Malam itu Ayana duduk di balkon kamarnya. Gadis remaja itu memandang lurus pada rembulan yang sebagiannya tertutup awan. Mendung sejak sore nyatanya belum juga mendatangkan hujan. Namun cuaca sudah cukup dingin sejak tadi.
Di dalam kepalanya, Ayana terlihat cukup sibuk. Ia memikirkan perihal bagaimana hidup berjalan dengan menakjubkan sekaligus menyedihkan.
Ayana kerap kali bertanya-tanya, tentang apa yang akan terjadi esok hari? Apakah hari akan cerah disertai angin segar? Atau malah hujan deras berangin lebat?
"Ayana."
Ayana menoleh, melihat ibunya datang dengan sebuah nampan di tangan keriputnya. Ayana tersenyum, dengan segera gadis itu menghampiri ibunya yang sudah duduk di ujung kasur.
"Ibu, kenapa susah-susah mengantarnya? Padahal Ayana bisa ambil sendiri nanti," ucap Ayana lembut.
Sang ibu hanya tersenyum, tangannya bergerak untuk mengusap rambut panjang milik putrinya yang terlihat tipis.
"Gimana hari ini, Nak? Kamu ngapain aja hari ini?"
Ayana yang sedang menenggak obatnya itu menatap ibunya. Dengan semangat, gadis itu mulai menceritakan tentang bagaimana ia menghabiskan hari.
Sebenarnya hari itu sama klasiknya dengan hari-hari biasanya. Hanya dihabiskan oleh Ayana untuk belajar, membaca novel yang baru ia beli, melukis, dan berjalan-jalan.
Tidak pernah ada yang spesial dari hidupnya sejak dulu.
Terlahir sebagai anak yang memiliki penyakit bawaan yang cukup serius membuat segala aktivitas Ayana terbatas. Gadis itu tidak bisa beraktivitas berat, tidak bisa pula jauh-jauh dari obat. Membuatnya merasa seperti burung merpati dalam sangkar.
Tapi, Ayana cukup menikmati hidupnya. Gadis itu merasa bahwa ia normal, tidak ada bedanya dengan anak-anak lain. Hanya karena ia tidak mengikuti pendidikan formal dan bergantung hidup dengan obat, bukan mengartikan kalau dirinya itu aneh, 'kan.
"Ah, iya. Tadi juga Aya jalan-jalan sore ke taman lagi. Aya ketemu lagi dengan laki-laki itu, Bu," ujar Ayana dengan senangnya, membuat sang ibu tersenyum manis.
"Oh, ya? Kamu sudah ajak dia berkenalan? Dari kemarin katanya mau kenalan."
Ayana mengangguk cepat. "Namanya Yushi, Bu. Dia tinggal di perumahan sebelah."
Sebagai seorang ibu, Arini begitu senang melihat putrinya kembali terlihat ceria. Rasanya sudah sangat lama Arini tidak melihat Ayana secerah ini, anak gadisnya itu biasanya selalu diam.
Maka dari itu, ketika Ayana bercerita bahwa ia bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa ia jadikan teman, Arini senang bukan main.
"Lain kali, ajak dia main ke rumah kita. Ibu akan membuat makanan yang enak nanti."
Ayana tersenyum manis. Gadis itu mengangguk kemudian.
Setelahnya, Arini memilih untuk keluar dari kamar putrinya. Ia menyuruh Ayana untuk segera tidur, mengingat malam mulai semakin larut dan dingin.
Di atas kasurnya, Ayana terdiam sendiri. Hening yang menerpa setelah ibunya pergi membuatnya kembali membayangkan kebahagiaan yang sederhana. Sesederhana bagaimana ia tertarik dengan laki-laki itu.
Yushi.
Tangan Ayana bergerak, menaikkan lengan dari cardigan panjangnya. Memperlihatkan sebuah perban yang menempel dengan baik di sikunya. Sebuah luka yang terbentuk akibat benturan antara bobot tubuhnya dengan aspal jalanan ketika mencoba untuk menarik Yushi.
Namun, Ayana tidak merasa perih sedikitpun untuk luka itu. Melainkan perasaan hangat ketika dirinya berhasil untuk menyelamatkan Yushi dan menggenggam tangan laki-laki itu.
Jika boleh jujur, sebenarnya Ayana sudah lama lelah dengan hidupnya sendiri. Berulangkali gadis itu merasa bahwa ia hanyalah beban untuk ayah dan ibunya. Berulangkali pula gadis itu mencoba untuk mengakhiri semuanya.
Saat pertama kali ia pergi ke taman di sore itu, sebenarnya Ayana ingin menghilang. Ia ingin pergi sejauh mungkin, tapi seseorang menghentikannya.
Ayana tersenyum tipis kala ingatannya kembali memutar adegan yang menurutnya sangat ajaib.
Saat itu, Ayana yang tengah duduk sendirian dengan sebotol obat miliknya di bangku taman dikagetkan dengan kehadiran laki-laki dengan tongkat pemandunya. Laki-laki yang matanya terlihat begitu indah, namun sarat akan keputusasaan.
Laki-laki itu sepertinya tidak mengetahui bahwa di bangku itu dia tidak sendirian. Ada Ayana yang duduk bersamanya di sore yang sunyi itu.
"Kamu pernah ingin mati?"
Ayana terkejut, gadis yang sejak tadi tertunduk itu menatap pada laki-laki di sampingnya. Ia pikir keberadaannya tidak terasa, namun sepertinya ia salah.
"Saat itu, aku juga ingin mati. Mati untuk kedua kalinya."
Ayana diam. Gadis itu membiarkan laki-laki itu berbicara sendiri. Namun dalam hatinya, Ayana mulai merenung sendiri.
"Dulu aku adalah manusia sempurna, menurutku. Tinggal bersama ayah dan bunda dengan bahagia, punya banyak teman, dan juga sedikit ketenaran. Sampai pada suatu hari, penglihatanku hilang, bersamaan dengan ayah dan bunda yang tidak tahu ke mana. Semua orang menjauhiku. Aku merasa bahwa itu adalah kematian pertamaku."
Laki-laki itu tersenyum kecut. Hal itu terekam melalui manik coklat milik Ayana. Senyum yang entah mengapa terasa begitu menyedihkan.
"Aku kehilangan segalanya dalam waktu singkat. Berkali-kali aku berteriak, memaki Tuhan yang memberiku kesialan seperti ini. Hidupku yang dulunya serba senang, kini berubah menjadi serba kasihan. Orang-orang menatapku dengan pandangan yang menjijikkan. Seolah-olah aku adalah manusia yang paling menyedihkan di muka bumi."
Ayana tidak tahu mengapa dirinya seolah-olah menyetujui ucapan laki-laki itu. Anak itu sebenarnya sama saja. Ia juga selalu dipandang menyedihkan oleh orang-orang hanya karena hidupnya yang bergantung dengan obat-obatan. Padahal, pada kenyataannya Ayana masih seperti mereka. Normal.
"Aku hanya ingin hidup biasa saja. Apakah sesulit itu untuk mereka semua mewujudkannya? Hidup normal itu standar sebenarnya seperti apa? Aku ingin tahu," ucap laki-laki itu yang ditutup dengan senyum jenaka.
Bagi orang-orang, mungkin ia sedang mengarang bebas. Tapi bagi Ayana, ia juga menanyakan hal yang sama. Hidup yang normal itu sebenarnya yang bagaimana?
Sampai sekarang, Ayana masih belum bisa menafsirkannya. Tentang kehidupan yang normal, kehidupan yang biasa-biasa saja.
Gadis yang sejak tadi duduk melamun dengan memori di sore itu mulai menengadahkan kepalanya. Menatap langit-langit kamarnya yang kosong.
"Aku juga ingin tahu tentang hidup normal itu, Yushi. Aku juga ingin merasakannya."
Ayana memeluk lututnya, gadis itu menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. Ia tidak tahu alasan mengapa malam yang dingin mulai mencekiknya. Namun, ingatannya tentang pertemuan dengan Yushi itu membuatnya sendu sendiri.
Ucapan-ucapan yang Yushi ucapkan di sore itu membuat Ayana ikut bertanya-tanya. Ucapan yang mungkin sebenarnya ingin Yushi teriakkan pada semua orang, sama sepertinya.
Dan karena alasan yang sama itu, Ayana akhirnya memiliki tekad. Gadis itu ingin akrab dengan Yushi. Dengan laki-laki yang setidaknya akan mengerti tentang bagaimana perasaannya selama ini.
Laki-laki yang ia anggap sama sepertinya. Yang hidup di dalam dunia yang penuh rasa kasihan dan pandangan menyedihkan.
Ayana ingin setidaknya memiliki satu teman dalam hidupnya yang sebentar. Ia ingin teman seperti Yushi.
Teman yang sama-sama hidup di alur yang abu-abu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Star
FanfictionSejak kecelakaan yang merenggut penglihatannya, dunia Yushi mendadak berubah. Ia dibanjiri oleh perasaan kasihan oleh orang-orang. Yushi lelah dengan pandangan iba yang selalu mengarah padanya. Ia hanya ingin hidup normal. Tanpa iming-iming dan pand...