𝐉𝐀𝐍𝐉𝐈 𝐀𝐑𝐊𝐀𝐍

22 4 0
                                    

Cabang olimpiade Matematika, baik yang tunggal maupun beregu, telah melaksanakan pertandingannya sejak pukul sebelas tadi. Pertandingan dijalankan secara bergilir. Di jadwal pertama, yakni pukul setengah delapan pagi, ada cabang olimpiade Ekonomi yang mengawali. Kemudian disusul oleh Bahasa Inggris di pukul sebelas. Matematika menjadi cabang terakhir sebelum jam istirahat siang. Untuk cabang lainnya akan dilanjutkan lagi nanti setelah Zuhur.

Alsya berada di ruang tunggu yang disediakan panitia bersama dengan sebagian besar anggota kontingennya. Ruangan ini cukup besar, mungkin bisa menampung hingga ratusan orang. Kabarnya, ruangan ini memang sengaja didesain sebagai tempat persinggahan dan istirahat para peserta.

Ghazi sendiri tidak ikut nongkrong di dalam ruangan itu. Setelah tanding tadi, ia meminta izin untuk keluar dan mengelilingi gedung pertandingan. Melihat-lihat pajangan yang tergantung hampir di setiap dinding.

Di tempatnya tidak terlalu ramai, karena mayoritas peserta memang sudah berpindah ke ruang tunggu. Hanya orang kurang kerjaan sepertinya yang memilih jalan-jalan saat jam makan siang.

Di antara beberapa manusia yang ada disana, Ghazi menjatuhkan atensinya pada seorang lelaki berkemeja putih dengan balutan rompi maroon di luarnya. Lelaki itu sedang membelakangi dirinya, ia seperti sedang asik membaca sederet tulisan panjang yang terdapat di samping sebuah foto.

Yang menarik perhatian Ghazi adalah, postur tubuh lelaki itu seperti tidak asing. Demi membunuh rasa penasarannya itu, Ghazi berpura-pura ingin melihat tulisan itu juga. Ghazi jalan mendekatinya, hingga tiba tepat di sampingnya.

Mata Ghazi seketika membola. Mulutnya sedikit ternganga, tapi cepat-cepat dinormalkan kembali.

"Arkan?" Serunya tak percaya. Setelah kurang lebih setahun hilang bak ditelan bumi, siapa sangka ia bisa bertemu Arkan di pertandingan ini?

"Lo beneran, Arkan, kan? Wah!" Ghazi geleng-geleng kepala. Merasa takjub seolah melihat seorang pangeran yang datang dari lima abad sebelumnya.

"Eh, Ghazi." Jangan sangka Arkan mengucapkan ini dengan kehebohan yang sama dengan Ghazi. Lelaki itu hanya bersuara lirih, kemudian juga datar.

"Lo apa kabar, Kan? Kita sama sekali nggak bisa akses kabar lo sejak kepindahan itu." Ghazi mengulurkan tangannya, hendak berjabatan dengan mantan teman sekelasnya.

Arkan menyambut uluran tangan itu. "Baik. Lo gimana?"

"Seperti yang lo lihat, Kan. Sangat baik." Ghazi tersenyum lebar.

Arkan mengangguk-angguk. "Lo join klub olimpiade juga?" Karena mustahil orang yang bukan anggota klub olimpiade akan berada di ajang besar ini.

"Iya. Buat gantiin lo." Senyum Ghazi sirna perlahan, saat pembahasan ini telah dibuka.

"Heem?" Arkan mengangkat alisnya. Ia tak paham apa maksud Ghazi.

"Lo waktu itu pergi hanya beberapa hari sebelum pertandingan nasional, kan? Lo kira Alnilam nggak kelimpungan buat nyari pengganti? Kepergian lo bikin Alsya bahkan Alnilam nyaris gagal untuk melaju ke nasional. Alhasil gue dipanggil sama klub untuk bergabung, dan langsung mendampingi Alsya. Pakai nama lo."

Arkan tertegun. Ia memang berharap bahwa Alsya tak akan gugur pada saat itu, tapi ia juga tak menyangka bahwa alternatifnya adalah mencari orang baru untuk menggantikan posisinya tapi masih tetap menggunakan namanya.

"Gimana hasilnya?" Arkan penasaran.

"Kalah," jawab Ghazi enteng. "Andai lo menetap sebentar lagi aja, Kan. Gue yakin, lo udah bawa pulang emas ke Alnilam."

"Gue nggak bisa," jawab Arkan dengan tatapan yang datar.

Ghazi mengangguk saja. Sepertinya persoalan ini cukup sensitif untuk dibahas oleh mereka yang baru bertemu lagi setelah sekian lama.

𝐋𝐈𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐇𝐀𝐍𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang