BAB 50. TERKEJUT

15 2 0
                                    

Suasana koridor rumah sakit yang semula hening kini ramai dengan isakan banyak orang.

Hari yang seharusnya menjadi hari yang membahagiakan karena bertambahnya umur Bang Rafka berubah menjadi hari duka karena  malam tepat di hari ulang tahunnya ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Aku menatap nanar ke arah mama yang masih histeris dalam pelukan papa. Aku menatap pintu ruangan yang masih tertutup rapat.

Tak lama pintu itu terbuka lebar. Terlihat brankar yang di dorong keluar. Aku meminta izin untuk membuka penutup pada wajah Bang Rafka sebelum di kafani.

Aku masih berharap bahwa tubuh yang terbujur kaku di balik selimut putih ini bukanlah Bang Rafka.

Namun sirna harapanku. Karena wajah yang terpampang di baliknya tetap Bang Rafka. Tangisku kembali pecah.

" Bang, Maafin gue "

Kataku kemudian mengembalikan menutup wajah Bang Rafka. Namun karena tanganku yang bergetar alhasil kain itu tersingkap sampai sebatas dada.

Terlihat luka mendatar pada dada bidangnya. Aku langsung menatap marah ke arah para perawat yang mendorong brankar Bang Rafka.

" APA YANG KALIAN AMBIL DARI ABANG GUE HAAA!!! "

Bentakku tak terima. Semuanya terdiam tak berani menjawab. Papa dan mama mendekat. Mama kembali syok melihat bekas operasi pada dada Bang Rafka.

" Saya yang melakukan itu "

Suara itu membuatku berpaling. Aku mengepalkan tanganku kemudian bergegas menghampiri pria berjas putih lengkap dengan stetoskop yang mengalung di lehernya.

Aku mencengkram erat kerah bajunya menatapnya dengan nyalang.

Bughh!!

Aku melayangkan pukulan ku pada wajahnya membuat pria itu tersungkur.

Banyak satpam yang menghampiri kami namun pria itu mengangkat tangannya untuk membuat para penjaga keamanan rumah sakit ini tak ikut campur.

Pria itu kembali berdiri sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

" Saya melakukannya atas permintaan dan atas izin dari pasien sendiri "

" Tetap saja!! Anda juga perlu izin dari keluarganya kan? "

" Tidak perlu, karena saya Rehan Ardentara masih berhak atas pasien, selaku kakak kandung dari Rafka Ardentara, saya ulangi dia dari keluarga Ardentara bukan Atmaja.  "

Kata Pria tersebut sembari menyerahkan sebuah amplop putih kemudian meninggalkan aku begitu saja.

Aku membuka amplop itu dengan tergesa. Aku membuka kertas yang terlipat di dalamnya juga dengan tergesa sesekali aku manatap ke arah mama dan papa.

Setelah membacanya akupun tertegun. Air mataku kembali menetes. Aku menatap mama dan papa dengan tatapan kecewa. Aku meremat surat hasil tes DNA yang tadi Dokter Rehan berikan.

Aku langsung meninggalkan keduanya. Hatiku kalut, perasaan kecewa, dan syok mencampur menjadi satu.

Aku berhenti di koridor rumah sakit yang sepi dan lenggang. Langkahku yang terseok kini terhenti lantaran kaki ku yang sudah tak mampu menompang berat badan ku sendiri.

Tubuhku meluruh ke lantai, aku menangis histeris sembari menjambak rambut ku dengan kuat, aku menyembunyikan wajahku pada kedua lututku.

Ada seseorang yang tiba tiba menyodorkan sapu tangan ke arahku. Aku menatap pemilik tangan yang memegang sapu tangan itu.

" Ini belum ada setengah dari penderitaan Abang lo Ka, Udah jatuh aja lo!! "

Kata Kak Deni membuat ku berdiri lagi. Aku menghapus air mataku dengan kasar.

" Maksut lo? Apa yang lo tahu dari Abang gue ha!!!! "

Kataku membentak sembari mencengkram kerah bajunya erat. Cowok itu melepas cengkraman tanganku pelan.

" Lo gak mau nganterin Abang lo ke tempat peristirahatan yang terakhirnya? "

Cowok itu menepuk bahuku pelan.

" Gue tahu lo kecewa. Tapi mama lo pasti masih syok. Jadi gue mohon jangan kaya anak kecil. Lo udah besar "

" Maksut lo gue kaya anak kecil gitu?! Gue gak berhak gitu marah! "

" Bukan begitu tap.... "

Aku berdecak sebal kemudian meninggalkannya begitu saja. Aku mengawasi dari jauh Tubuh kaku Bang Rafka yang dimasukkan ke dalam mobil ambulans.

Mama terlihat kembali jatuh pingsan untuk yang kesekian kalinya. Sepertinya kali ini bukan hanya mama. Papa ikut melemas.

Aku segera menghampiri keduanya kemudian membantu papa untuk membopong mama.

" Biar Raka yang nyetir pa "

Ku paksakan untuk tegar. Karena kedua orang di belakangku butuh kekuatan untuk menampung kesedihan yang mendalam pada masa tuanya.

...............

Aku terdiam di samping gundukan tanah yang masih basah dengan air hujan. Aku tak perduli dengan baju ku yang ikut basah karenanya.

Aku mengelus batu Nisan yang tertanam pada gundukan tanah itu. Tiba tiba rintik hujan tak kembali membasahi tubuhku.

" Ayo pulang "

Lagi lagi Kak Deni lah yang menghampiriku.

" Gue mau nemenin Bang Rafka. Dia gak tahan dingin, pasti dia kedinginan disini. Gue gak mau nanti dia sendirian dan kesusahan nantinya. "

Kak Deni ikut jengkel. Ia meraih kedua bahuku kemudian menhentakan bahuku.

" Ka, sadar!! Abang lo udah gak ada!!. Ayo ikut gue pulang! "

Aku menggelengkan kepalaku kuat dan mencoba melepaskan cengkraman tangannya yang menarik ku mengajak ku untuk pulang.

" Kasihan Tante Nova udah nungguin lo! "

Mendengar nama mama pun membuat ku menurut dengan ajakan Kak Deni.

Di sudut makam aku menemui seseorang yang amat ku benci berdiri mematung menatap nanar ke arah makam Bang Rafka.

" Ka, gu...... "

Melihatnya saja kembuat dadaku bergemuruh. Tanganku mengepal erat.

" PEMBUNUH!!! "

Teriak ku lantang dengan menatapnya dengan nyalang.

" KEMBALIIN ABANG GUE!!! PEMBUNUH!! LO PEMBUNUH!!!! LO BUNUH ABANG GUE!! "

Teriaku meracau dengan bibir yang bergetar. Gadis itu terdiam dengan tubuh gemetarnya. Entah karena hujan atau karena bentakan dariku.

" DASAR PEMBUNUH!!!!! "

Kak Deni langsung saja menarik ku menjauhi orang tersebut. Aku ingin memberontak, tak puas rasanya amarah ku belum terungkapkan tapi tubuh ku yang lemas mudah saja bagi Kak Deni untuk membawaku pergi.

Jangan lupa vote and comment ya. Makasih banyak udah mau baca ya. Mampir ke cerita aku yang lain juga ya.

Dukungan dari kalian itu sangat membantu mood author naikk.......


bukan dia yang aku inginkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang