22

165 27 6
                                    

Lorong sepi rumah sakit selalu berhasil untuk membangun suasana yang sendu. Banyak orang yang hadir melewati orang-orang yang sedang duduk termangu di sana menambah kesan terpojok. Seolah-olah hanya dirinya yang sedang bersedih hati pada saat itu, gulana menunggu kabar.

Itu pula yang dirasakan oleh Riku saat ini. Di dalam sana, Ayana sedang menjalani pemeriksaan bulanan untuk penyakitnya. Riku berharap dengan penuh cemas, semoga kali ini dirinya bisa mendengar kabar baik.

Kedua tangannya nampak tertaut penuh cemas, kepalanya juga ia tundukkan. Riku berdoa di sana, berdoa supaya kekasihnya baik-baik saja.

Lama Riku terduduk di sana dengan rasa cemasnya. Hingga suara pintu terbuka dan Ayana keluar dari sana. Membuat dirinya dengan segera berdiri untuk menyambut kekasihnya itu.

"Bagaimana? Apa kata dokternya? Kamu baik-baik saja, 'kan?"

Ayana menatap Riku jengah. Laki-laki itu terlalu cerewet dengan menanyainya begitu banyak pertanyaan sekaligus. Tapi seperti biasanya gadis itu bersikap, Ayana diam saja, tidak merespons apapun pertanyaan Riku.

Ayana memilih untuk terus melangkahkan kakinya, berniat untuk segera menuju ruang kemoterapi. Namun, langkahnya terhenti ketika Riku berhasil menahan tangannya.

"Ayana."

Ayana menatap Riku dengan tatapan yang menajam. Namun dapat dengan jelas Riku lihat di sana ada beberapa titik kekhawatiran di sana. Riku melemaskan cengkramannya di tangan Ayana, pemuda itu dengan cepat membawa Ayana ke dalam pelukannya. Menyembunyikan gadis itu yang tidak menolak kali itu.

Tidak ada yang Riku ucapkan, ia hanya memberikan sebuah usapan di punggung sempit Ayana. Jantungnya berdetak dua kali lebih kencang ketika pada akhirnya ia berhasil memeluk gadis itu. Ada perasaan senang di sana karena gadisnya yang tidak menolak, namun juga perasaan khawatir karena Ayana yang tidak kunjung memberikan reaksi.

Sedangkan di dalam pelukan itu, Ayana meloloskan satu air matanya. Masih terbayang di kepalanya ketika dokter yang biasa menanganinya mengatakan bahwa tidak ada perubahan berarti pada dirinya. Penyakit itu memang tidak memburuk, tapi juga tidak membaik.

Jika diperbolehkan untuk jujur, Ayana sudah begitu lelah dengan semua prosedur yang ia jalani selama ini. Pemeriksaan kesehatan yang membosankan, obat-obatan sialan yang harus ia konsumsi, dan sakitnya kemoterapi yang hanya mampu menunda kematiannya.

Dengan bergetar gadis itu menghembuskan napasnya. Ayana kemudian mendorong Riku dengan pelan, ia tatap sekilas wajah yang terlihat khawatir itu. Aneh. Aneh sekali untuknya melihat bahwa Riku mengkhawatirkannya.

"Jangan membuatku nampak menyedihkan, Maeda."

Riku tidak membalas ucapan itu. Ia hanya mengangguk, mengiyakan permintaan itu. "Mau langsung ke ruang kemo?"

Ayana mengangguk, sedangkan Riku tersenyum.

"Aku temani, ya?"

"Tidak usah," tolak Ayana dengan cepat.

Ia tidak pernah suka jika ada orang yang bersamanya di ruangan menyakitkan itu. Ia tidak suka jika orang-orang tahu bahwa ketika Ayana menjalaninya, ia selalu menangis. Ayana tidak mau terlihat rapuh, apalagi di depan laki-laki satu ini.

"Tapi, biasanya orang-orang selalu ditemani jika melakukan kemoterapi."

"Kalau aku bilang tidak itu artinya tidak. Kau tidak mengerti ucapanku?" nyalang Ayana setelah mendengar Riku berbicara kembali.

Riku menghela napasnya, ia tatap mata yang melotot itu dengan lembut. Diusapnya rambut tipis Ayana sembari tersenyum kecil. "Baiklah, tapi biarkan aku mengantarmu sampai ke depan ruangan."

Blind StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang