New Boy, Rio

5 3 0
                                    

Sore hari Kira sudah bersiap-siap untuk menjemput Anggi. Dia sudah minta izin kepada Ibunya dan tanpa beralasan sang Ibu mengizinkan asal Kira tidak boleh pulang malam hari.

Kira masih sibuk dengan tasnya saat Ibunya mengetuk pintu. "Kira, ada temanmu nih," ucap Ibunya dari balik pintu.

Kira sontak lebih cepat mengambil ponsel di atas meja. Dia berpikir orang yang datang pastilah Anggi. Langkahnya dipercepat ketika ia keluar dari kamar sambil pamit pada Ibu. Kira bahkan tak sempat mendengar balasan Ibu saking gesit gerakannya.

Senyum Kira yang mengembang mendadak hilang begitu ia berhadapan dengan "temannya". Dia bukanlah Anggi, melainkan Ita. Wajahnya pun tampak gelisah. "Loh Ita, gimana kamu bisa tahu alamatku?" tanya Kira heran.

"Aku nggak bisa jawab itu, aku butuh bantuanmu sekarang." Ita menyahut masih dengan mimik muka cemas.

"Maaf tapi aku harus pergi, Anggi sudah menunggu dan aku punya janji sama dia." Belum sempat Kira melewati Ita, tangannya di raih oleh gadis itu.

"Aku mohon Kira, aku cuma minta bantuan sama kamu kali ini saja." Genggaman Ita terasa kuat sekali ditambah wajah putus asa itu membuat Kira simpati.

"Sekali ini saja, janji?" Ita mengangguk. "Baiklah mau minta bantuan apa?"

"Anu, hari ini kami mengadakan kegiatan pramuka di SMP Cipta, kami kekurangan orang buat menyiapkan bahan logistik." Ita menarik lengan Kira menuju mobil sementara Kira sendiri sibuk mengetik chat agar Anggi tak menunggunya karena tiba-tiba saja ada urusan penting.

"Ok bestie, nggak papa urus dulu kepentingan kamu nanti chat aku lagi ya kalau kamu nggak sibuk." Kira bernapas lega setelah membaca chat Anggi. Dia sungguh pengertian.

Sampai di sana Kira mendapat kacu menandakan bahwa ia juga ikut serta. Selama di sana tak ada kesempatan untuk istirahat. Ita berkata benar. Begitu banyak pekerjaan sehingga Kira merasa mereka butuh banyak orang.

Ketika menjelang malam barulah Kira mendapat istirahat. Ada banyak sekali orang termasuk para pengurus tapi tak ada satu pun yang dikenal. Kira memutuskan untuk duduk tak jauh di antara pengurus yang tengah mengobrol.

Kira mengelap peluh di dahi sambil mengatur napas yang berat. Pandangannya terus terarah pada beberapa orang dan tersenyum tipis mendengar candaan mereka yang lucu. Sebuah botol dingin mendadak berada di depannya.

Jelas saja Kira terkejut namun yang lebih mengagetkan lagi orang tersebut adalah Lili. "Ayo ambil," perintah Lili. Dia masih terkesan tidak ramah.

"Makasih," sahut Kira pelan.

Lili kemudian duduk tepat di sebelah Kira makin membuat gadis itu bingung. Kenapa rasanya Lili mencoba membuatnya merasa nyaman?

"Gue minta maaf ya soal tadi, gue yang salah." Kira mematung mendengar ucapan Lili. Ketua osis yang galak mendadak berubah. Entah ini perubahan baik atau hanya suatu kepura-puraan demi tidak dicurigai.

"Ya nggak papa, harusnya aku tidak marah besar juga. Aku janji nggak akan gangguin geng kalian jangan khawatir."

"Siapa bilang gue ngelarang lo buat bergaul bareng Ita, silakan kalau lo mau," sergah Lili.

Kira menggeleng. "Jujur aku merasa nggak nyaman, bukan hanya sama kamu, Cia juga kayaknya nggak nyaman kalau aku ada di sana. Aku tahu juga tentang Ita dan Glen, sangat canggung sebenarnya berada di dekat mereka saat salah satunya membenci yang lain."

Lili diam mendengar penuturan Kira. Sepertinya dia terlalu cepat menilai gadis itu. Karena status geng mereka adalah osis makanya Kira ingin bergabung namun pikiran Lili salah.

"Lo nggak usah berpikiran kayak gitu, memang Ita sama Glen punya masalah tapi bukan berarti lo nggak bisa temenan sama Ita, kan jadinya kayak lo memihak seseorang."

"Iya tapi aku hanya mau berteman baik-baik. Aku tidak ingin punya masalah dengan Ita maupun Glen jadi tolong bilang pada Ita, bukan bermaksud menjauh tapi aku nggak mau terlibat masalah. Aku harus pulang sekarang." Kira berdiri bersamaan dengan dirinya pamit.

"Lo nggak perlu di anter?" tanya Lili mencoba perhatian.

"Nggak usah aku bisa sendiri." Setelahnya Kira benar-benar menjauh. Kacu yang dipakainya pun sudah diberi pada Lili. Ita mendatanginya bersama Cia serta Lina.

"Ngapain lo sok baik sama dia?" tanya Cia langsung tanpa basa-basi. Aneh saja ketika melihat Lili yang jelas sekali tidak menyukai kehadiran Kira kini berubah sikap.

"Yah mau gimana lagi, kita harus dapat kepercayaan dia dong. Kalau kita semua nggak suka nanti Kira malah curiga sama kita, buktinya dari tadi Kira bilang dia nggak nyaman dekat kita." Lili tak sepenuhnya jujur. Dia sudah diminta tutup mulut oleh Mahen terutama Ita, jangan sampai Ita tahu kalau dia diancam oleh mantan ketua osis tersebut.

"Benar juga sih omongan lo, sekarang karena Kira pulang duluan dia pasti ketemu Rio." Ita kemudian mengalihkan perhatian ke arah Lina. "Lina, cepat nyusul Kira jangan sampe lo nggak dapat bukti foto-foto Kira sama Rio. Kita bikin Glen nggak suka sama Kira."

Lina mengancungkan jempol dengan senyum ceria. Sepeninggal Lina, Lili berjalan mendekati Ita dan mulai berbisik. "Kayaknya lo harus hati-hati Ta, firasat gue bilang Kira itu nggak bodoh kayak dugaan kita jangan sampe karena kita terlalu menganggapnya enteng, Kira dapat celah."

"Aduh Lili, tenang aja. Gue nggak peduli mau Kira pintar atau tidak, gue cuma pengen Kira ngejauhin Glen nggak lebih," balas Ita santai.

"Kalau gitu gue pengang omongan lo. Jika lo kedapetan dan bikin osis tercoreng karena sikap lo, gue nggak akan segan-segan minta lo keluar dari osis." Lili beranjak dari tempat tersebut.

Ita tampak terkejut dengan ucapan Lili. Ada pemikiran jika sahabatnya itu sedang menutupi sesuatu. Tindakan Ita selalu didukung oleh Lili apapun itu dan tidak pernah sekali pun ia sampai di ancam oleh Lili seperti ini.

"Kayaknya Lili nggak sepemikiran kita lagi," gumam Ita saat Cia mendekat. "Cari tahu gih kenapa dia bisa gitu," pintanya kepada Cia.

***

Kira terus berjalan menuju pintu keluar. Pikirannya hanya ada sang Ayah yang akan menyelidiki saat ia pulang nanti. Beginilah keseharian punya orang tua yang protektif, Kira selalu saja khawatir dengan Ayahnya.

Ia terus melangkah sampai akhirnya pintu keluar terlihat. Kelegaannya langsung sirna begitu melihat sekelompok laki-laki tengah bercengkerama di tempat parkir. Kira hanya seorang diri tanpa teman perempuan, sialnya baterai hp sekarang habis tak bisa menelpon seseorang untuk menjemputnya.

Kira masih berdiam diri. Dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengabaikan mereka kalau saja mereka mencoba menggodanya. Memalukan pasti tapi Kira terburu-buru.

Suara klakson membuyarkan lamunan Kira. Seorang pemuda dengan motor sport berhenti tepat di samping Kira. "Mau pulang?" tanya pemuda asing itu.

Kira menatap lawan bicaranya agak lama kemudian mengangguk dengan ragu. "Mau gue anter?" Kira diam tak menjawab. Dia selalu diingatkan untuk jangan terlalu percaya kepada orang asing.

"Jangan khawatir, gue punya niat baik kok," ujar si pemuda asing tampak mengerti akan tatapan Kira yang tidak biasa. "Gue tahu juga kok kalau lo nggak mau ngelewatin orang-orang itu. Gue cuma niat bantu."

Kira lalu diberikan sebuah helm oleh si pemuda. Ia tak memiliki pilihan jadi Kira segera memakai helm kemudian duduk di jok belakang. Si pemuda segera menjalankan motor dan melewati segerombolan laki-laki itu tanpa ada hambatan apapun.

"Di mana alamat lo biar gue anter," ucap pemuda itu ketika mengendurkan gas agar suara mesinnya tak menghambat keduanya mengobrol.

"Nggak usah repot aku bisa kok pesan ojek online."

"Nggak bikin repot kok, bilang aja biar gue langsung antar lo ke sana," kata si pemuda bersikukuh.

"Tapi kamu bakal ditanyain sama Ayahku, dia nggak suka kalau aku di antar sama cowok yang baru dikenal."

"Kalau gitu gampang yang penting gue bawa lo sampe di rumah biar selamat, oh ya btw nama gue Rio, siapa nama lo?" tanya Rio.

"Namaku Kirana, aku anak kelas 2-C."

SCHOOL SERIES : Teman Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang