Pendekatan

8 3 0
                                    

Kira berjalan menyusul begitu Anggi meminta agar dia mengejar Glen guna meminta maaf. Sampai di kelas, Glen dengan muka kusut duduk di kursinya.

Dia langsung membuang pandangan saat Kira menghampiriinya. "Ayolah Glen, masa cuma begitu kamu ngambek sih," kata Kira mengejek.

"Mending gue labrak Ita ketimbang gue nemenin Anggi belanja. Tuh cewek nggak suka sama gue udah gitu cerewet, kuping gue jadi sakit nanti denger dia ngomel mulu. Gue juga nggak mau ada gosip gue bareng dia, kalau sama lo sih nggak papa."

Kira lantas menyentil bahu Glen pelan. Malu akan ucapan yang membawa namanya. "Sekali ini saja, kasian Anggi nggak punya teman."

Glen berdecak kesal. Dia berpikir sesaat dan kembali berucap. "Ok, tapi gue bakal jemput lo pas acaranya selesai, gimana?"

"Tapi..."

"Nggak ada tapi-tapian, lo harus mau." Glen bersikukuh. Kira kemudian mengangguk pasrah. Sesuai dengan permintaan Kira, Glen akan menemani Anggi belanja.

***

"Ngapain sih lo harus nemenin gue? Di antar aja gue udah makasih loh," kata Anggi mengomeli Glen. Kini keduanya sudah berada di toko baju langganan Anggi yang biasanya dia datangi bersama Kira.

"Aduh dari pada lo ngebacot ya mending selesain deh urusan lo. Gue harus nungguin Kira nih, jangan sampe tuh cowok nganterin dia lagi."

Sontak Anggi menghentikan aksinya dan menatap Glen penasaran. "Ada yang naksir sama Kira?" tanya gadis itu penuh minat.

Raut masam Glen mengartikan satu hal. Anggi sudah menemukan jawaban yang ia inginkan. "Wah serius? Kalau gitu lo punya saingan, lo harus cepet nembak Kira duluan."

"Ngapain? Buru-buru amat. Kira kayaknya nggak mau pacaran, gue juga nggak mau dia kena masalah bapaknya itu loh posesif banget sama anaknya," sahut Glen.

"Emang lo nggak takut kalau Kira pacaran sama orang lain?"

"Ya takutlah, siapa juga yang pengen gebetannya jadi pacar orang lain."

"Justru karena itu, dia harus tahu perasaan lo." Anggi kembali meyakinkan Glen.

"Gi, gue udah selalu bilang perasaan gue tapi Kira nggak nanggapin serius."

"Ya sebab elo nggak serius." Anggi menatap sebal pada Glen yang kini diam. "Gue udah sahabatan dari Kira sejak kecil, dia itu selalu nanggepin hal-hal yang serius dengan serius pula. Kapan lo punya waktu berdua sama Kira?"

"Kayaknya pas kencan deh." Ya, Glen masih ingat dia punya janji kencan minggu ini tapi sekarang dirinya sangsi kalau Kira punya waktu.

"Kalau gitu bilang sama dia pas selesai kencan tanya sama Kira mau jadi pacar nggak? Gue yakin Kira bakal jawab langsung." Anggi meraih salah satu baju yang dia lihat. Rasanya akan cocok jika baju itu dipakai saat ulang tahun nanti.

Anggi mengangguk. Matanya lalu melirik harga yang tertera di baju tersebut. Mimik mukanya langsung berubah. Kening Anggi mengkerut begitu melihat mahalnya baju ini. Dia mengembuskan napas panjang lalu menaruh lagi di gantungan baju.

"Kenapa? Mau beli?" tanya Glen setelah lama diam menatap Anggi.

"Iya tapi mahal harganya, uang gue nggak cukup." Anggi menjawab cepat.

"Beli saja, biar gue yang tambahin kurang uang lo Ayah gue baru kirim uang bulanan, lumayan banyak."

Mata Anggi melotot. "Nggak usah, uang yang Ayah lo kirim itu buat lo."

"Udah beli aja, anggap ini tuh balas budi gue karena lo udah ngasih nasehat yang bagus." Glen mengambil baju itu lagi dan diberi oleh Anggi. Dia kemudian berjalan menuju kasir sementara gadis itu tampak tertegun. Lagi, Anggi dibuat kagum tapi ada sedikit perasaan bersalah karena Glen memakai uangnya sendiri.

Anggi sontak tersadar saat namanya dipanggil oleh Glen. "Lain kali gue traktir lo."

"Iya kapan-kapan," balas Glen sambil tersenyum. Anggi lagi-lagi dibuat terpesona. Ada sebuah perasaan bersalah karena dulu Anggi menyudutkan Glen.

Apa yang dikatakan oleh Kira itu benar. Anggi terlalu cepat menyimpulkan Glen tanpa mengenalnya lebih dahulu dan ini membuat Anggi sedikit menyesal.

"Anggi, kenapa lo masih di situ? Ayo pulang." Glen menyadarkan Anggi dari lamunan. Gadis itu mengangguk kemudian mengikuti Glen keluar dari toko.

***

"Kok lo ada di sini sih? Kan lo bukan pengurus osis," celetuk Cia pada Kira. Pengurus osis memang saat itu belum pulang, sedang melakukan rapat.

"Cia jangan kasar begitu, Kira itu teman kita juga. Dia datang karena khusus aku panggil buat bantu-bantu di rapat." Ita mengedipkan matanya memberikan isyarat kepada Cia agar diam.

"Oh gitu, terserahlah." Cia melenggang pergi menjauh dari Ita dan Kira.

Ita tersengih. "Maaf ya, Cia lagi badmood sekarang wajar baru putus soalnya."

Kira termangu sesaat sebelum akhirnya mengangguk paham. "Tolong ya bantu bersihkan ruang rapat, soalnya banyak debu sapunya ada di dalam ruangan."

Kira mengiyakan saja toh dia hanya ingin pulang lebih cepat. Bukan cuma Kira saja yang menyapu ada beberapa siswa-siswi ikut membersihkan ruang rapat.

"Loh Kira?" Kira mendongak, lantas tersenyum ke arah Rio. "Lo ada di sini juga? Bukannya elo itu bukan pengurus osis?" tanya Rio.

"Di suruh sama Pak Bima buat bantu-bantu." Kira menjawab sekenanya.

"Oh gitu, ada jemputan?"

"Ada, nanti temanku ada yang jemput." Rio hanya mengangguk.

"Kalau teman lo telat, lo bisa kok nebeng sama gue."

"Makasih."

Tidak lama rapat dimulai, Kira tetap menunggu di luar sebab Ita tak tentu melepas. Hanya untuk berjaga-jaga. Kira terpaku namun dia mengikuti arahan  bendahara sekretaris osis itu.

"Hai," seorang gadis datang menyapa. Kira memberikan senyum padan si si gadis.

"Kenapa ada di sini? Kamu bukan pengurus osis?"

"Tidak cuma bantu saja pengurus osis." Si gadis mengangguk paham.

"Namaku Kira, Namamu siapa?" tanya Kira seraya memperkenalkan diri. Uluran tangan Kira di jabat oleh si gadis.

"Namaku Tuti, aku ada di kelas A."

Di sisi lain, ketika pengurus osis sedang rapat, Ita sibuk mengetik di ponsel untuk dikirim ke grup. Lina dan Cia sibuk membalas tapi Lili mengikuti rapat.

"Karena Kirana ada di sini, jadi ayo kita lanjutkan rencana yang sudah ada." Ita tersenyum miring saat mengetik.

"Ok, laksanakan bos. Aku dan Cia akan ngelakuin. Biar kamu sama Lily ada di sini untuk rapat." Lina membalas cepat.

Lina lantas keluar menemukan Kira dan Tuti sedang bercanda. "Kira, boleh nggak lo ambil pel dan sabunnya. Rencana ruangan bakal di pel setelah rapat nanti."

"Oh, di mana pelnya?"

"Di gudang dekat kantor guru." Kira otomatis berdiri, bergerak menuju tempat yang diminta Lina.

"Aku bantu kamu ya." Sebelum Tuti bisa beranjak dari kursi, Lina mencengkram pundaknya, memaksa Tuti agar duduk.

"Lo bakal tetap di sini, awas saja kalau lo bantuin Kira."

SCHOOL SERIES : Teman Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang