Pagi itu di salah satu sudut Kota Padang, di sebuah aula raya dekat dengan penginapan, puluhan perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia telah memadati ruangan. Sekitar dua puluh menit lagi pertandingan olimpiade tingkat nasional ini akan dilaksanakan.
Karena ini adalah pertandingan beregu, maka posisi Alsya yang duduk sendirian telah menjadi pusat perhatian sejak tadi. Bagi yang tahu tentang tragedi kemarin, akan berbisik membicarakan. Bagi yang tidak tahu, ikut berbisik juga, tapi untuk mempertanyakan sebab di balik kesendiriannya.
Peristiwa yang menimpa Ghazi telah sampai laporannya ke pihak panitia. Dua orang yang menyebabkan jatuhnya Ghazi dari tangga juga merupakan peserta di pertandingan ini. Sebagai sanksi, mereka dituntut untuk bertanggung jawab kepada pihak Alnilam dengan meminta maaf atas kelalaiannya sekaligus menanggung biaya yang dibutuhkan tergantung kesepakatan bersama. Namun, mereka tetap bisa bertanding hari ini karena masih mempertimbangkan keberadaan partner mereka yang tentunya tak ingin ikut dirugikan begitu saja.
Beberapa panitia sudah mulai bergerak di sela-sela siswa. Membagikan kertas soal dan lembar jawaban karena waktu menuju pertandingan kian mendekat. Alsya saat itu tengah menunduk ke bawah sambil memperhatikan badname milik Ghazi. Benda tipis menyerupai kalung ini diberikan oleh Pak Heri kemarin sore saat ia berkunjung ke rumah sakit. Beliau meminta Alsya untuk tetap membawa bad ini ke pertandingan, mengantisipasi jika kiranya diperlukan.
"Ini kok sendiri, Dek? Partner-nya kemana?" Alsya mendongakkan kepalanya dan segera menyimpan bad Ghazi ke dalam saku jas. Seorang panitia telah berhenti di sampingnya.
"Di rumah sakit, Kak," jawab Alsya.
Panitia itu seolah langsung connect dengan situasi yang ada. "Oh, yang kemarin kecelakaan, ya?"
Alsya mengangguk sambil tersenyum samar.
"Ini soal dan lembar jawabannya, ya. Nanti di lembar presensi, bagian partner-nya dikosongin aja. Tapi, di lembar jawaban tetap tuliskan nama, ya," pesan panitia berkemeja hitam itu.
"Iya, Kak."
Butuh beberapa menit sampai semua peserta mendapatkan soal dan lembar jawabannya. Sebelum kembali ke depan, panitia melakukan pengecekan terakhir. Hingga semuanya dianggap beres, dalam tiga hitungan mundur, dan bersamaan dengan berbunyinya sebuah bel, pertandingan resmi dimulai.
Alsya menggunakan semenit waktu dari 120 menit total miliknya untuk berdoa. Dengan penuh khidmat ia meminta pertolongan dan kemudahan dari Tuhan Yang Maha Esa. Semoga hasil baik menyertai Alnilam dalam pertandingan ini.
Alsya mengucapkan amin sambil mengusapkan tangan ke wajahnya. Matanya masih terpejam. Sepersekian detik, bersaman dengan momen itu, Alsya mendengar suara derit kursi yang digeser, tepat dari samping dirinya.
Alsya dengan segera membuka manik matanya, dan langsung terdiam karena seseorang telah berdiri di sana dengan sebuah senyuman yang tertuju kepadanya.
•••
90 menit sebelum pertandingan dimulai …
Pak Heri menatap pasrah ke arah Ghazi yang tengah duduk di pinggir brankarnya. Ia tengah meminum obat penangkal rasa sakit yang diberikan oleh seorang perawat. Berkat tekad kuatnya—atau lebih pantas disebut berkat sifat keras kepalanya—Ghazi siap berlaga untuk hari ini. Kondisinya yang kemarin masih kesulitan berjalan, saat ini sudah lumayan bisa dengan berpegangan pada benda-benda sekitar.
Ghazi tidak menggunakan tongkat karena terlalu sulit rasanya, sebab sebelah tangannya juga patah dan sekarang harus disangga dengan arm sling.
"Pelan-pelan!" Ujar Pak Heru spontan saat Ghazi mulai turun dari brankar. Perawat memintanya untuk coba berjalan beberapa langkah.
![](https://img.wattpad.com/cover/341995268-288-k142006.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐈𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐇𝐀𝐍𝐀
FantasyIni bukan namanya, tapi tentang sesuatu yang identik dengan dirinya. Ini perihal bintang sagitarius, yang dalam kebudayaan Indonesia disebut Lintang Dhana. Seseorang pemegang busur dan anak panahnya adalah lambang legenda dari rasi bintang tersebut...