Sorak ramai gempita anak murid memenuhi stadion kolam renang. Dengan segala atribut untuk mendukung masing-masing regu. Walau hanya satu kelas, tetapi suara yang bercampur dengan teriakan bersemangat terasa seperti satu stadion sepak bola.
Kini giliran pertandinganku dengan Jessi. Wali kelas dan guru olahraga kami tengah bersiap memberi aba-aba dan menilai. Aku, berdiri di permukaan kolam yang tenang. Bayang-bayang refleksi diriku tercermin lewat pantulan permukaannya. Aku sedikit gugup dan takut, bagaimana kalau aku tidak berhasil?
Aku tak mau Jessi semakin merendahkan Arshea.
Sudah tiga tim yang bertanding, Julia juga sudah tampil dan juri sudah mengumumkan siapa yang maju untuk perwakilan kelas. Perlombaanku dan Jessi kali ini hanyalah untuk hiburan.
Lihatlah mata-mata itu, semuanya menoleh ke Jessi. Lihat saja, akan aku tunjukan siapa yang terbaik, pikirku dengan semangat yang berapi-api. Ditambah dengan wajah Val, David dan Mark yang menyemangatiku.
Aku memasang kaca mata renangku, mengambil posisi ancang-ancang. Peluit berbunyi pertanda mulai. Aku segera melompat ke dalam air dan mengerahkan semua upaya yang telah aku pelajari selama satu minggu ini.
Suara air yang berkecimpung dan beriak mengikuti gerakan kami yang liar di permukaannya. Mencoba sampai hingga ke ujung dengan sekuat tenaga.
Aku berusaha untuk tidak kalah dengan mengerahkan kaki manusia ini sebagai dayung. Mataku membuka di dalam air. Perihnya memburamkan pandanganku tapi aku bisa melihat walau kurang begitu jelas.
Aku menoleh, Jessi dengan cepatnya mengimbangiku. Malah kurasa dia sungguh lihai. Aku semakin mendayung kakiku demi bisa menyusul dia.
Setelah sampai di ujung kolam, kami berbalik. Jessi lebih cepat lima detik dariku. Jantungku berdebar saking inginnya menang. Tinggal setengah perjalanan lagi, namun tiba-tiba kaki kiriku terasa tegang dan kaku disertai rasa sakit yang amat nyeri. Seperti tiba-tiba ditusuk oleh sesuatu yang tajam.
Aku terhenti dengan gerakan panik di tengah kolam. Tanganku menjulur ke atas, menepuk-nepuk permukaan kolam untuk bisa mempertahankan kepalaku tetap di permukaan air. Riakan air semakin kasar dan suara kecimpung semakin keras.
Lalu seseorang melingkarkan lengannya ke perutku dan menggeretku ke pinggir kolam lalu menaikkanku ke daratan.
"Arshea, kau baik-baik saja?!" ujar Val panik usai menaikkan tubuhku keluar kolam. Mark dan David juga memandangku dengan khawatir.
"Kakiku ... rasanya kaku dan tak bisa digerakkan. Sakit." Aku menjulurkan kaki sebelah kiriku.
"Kakimu kram. Kau tak bisa melanjutkan pertandingan," kata David kemudian. Aku dan Mark langsung menoleh.
"Tidak. Aku harus melanjutkan pertandingan. Aku tak boleh kalah," ujarku dengan kecewa.
Val menggeleng, "Tidak, Arshea. Kau tidak bisa melanjutkan pertandingan dengan keadaan seperti ini. Kau bisa benar-benar melukai kakimu."
"Terus untuk apa aku berlatih keras kemarin?" Aku mulai kesal.
"Tapi kakimu tidak memungkinkan untuk bergerak lebih jauh."
Aku menunduk, aku ingin menangis. Tanganku mengepal. Aku melirik sekilas ke arah Jessi. Dia tertawa.
Aku menghela napas keras, aku benar-benar tidak bisa menerima kekalahan. Cukup saat menjadi kucing saja aku dikalahkan, aku tak mau melakukan hal yang sama pada tubuh yang berbeda.
Aku melirik Mark yang terdiam. Ia pun mendesah berat dengan sama jengkelnya denganku.
Mark bersimpuh, "Mereka benar. Kau tidak bisa melanjutkan ini," katanya. Menyerahlah," lanjut Mark. Kemudian ia mendekatkan kepalanya ke telingaku.
"Kita cari cara lain," bisiknya dengan basah.
Mark lalu kembali bangkit. Kami semua melihat keputusan juri yang menyatakan jika Jessi-lah pemenangnya. Aku menatapnya dengan perasaan kesal.
Mark lalu tiba-tiba membopong tubuhku seperti tuan puteri. Aku terkejut. David dan Val juga.
"Apa yang kau lakukan?!" ujarku kemudian dengan mata membelalak.
"Membawamu pulang lah, kau harus ke rumah sakit," jawab Mark kemudian dengan nada yang sedikit lembut.
"Tidak perlu." Val menyelak, "Aku punya semprotan aerosol. Kram bukanlah hal serius sampai ke rumah sakit."
David mengangguk.
Mark menaikkan sebelah alisnya seraya berpikir. Aku bisa melihat ke tidak tulusannya saat hendak membawaku kerumah sakit tadi.
"Bagaimana?"
"Baiklah," jawab Mark singkat.
"Ayo kita keruangan UKS, aku akan mengambil tas ku dahulu." Val menuntun kami bertiga menuju UKS.
Sesampainya disana, Mark membaringkanku. Sementara Val mengambil sebuah alat yang tak kutahu namanya. Ia lalu menyemprotkan ke bagian kakiku yang sakit.
Rasanya dingin, seperti es.
"Bagaimana?" tanya Val padaku setelah beberapa saat.
Aku menggoyangkan kakiku yang semula terasa nyeri dan kaku. Namun perlahan, rasa sakit itu berkurang.
"Hm? Sepertinya tidak terlalu sakit lagi. Apa namanya?" kataku sambil terus menggoyangkan lutut kebawah.
"Namanya aerosol. Semacam pereda nyeri untuk pertolongan pertama," kata Val.
"Bagus juga." Aku kemudian mencoba berdiri, namun rasa sakitnya masih terasa.
"Kau harus mengistirahatkan kakimu. Jangan dipakai untuk berjalan dulu," tutur David sambil berancang-ancang menangkapku jika terjatuh.
"Tapi ini sudah mendingan, aku bisa berjalan. Nih, lihat." Aku berjalan tertatih, namun mencoba untuk normal. Perlahan aku berjalan menuju pintu, tetapi rasa sakit ini melemahkan otot kakiku hingga aku tiba-tiba terjatuh.
Val dan David dengan cekatan menangkapku sebelum aku benar-benar tersungkur di lantai.
"Kau baik-baik saja? Sudah kubilang istirahatkan dulu kakimu," kata David kemudian dengan masih memegang lengan kiriku.
"Benar, kau masih harus diperiksa dokter untuk kakimu." Val menimpali sambil masih memegang lengan kananku.
"Wah wah... pemandangan yang luar biasa," tutur Max kemudian saat melihat aku yang di pegangi oleh dua pria. Sesaat aku terdiam dan memicingkam kedua mataku pada David dan Val. Seketika aku langsung tersadar dan buru-buru melepaskan pegangan mereka.
"Ah, baiklah baiklah. Aku akan kembali ke ranjang sekarang."
Aku berdiri perlahan. Berjalan pincang ke ranjang UKS. Aku melirik Max yang menyender santai di ranjang sembari bersedekap. Menatapku dengan seringai kecil.
"Bagaimana tuan puteri? Kau butuh bantuan?" ucap Max dengan nada meledek. Aku hanya mengangkat sudut bibir atasku sambil berdesis.
Kami berada di ruang UKS hampir satu jam. Suara sorak ramai anak murid menggema di luar. Aku harus menerima kekalahanku. Lagipula cara ini bukan satu-satunya untuk aku membalas Jessi.
Aku punya Max bersamaku. Si malaikat maut nganggur itu kini mau membantuku menggapai hasratku.
Aku menepis ucapan Max yang menjengkelkan itu dan terus berjalan perlahan ke ranjang, Val dan David mencoba memapahku tetapi aku menolak dengan halus.
Bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/344087293-288-k718993.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I've Become My Master [hiatus]
FantastikSetelah insiden bunuh diri itu, majikanku terbaring koma dan meninggal. Aku, sebagai kucing peliharaanya, tidak tega melihat majikanku tertidur dengan begitu pulasnya di peti mati yang berukir warna emas. Aku melihat sosok tampan dengan sayap dan ju...