.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Kira merapikan buku yang berhamburan di atas meja setelah guru keluar dari kelas. Glen pun berada di samping telah siap dan menunggu gadis itu memasukkan buku di dalam tas.

"Hari ini lo nggak ada kerjaan?" tanya Glen. "Temenin gue futsal, ada turnamen rencananya klub futsalku bakal mendaftar."

"Wah sayang banget, hari ini aku lagi nemenin Anggi latihan voli ditambah mau beli kue ulang tahun." Kira menolak halus.

"Hah? Kapan ulang tahunnya?"

"Lusa nanti, Anggi rencananya mau bikin pesta dan ngundang teman-teman di sekolah."

Glen mencebik. "Bisa nggak sih diundur aja? Besok juga boleh."

"Nggak bisa Glen, kami udah rencanain dari jauh-jauh hari. Nanti sore kami mau pesan kuenya, kami udah siapin dekorasi masa harus besok nantinya kesusahan lagi pembuat kue kerjanya nggak punya banyak waktu," jelas Kira.

"Ok deh tapi janji ya kamu bakal datang ke latihanku." Kira menggumam sebagai jawaban. Tak lama mereka pun pergi dari kelas.

Keluar dari gerbang bersama-sama menuju motor Glen yang terparkir. "Lo yakin nih ide lo? Gimana kalau dia nolak?" tanya Cia.

"Tinggal paksa aja, usahakan Kirana nggak bilang pokoknya dia harus datang ke pelatihan hari ini." Ita menjawab sembari bersikukuh. Dia lalu menepuk pundak sopir pribadinya.

"Ayo pak, jalan ikutin tuh motor warna merah di depan." Si sopir mengangguk dan mulai menjalankan mobil.

"Btw, di mana Lili?" tanya Ita. Dia baru sadar bahwa sahabatnya tidak ada.

"Lagi ada urusan katanya, palingan lagi ngurusin data-data siswa yang bakal masuk ke osis berikutnya." Lina menjawab santai.

***

Di tempat lain, Lili berada di ruang kelas 3. Lebih tepatnya di ruang kelas 3-A. Dia tidak sendiri. Ia bersama Mahen yang sedang menghapus papan tulis. Besok ada jadwal Mahen berbesih kelas tapi karena merasa ia tak punya waktu jadi ia menghapus papan tulis serta mengangkat kursi ke atas meja. "Kakak kenapa mau bertemu saya?" tanya Lili datar.

Ada rasa kesal sebenarnya tapi Mahen secara pribadi mengirim pesan berarti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Lo kenal Ita?" tanya Mahen.

"Tentu, dia itu bendahara osis jadi-"

"Maksud gue itu lo sahabatnya Ita atau bukan?" tanya Mahen lagi. Kali ini Mahen memalingkan muka menatap Lili.

"Maaf tapi pertanyaan kakak sudah termasuk urusan pribadi saya jadi saya tidak mau menjawab." Lili menjawab tenang.

"Jadi itu benar? Lo sahabatan sama Ita dan lo tahu gimana liciknya sahabat lo itu?!" Lili hampir menyanggah tapi Mahen langsung membuang penghapus secara kasar hampir mengenai gadis itu.

"Jadi lo tahu Glen tidak menyontek dan lo cuma diam?!" Kali ini Lili mengatup bibirnya. Ada ketakutan saat menatap mata pemuda itu.

"Sebelum Ita jadi osis, lo sudah jadi osis duluan. Gue yang rekomendasikan elo ke pak Bima dan lo bela seseorang yang salah, itu nggak mencerminkan sifat pengurus osis!" hardik Mahen kesal.

"Sekarang hanya karena Kira dekat dengan Glen, kalian mau mencelakai dia juga?" Mahen kemudian meletakkan ponsel miliknya agar bisa di lihat oleh Lili.

Di layar ada fotonya yang sedang memberikan uang pada dua orang lelaki sebelum kejadian tak mengenakkan menimpa Kira. "Gue bisa laporin lo ke ruang BK atas tuduhan penyelewengan kekuasaan di luar sekolah. Apa lo mau orang-orang tahu kebusukan lo?"

Lili menelan ludah. Keringat dingin juga menguncur deras di pelipis mendengar ancaman Mahen. "Kakak mau apa dari saya?"

"Simpel, gue mau lo jagain adek gue. Gue nggak mau ada kabar buruk atau kejadian aneh menimpa dia," pinta Mahen.

"Adek?" ulang Lili tidak mengerti

"Iya Kirana, dia adek gue."

SCHOOL SERIES : Teman Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang