Setibanya di rumah sakit, Alsya langsung menuju IGD dan menemukan tempat Ghazi dirawat. Ia belum dipindahkan ke ruangan rawat inap, karena masih ada beberapa pemeriksaan yang masih menunggu hasil dan persoalan administrasi yang mesti diurus. Ghazi masih tertidur saat Alsya tiba disana. Kata Pak Heri, ia sudah sempat sadarkan diri. Sekarang ia hanya di bawah pengaruh obat.
Dugaan buruk yang sejak di perjalanan tadi ia pikirkan, dengan begitu mudahnya ternyata terjadi sekarang. Sebelum Alsya datang, Pak Heri telah menghubungi organisasi untuk memberitakan kejadian naas ini. Mereka mempertimbangkan kondisi Ghazi dengan seksama. Hingga terbitlah sebuah keputusan yang sangat tidak menguntungkan Alsya, ia harus bertanding sendiri besok.
Rules yang diberlakukan pada pertandingan ini kurang lebih sama dengan sebelum-sebelumnya. Hanya saja, di ajang ini tim dibenarkan duduk berdampingan dan bekerja sama saat pengerjaan soal. Jumlah pertanyaan yang diberikan adalah 40 butir, dengan waktu pengerjaan sekitar 120 menit. Untuk pembagian jumlah soal, itu terserah kepada tim. Hendak imbang atau yang mengerjakan satu orang, suka-suka. Yang jelas pada akhirnya masing-masing tim harus mengumpulkan jawaban dari 40 persoalan itu. Tak peduli bagaimana kolaborasi mereka di dalam tim.
Sebelum tragedi itu, soal 40 bukanlah apa-apa jika waktu yang diberikan adalah 120 menit. Toh, dia akan berbagi masing-masing 20 soal dengan Ghazi. Namun, setelah semuanya menimpa, Alsya jadi pesimis. Jangankan pulang dengan kemenangan, cara mengerjakan 40 soal sendirian saja masih ia pusingkan. Itu ... benar-benar mustahil.
Semua ini tentu telah berdasar pada kondisi Ghazi yang dinilai cukup serius. Akibat tragedi siang tadi, Ghazi mengalami patah tulang pada lengan kirinya. Seolah tak cukup dengan itu, kabar buruk lainnya juga menghampiri mereka. Baru diketahui oleh Alsya, bahwa Ghazi mengalami cedera bawaan di area tulang belakang. Ia memiliki riwayat operasi di bagian itu setelah terlibat sebuah kecelakaan besar. Hal tersebut ikut kambuh setelah ia jatuh, menyebabkan Ghazi kesulitan berjalan sekarang. Dengan berbagai sanggahan pun, kondisi Ghazi memang tak layak tanding untuk saat ini.
Alsya akhirnya pulang setelah beberapa saat di rumah sakit. Ia sampai di penginapan saat hari hampir berjalan magrib. Wajahnya murung, memikirkan segala kemungkinan buruk yang mungkin dialaminya besok.
Masih di lobi penginapan, ponsel di dalam tas selempangnya bergetar. Dengan lunglai ia mengambil benda itu. Di layarnya terlihat pemberitahuan, itu panggilan video, dari Dafa. Alsya pun menepi, duduk di sebuah sofa yang tersedia di sana.
"Assalamu'alaikum, Kak," sapanya dengan suara lirih. Semangatnya seolah telah disedot habis oleh sesuatu.
"Wa'alaikumussalam. Kamu dimana, Sya? Penginapan?" Alsya mengangguk saja.
Dafa menghela nafas panjang melihat responnya. "Nggak usah murung gitu, dunia tetap berputar meski dengan peristiwa-peristiwa yang di luar dugaan."
Alsya diam tak menanggapi ungkapan seniornya itu.
"Kondisi Ghazi nggak seburuk itu, Sya. Kamu sedih karena dia? Nggak perlu ah!" Dafa bersuara lagi.
"Nggak seburuk itu, tapi tetap aja dia nggak akan tanding besok, Kak," ujar Alsya dengan mata berkaca-kaca. Terlepas dari kondisi Ghazi, yang lebih ia sedihkan adalah keputusan organisasi.
"Kenapa tim Alsya penuh cobaan banget, ya, Kak? Kak Fely pensiun dini dengan alasan udah mendekati kelas 12. Arkan pergi gitu aja menjelang event nasional. Sekarang? Ghazi kecelakaan di H-1 pertandingan. Kenapa Alsya kayak ketiban sial mulu, Kak?" Ini luahan emosinya. Perpaduan dari sedih, kecewa, dan sakit hatinya.
"Soalnya 40, Kak. Ini event skala nasional, soalnya nggak mungkin remeh. Gimana Alsya mau nyelesaiin semuanya dalam waktu dua jam? Tanpa Ghazi, Alsya udah kalah sebelum bertarung."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐈𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐇𝐀𝐍𝐀
Viễn tưởngIni bukan namanya, tapi tentang sesuatu yang identik dengan dirinya. Ini perihal bintang sagitarius, yang dalam kebudayaan Indonesia disebut Lintang Dhana. Seseorang pemegang busur dan anak panahnya adalah lambang legenda dari rasi bintang tersebut...