𝐘𝐔𝐃𝐈𝐒𝐓𝐈𝐑𝐀 𝐍𝐀𝐑𝐄𝐍𝐃𝐑𝐀

47 5 0
                                    

Di tengah kefokusannya mengerjakan berlembar-lembar soal latihan—demi persiapan ke pertandingan minggu depan—ponsel Alsya yang berada di atas meja bergetar. Perhatiannya teralih sebentar, ia meraih benda pintar itu dan mengecek pesannya.

Narendra
———————

Aku main satu ronde lagi. Jadi, lumayan telat kelarnya. Kamu udah selesai, tah? Kalau emang udah keluar, tunggu aja di dudukan dekat parkir itu, ya? Waktu selesai aku langsung ke sana.

Oke, Naren. Latihan aku juga sedikit lebih lama hari ini. Soalnya banyakss …

Semangat, Asya.

Dafa yang hari ini menjadi tutor mereka—Alsya dan Arkan—menatap jengah ke arah gadis yang sedang tersenyum itu.

"Naren?" Tanyanya seolah tahu siapa penyebab di balik lengkungan sabit itu. Alsya mengangguk pasti sambil menaikkan alisnya. Fokus Arkan juga sempat teralihkan ke sana.

"Makin gacor, nih. Udah disemangatin ayang soalnya." Ekspresi Dafa makin tidak terkontrol. "Agak nggak waras memang."

Alsya mengedikkan bahu, kembali larut pada soal-soal di depannya. Dafa itu memang sibuk mengomentari orang, padahal dia beribu-ribu kali lipat lebih bucin daripada Alsya. Cuma agak gengsian saja.

Waktu berlalu, tidak terasa ini sudah seminggu sejak terbentuknya tim baru di ekskul mereka. Tim yang akan langsung turun ke SMA Garuda pekan depan. Alsya dan Arkan resmi didaftarkan dalam sektor ganda campuran. Pertandingan di SMA Garuda menjadi ajang debut pertama mereka.

"Karena baru perdana turun—sebagai sebuah tim—targetnya nggak usah muluk-muluk. Yang penting bisa menyelesaikan pertandingan dengan baik, ciptakan chemistry dan kerjasama yang bagus. Tentang medali, itu perkara ke sekian." Begitu petuah Dafa beberapa hari lalu. Alsya dan Arkan memang memiliki potensi bagus, tapi tentunya butuh waktu agar dua potensi itu bisa berkolaborasi sehingga menciptakan hasil yang gemilang.

Setengah jam sejak pesan tadi masuk, Alsya dan Arkan sudah menyelesaikan semua soalnya. Lembaran penuh coretan itu mereka serahkan kepada Dafa untuk diperiksa. Barulah besok, atau lusanya Dafa akan memberikan evaluasi. Kedua insan itu akhirnya dibolehkan pulang, Alsya pun segera melesat ke area parkir.

Belum terlihat tanda-tanda bahwa Naren sudah di sana. Namun, ada seseorang yang membuatnya kembali menyunggingkan senyum. Dari koridor yang terhubung ke lapangan futsal, seorang teman Naren mendekat dan menyapanya.

"Nungguin Naren, ya?" Tanyanya karena tahu dua sejoli ini sering pulang bersama. Alsya mengangguk. "Latihannya udah selesai, kan?"

Kini giliran Kausar yang mengiyakan. Pandangannya agak berpaling ke arah yang berlawanan. "Itu Naren di belakang. Gue duluan, ya, Sya?" Pamitnya kemudian pergi mengambil motor.

Alsya menyambut Naren dengan senyuman indahnya. Matanya yang sudah begitu lelah—karena banyaknya soal tadi—menatap penuh ke wajah Naren yang bersimbah keringat. Porsi latihan atlet memang luar biasa.

"Lama nunggu?" Naren bertanya seiringan dengan langkah mereka menuju ke motornya.

"Nggak kok. Aku juga baru sampai," jawab Alsya dengan riangnya.

Naren memberikan sebuah helm kepada Alsya. Ia sendiri masih membuka bagasi motor untuk meletakkan kaos yang dipakainya saat latihan tadi.

"Ada yang mau dibeli?" Naren bertanya lagi, bersamaan dengan tangannya yang menutup bagasi dan mulai mengenakan helm. Alsya menggeleng.

"Enggak, sih. Pengin cepat pulang aja. Aku masih aja tugas," jelasnya mengingat ada beberapa PR yang diberikan gurunya siang tadi. Lebih parahnya lagi, deadline pengumpulannya itu besok.

𝐋𝐈𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐇𝐀𝐍𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang