𝐙𝐈𝐃𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐍 𝐃𝐄𝐁𝐔𝐑𝐀𝐍 𝐎𝐌𝐁𝐀𝐊

13 4 0
                                    

Untuk menutup hari yang panjang dan melelahkan ini, Alsya menghabiskan sisa malamnya dengan mengulang beberapa materi yang diprediksi akan keluar pada pertandingan besok. Masing-masing perwakilan daerah tentu telah mengantongi kisi-kisi soal yang akan diberikan. Hal ini biasanya berasal dari hasil analisa soal beberapa waktu belakangan.

Menyikapi insiden yang terjadi, yang mengharuskan Alsya turun sendiri, organisasi juga menyiapkan beberapa strategi. Mereka sempat berdiskusi dengan Alsya terkait materi mana saja yang rasanya paling ia kuasai. Setelah itu, mereka menargetkan bahwa besok, pada waktu-waktu awal Alsya hanya perlu fokus pada soal-soal tersebut. Soal yang kiranya membutuhkan waktu lama untuk dikerjakan—karena kurangnya penguasaan Alsya di materi tersebut—hendaknya diabaikan untuk meminimalisir kemungkinan kalah telak. Target juara yang semula dipasang kini berubah menjadi minimal masuk di sepuluh besar.

Alsya menutup buku catatannya. Sejauh ini, ia merasa usahanya sudah maksimal. Besok adalah sebenar-benarnya pertandingan. Dan Alsya menjamin sudah siap untuk itu. Ia sudah siap mem-backup partner-nya dengan mengerjakan 40 soal sendirian. Waktu yang ia miliki besok adalah maksimal tiga menit untuk satu butir soal.

Buku ukuran A5 itu ia letakkan di atas nakas di samping tempat tidurnya. Kamar ini berisikan tiga tempat tidur kecil, dengan nakas atau kabinet sebagai batas. Dua teman sekamarnya sudah lebih dulu terlelap. Saat kepulangannya tadi, mereka langsung menghujani Alsya dengan banyak pertanyaan. Alsya pun menjelaskan kondisi Ghazi apa adanya, bahkan secara jujur menyampaikan bahwa Ghazi tidak bisa bertanding besok.

Alsya mulai berbaring. Ia menarik selimut hingga ke batas dada. Malam terasa agak dingin, berbanding terbalik dengan suhu membakar di siang hari. Akibat terlalu lelah, matanya terpejam dengan cepat. Alsya terlelap begitu saja dalam hitungan menit, meninggalkan alam nyatanya dan berkelana di dunia mimpi.

Kamar yang hening berubah jadi pemandangan tepi laut yang riuh dengan desau angin dan suara ombak. Sejauh mata memandang, yang Alsya lihat hanya keindahan saja. Mega merah terlihat di bentangan langit, menandakan sekarang ia berada di waktu petang. Melihat ke sekeliling, Alsya mendapati beberapa pengunjung lainnya yang tengah bercengkrama dalam tawa. Berbagi kebahagiaan dengan orang-orang tersayangnya.

Tak luput dari pandangan Alsya, seorang lelaki berpakaian santai yang tengah berdiri di sampingnya. Kaos polo berwarna biru dongker membaluti tubuh tegapnya. Tubuh seseorang yang beberapa waktu lalu hanya ia lihat mengenakan seragam militer, tapi kali ini tampak berbeda. Sosok misterius yang terakhir kali diketahui bernama Zidan, kini hadir kembali setelah hilang beberapa waktu.

"Kenapa Mas ajak aku ke sini?" Walau panggilan ini masih belum diketahui latar belakangnya, tapi Alsya tetap menyuarakannya saat mereka bertemu.

"Biar kamu agak tenang." Ia yang semula sedang menatap lurus ke arah air, kini berpaling ke samping untuk melihat wajah Alsya.

"Duduk!" Titahnya pelan.

Alsya menjatuhkan pandangannya ke bawah. Ia tidak sedang berdiri di atas pasir pantai, tapi di atas bebatuan besar yang dikenal sebagai pembatas atau pelindung pantai. Mengiyakan ajakan Zidan barusan, ia pun mulai mendudukkan dirinya disana.

Batu ini tidak berdiri sendiri, di bawahnya masih terdapat banyak batu-batu lainnya yang terus tumpang tindih hingga mencapai ketinggian tertentu. Puncaknya adalah yang dapat diduduki orang-orang—seperti Alsya dan Zidan saat ini—area yang bahkan tak terjangkau oleh ombak

Hening melanda mereka beberapa saat. Zidan sibuk memperhatikan bebatuan yang ukurannya agak kecil di bawah sana. Bebatuan pertama yang diletakkan dan bersentuhan langsung dengan pasir pantai.

"Menurutmu, dalam semenit saja, berapa kali batu itu terkena hantaman ombak?" Pria itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari objek tersebut.

"Entahlah, mungkin antara lima sampai delapan kali," jawab Alsya sedikit ngasal. Tidak sempat baginya untuk me-matematisasi persoalan ini.

"Lantas jika batu ini telah berada di pantai selama satu tahun. Artinya ia telah diterpa ombak sebanyak jutaan kali," ungkap Zidan yang kini sudah menatapnya.

Alsya mengangguk.

"Bukankah menurutmu dia masih sangat kokoh walau sudah diterpa jutaan kali?"

"Iya," jawab Alsya dengan pasti. Batu yang tak terlalu besar itu masih tetap di tempatnya, masih kuat menyangga banyak lapisan batu di atasnya walau sudah diterjang jutaan kali oleh gelombang air.

"Begitu juga harusnya manusia, Sya," ucap Zidan lembut.

"Hah?" Alsya menatapnya dengan wajah kebingungan. Apa hubungannya manusia dengan batu?

"Hidup sebagai manusia tak selalu diselimuti kebahagiaan. Ada masanya masalah terus-menerus mendera. Menghantam tanpa ampun, tak peduli mau sekeras apa. Masalah itu serupa dengan ombak, yang kadang datang terlalu sering dengan kekuatan besar."

"Batu itu anggaplah sebagai manusia. Kapan ia merasa bahagia? Mungkin pada saat air laut surut hingga ombak tak lagi menjangkaunya. Jangankan menghantam, menyentuh saja tidak. Masalah padanya baru datang saat laut kembali pasang, saat ombak menghantam dirinya berkali-kali. Katakan batu juga merasakan sakit. Tapi coba lihat, batu itu tetap kuat. Tetap kokoh diterpa jutaan ombak. Karena apa? Karena dia sudah hafal bahwa laut memiliki pasang surutnya. Ombak tak selalu menghantamnya. Itu hanya sementara."

"Ketika kita merasa ditimpa cobaan yang begitu berat, percayalah itu juga sementara. Poros dunia terus berputar, hari ini kita bersedih, besok mungkin kita bahagia. Kalau bukan besok, masih ada lusa. Bukan lusa, maka masih banyak hari-hari selanjutnya. Manusia juga harus kuat menghadapi ombaknya, karena dia juga akan surut pada waktunya," jelas Zidan panjang lebar tentang filosofi yang ada di kepalanya.

Menggabungkan peristiwa ini dengan kehidupan dunia nyata, Zidan seolah bisa melihat apa yang tengah ia alami di hidupnya. Zidan seolah mengetahui beratnya hari yang Alsya jalani hari ini. Mimpi kali ini tak semata untuk mengajaknya menikmati pemandangan indah, tapi juga untuk menguatkan dirinya.

"Kenapa Mas kasih tahu itu ke aku?" Ia ingin memastikan, apakah memang dunianya terhubung dengan dunia Zidan?

"Hemm …" Zidan berpikir sejenak. "Nggak ada maksud tertentu, cuma pengen aja. Saya tiba-tiba kepikiran kalimat itu pas lihat batu," ujarnya diselingi dengan senyum yang menampakkan lesung pipinya.

Alsya menghela nafas panjang mendengar jawabannya. Benar, tentu ia tak bermaksud apa-apa. Ini hanya mimpi, Zidan tak pernah ada di dunia nyatanya. Mustahil ia bisa tahu kehidupan Alsya yang sebenarnya. Nasihatnya barusan pasti hanya kebetulan saja.

Tapi, tunggu? Bukankah tadi Alsya mengatakan tentang lesung pipinya? Berkat kesadarannya, Alsya langsung melihat wajah lelaki itu kembali. Di beberapa mimpi sebelumnya, wajah ini sangat samar hingga tak bisa diingat bagaimana bentuknya. Namun sekarang, apakah sebagiannya sudah terlihat?

Alsya memandangnya lekat-lekat. Benar, yang jelas hanya sebagian. Alsya hanya bisa melihat bibirnya dan lesung pipinya yang manis. Hidung hingga dahi? Ah! Alsya sama sekali tak bisa mendeskripsikan itu.

Padahal ia masih ingin memandang, tapi Zidan berdiri tiba-tiba, memaksa Alsya untuk ikut bangkit segera.

Zidan menatapnya dalam-dalam, senyum dengan lesung pipi itu terlihat lagi.

"Sya, semoga berhasil dengan apapun yang kamu lakukan. Semoga hal-hal baik selalu mengiringi kamu."

Senyumnya, perlahan-lahan pudar karena suatu cahaya yang menyilaukan. Wajah yang samar itu, bahkan tak bisa dilihat lagi oleh Alsya. Sedikitpun, tak bisa lagi. Di mata Alsya kini hanya terlihat cahaya yang amat terang. Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya, Zidan telah hilang bersamaan dengan cahaya itu.

•••

𝐋𝐈𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐇𝐀𝐍𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang