𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐇𝐀𝐒𝐀𝐍 𝐒𝐄𝐌𝐔

38 4 0
                                    

Beberapa hari yang lalu, semua anggota ekskul olimpiade diistirahatkan dari pertandingan karena sedang menghadapi Ujian Semester. Namun, kini ujian itu sudah selesai. Beberapa anggota sudah mulai diorbitkan lagi ke dalam perlombaan. Di antaranya ada Arkan dan Alsya.

Meski mereka sedang dalam persiapan menuju pertandingan Nasional pekan depan, tapi Alnilam bersikukuh untuk menurunkan mereka demi menjawab undangan dari instansi penyelenggara. Undangan itu datang begitu mendadak, hanya selang sehari setelah masa ujian usai. Kemudian, karena undangan tersebut adalah undangan khusus, Alnilam jadi sedikit segan jika tidak mengirimkan satu anggota pun untuk bertanding. Jadilah, ada empat orang yang akan berlaga kali ini; Alsya, Arkan, dan dua orang lainnya dari sektor tunggal.

Pertandingan telah berlangsung pagi tadi di Aula Raya milik Pemerintah Daerah. Seluruh peserta yang sejak tadi sudah berlaga dan menunjukkan skill-nya masing-masing, kini tinggal menunggu pengumuman saja yang katanya akan ditempelkan sebentar lagi.

Alsya sedang duduk bersebelahan dengan Arkan, sama seperti sebelumnya, mereka masih kerap dilanda hening. Belum ada perubahan kembali, terkait sikap Arkan yang tiba-tiba dingin itu.

Alsya menghela nafas panjang, bersamaan dengan itu Arkan juga bangkit dari duduknya. Di genggamannya, dapat Alsya lihat ada ponsel yang layarnya menyala, disana tertera ada sebuah panggilan masuk.

"Bilang ke pembina, gue ke depan dulu," ujarnya singkat, kemudian berlalu begitu saja. Alsya hanya mengangguk tanpa merasa aneh akan satu apapun. Menurutnya, itu mungkin memang panggilan yang sangat penting, yang tidak bisa langsung Arkan jawab di tempat ramai seperti ini.

Namun pada kenyatannya,  panggilan yang masuk itu adalah sesuatu yang sangat dibencinya dalam beberapa waktu belakangan. Panggilan yang jika bisa akan ia hindari seumur hidupnya.

"Halo. Kenapa nelepon?" Ujarnya sebagai pembuka langsung pada panggilan yang mau tak mau harus ia jawab dengan keterpaksaan.

"Dimana kamu?" Suara lelaki dari seberang sana menanggapinya.

"Di Aula Raya. Bukannya udah Arkan bilang dari pagi? Arkan ada lomba."

"Persetan dengan lombamu itu, Arkan. Nggak ada gunanya semua itu. Yang terpenting sekarang adalah keputusanmu, jangan berlama-lama. Kamu mau ikut Ayah atau Bunda?" 

Kalimat terakhir yang dilontarkan Ayahnya itu adalah musabab mengapa Arkan ingin menghindari panggilannya. Tepat seminggu sebelum ujian semester, orang tua Arkan memutuskan untuk bercerai setelah sekian lama hidup dalam keributan rumah tangga. Arkan yang notabene-nya adalah anak tunggal membuat hak asuhnya sangat diperebutkan setelah proses perceraian ini. Mengingat Arkan yang sudah cukup umur untuk mengambil keputusan, maka masalah hak asuh akan selesai berdasarkan pilihannya sendiri.

Jika sejak lama Alsya sudah bertanya-bertanya tentang alasan di balik perubahannya. Maka ini lah jawaban yang akan menuntaskan segalanya. Ini adalah wujud permasalahan yang membebani kehidupan Arkan sejak waktu itu.

"Arkan nggak pilih dua-duanya," jawabnya dengan penuh penekanan. Jika harus memilih satu, maka tidak dua-duanya.

Di seberang sana, Ayahnya langsung mengeluarkan tawa meremehkan. "Kamu itu masih anak kecil. Tanpa memilih tinggal dengan orang tua, kamu bisa mati kelaparan, Kan. Terlunta-lunta jadi anak jalanan."

Jangan pernah tanya bagaimana sakit yang sudah dirasakan oleh jiwanya, karena Arkan pun sudah tak bisa menjabarkannya lagi.

"Lebih baik mati daripada harus memilih Ayah atau Bunda." Lagi-lagi Arkan menekankan. Ia memang sudah remaja, tapi bayangkan saja, anak mana yang sanggup ketika dihadapkan dengan pilihan seperti itu.

𝐋𝐈𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐇𝐀𝐍𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang