Bagian XIV "Confrontation"

1.8K 191 11
                                    

WONWOO merasa sedikit tenang saat Mingyu pulang ke rumah.

Meskipun kata 'tenang' tampaknya merupakan kata yang sangat tidak tepat saat dunianya sudah terbalik. Wonwoo belum pernah merasa begitu tidak berdaya dalam hidupnya. Begitu tak punya pegangan. Hanya Ordo yang ia kenal, serta pikiran untuk diusir dari Ordo dan sejujurnya menjadi salah satu bangsawan, lebih dari menakutkan. Menemukan fakta jika Master-nya telah memilihnya bukan karena pria itu menginginkannya sebagai murid, namun karena ia ingin menggunakan Wonwoo sebagai pion dalam permainan politik berhasil membuat sesuatu di dalam dirinya terbakar oleh rasa sakit hati dan penuh amarah.

Jadi mungkin Wonwoo tidak tenang.

Tapi Wonwoo bisa berpura-pura tenang. Ia bisa tersenyum ketika sebenarnya ia ingin berteriak dan marah. Ia tak akan mencapai tujuan apa pun hanya dengan berteriak dan mengamuk; Wonwoo telah belajar banyak dari Master-nya.

Mingyu mengalihkan pandangannya dari makanannya ketika Wonwoo memasuki ruang makan. "Sudah makan?" Tanyanya sambil melirik ke arah robot pelayan.

"Tidak lapar, Master." Balasnya. Itu memang benar. Wonwoo mungkin akan muntah jika makan.

Alis Mingyu berkerut. "Mengapa kau melindungi mentalmu sendiri?"

Wonwoo hanya tersenyum miring. "Bukannya kau selalu mengatakan padaku jika emosiku yang keras dan tidak menyenangkan ini selalu menganggu perhatianmu?"

Mingyu menatapnya sejenak sebelum berkata pelan, "Ada apa, Wonwoo?"

Tenggorokan Wonwoo tercekat. Sebagian dari dirinya ingin meninju wajah Master-nya dan berjalan keluar. Sebagian dari dirinya, bagian yang tidak mendidih dengan amarah, sakit hati, dan pengkhianatan; ingin bersembunyi di pelukan Master-nya dan ingin dihibur. Sebagian dari dirinya ingin berpura-pura tak mengetahui jika hidupnya hanya sebuah kebohongan, jika pria yang selama ini menjadi dunianya menganggap Wonwoo hanya sebagai pion yang bisa dibuang.

"Aku sudah tahu segalanya, Master." Jelas Wonwoo pelan.

Mingyu terdiam. "Apa?" Tanyanya, suaranya hati-hati dan matanya tampak waspada.

"Aku tahu siapa diriku," jelas Wonwoo serak. "...aku tahu kenapa kau mau menerimaku sebagai pekerja magang."

Ia mengira Mingyu setidaknya memiliki kesopanan untuk terlihat bersalah, namun pria itu tak bisa merasakan rasa bersalah: hanya kepasrahan dan ketegangan aneh yang sama seperti yang ia rasakan saat di istana.

Master-nya menatap Wonwoo dengan tenang sejenak, dan kemudian menunjuk ke kursi di seberangnya. "Duduklah."

"Tidak mau." Balas Wonwoo sambil bersedekap dada.

Mingyu menghela napas pelan. "Aku rasa kau marah." Celetuknya, pandangannya tertuju pada saladnya.

Wonwoo tertawa mengejek. "Bisa dibilang begitu... Aku merasa seperti orang bodoh. Seperti orang terbodoh di dunia. Kurasa ini salahku sendiri— karena berpikir kalau aku bisa mempercayaimu. Kalau kau peduli padaku."

Ekspresi Mingyu tampak sedikit kaku. "Aku tidak pernah berbohong padamu, Wonwoo," katanya, matanya masih tertuju pada makanannya. "Bukan salahku jika kau mengaitkan diriku dengan kualitas yang tidak aku miliki."

"Kau benar," balas Wonwoo sambil tersenyum tipis. "Aku marah, tapi kebanyakan pada diriku sendiri, karena aku begitu bodoh. Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggumu lagi dengan emosiku yang menjijikkan dan tidak masuk akal ini."

Bahu Mingyu menegang. Ia mengangkat pandangannya, mata cokelat legamnya tampak waspada. "Apa maksudmu? Apa kau akan pergi?"

Wonwoo mendengus. "Ke mana aku akan pergi?" Sindirnya getir. "Ke keluargaku yang sudah meninggal?"

Mata Mingyu tampak berkedip. Ia diam tak mengatakan apa pun.

"Aku kira aku bisa pergi ke Istana Kerajaan Kelima, mencoba mengklaim warisanku. Tapi meski aku masih belum cukup umur untuk memerintah, itu tidak ada gunanya, karena aku akan bergantung pada belas kasihan Bupati yang aku yakin memiliki andil dalam kematian orang tua dan saudaraku." Wonwoo terdiam, menarik napasnya dalam-dalam. Wonwoo mencengkeram sandaran kursi di depannya. "Aku akan tinggal di sini sampai aku cukup umur, dan kemudian aku akan pergi dari hadapanmu. Seperti yang kau rencanakan selama ini."

Wajah Mingyu sulit dibaca, namun kehadiran telepati yang dimilikinya terasa tegang dan gelisah. "Aku bisa menghapus ingatanmu tentang itu..." Tawarnya dengan nada bicara santai.

"Bisa saja." Balas Wonwoo, membenci dirinya sendiri karena mempertimbangkan itu sebagai sebuah pilihan, membenci dirinya sendiri karena masih mempercayai pria ini untuk tidak menyakitinya. "Tapi kenapa kau melakukan ini? Lagi pula aku akan mengikuti rencanamu sesuai dengan surat itu. Kau tidak kehilangan apa pun, Master. Tidak ada, kecuali perasaanku yang bodoh ini."

Rahang Mingyu terkatup. "Wonwoo—"

"Jangan khawatir, Master." Sergah Wonwoo. "Aku tidak akan menghinamu di depan umum. Kau tetaplah Master-ku. Mulai sekarang, aku berjanji untuk menghormati batasanmu dan mencoba meniru perilaku murid-murid lainnya. Aku akan sangat pendiam sampai-sampai kau tidak akan memperhatikanku lagi." Wonwoo tersenyum tipis. "Kau akhirnya akan mendapatkan murid yang tidak emosional dan penuh hormat yang selalu kau inginkan."

Ia merasa senang dan aneh melihat perubahan ekspresi Mingyu.

Hebat.

Ini seperi satu-satunya senjata yang Wonwoo miliki.

Faktanya, tampaknya Wonwoo tak yakin jika Mingyu akan peduli kalau ia membuat jarak di antara mereka, kemungkinan besar Mingyu akan senang; namun ini sesuatu keuntungan yang bisa ia ambil. Mungkin kasih sayang dan kepercayaannya tak penting bagi Mingyu, tapi itu penting bagi Wonwoo, dan mengambil langkah ini setidaknya akan menjaga harga diri dan dirinya saat Master-nya pasti akan membuangnya seperti barang bekas.

Dan mungkin, mungkin saja, jarak akan membantunya menghilangkan kerinduan yang mengerikan dan tak rasional di dalam hatinya.

Kumohon, harapnya, memohon kepada Dewa mana pun yang mungkin mendengarkan. Tolonglah.

[✓] Prince's Master (MEANIE Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang