36. MARAH

7 2 0
                                    

Aku terbangun ketika merasakan hangatnya sinarnya mentari. Aku mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk. Aku mengawasi kesekeliling ku. Pemandangan gelap tadi malam berubah cerah. Rupanya aku ketiduran kemarin malam.

Aku memijat pelipisku pelan. Kepalaku terasa pusing dan berdenyut. Aku menyenderkan kepalaku ke kursi. Mencoba meredakan pusing yang menyerangku. Ini pasti karena aku tidur dalam posisi duduk dan membungkuk.

Punggungku terasa pegal. Setelah pusingku sedikit mereda. Aku melajukan mobilku perlahan. Aku segera pulang. Pasti saat ini mama dan papa sangat kawatir karena semalaman aku tak pulang.

" Dari mana saja lo??!!!! "

Kata Bang Rafka ketika aku baru saja ingin memasuki rumah. Aku memutar bola mataku malas.

" Cih! "

Kataku kemudian melenggang pergi. Aku memasuki rumah yang langsung di sambut oleh tangisan mama. Mama memelukku erat membuatku hampir kesusahan bernafas.

" Maaf ma. Raka ketiduran di rumah temen Raka tadi malam "

" Kamu kemana aja?! Kenapa gak ngabarin???!!! "

Tanya papa akupun menjawabnya dengan jawaban yang sama.

" Keningmu panas sayang. Kamu gak usah sekolah saja ya? "

Kata Mama.

" Gak ma. Raka ada ulangan "

" Ya udah kalau gitu kamu siap siap dulu "

" Ka "

Panggil Bang Rafka yang tak ku tanggapi. Aku langsung meninggalkannya begitu saja. Bahkan dengan sengaja aku menyenggolkan bahuku ke bahunya. Bang Rafka berbalik mengejar. Akupun menutup pintu kamarku keras.

Setelah bersiap siap aku kembali turun. Di meja makan ada ketiga orang yang menungguku. Tapi aku langsung menyalimi tangan mama papa.

" Gak sarapan dulu "

Aku menggelengkan kemudian melenggang pergi. Tak menghiraukan tangan Bang Rafka yang terlihat terlulur. Tak lama suara derap langkah kaki mengikuti ku. Aku mencepatkan langkahku tapi tanganku tertahan olehnya.

" Apa lagi sih ah!! "

Kataku menghempaskan tangannya kasar.

" Raka!! Yang sopan kamu!! "

Bentak papa membuat aku berpaling.

" Yah maharin terusnya Raka! Salahin terus Raka!! Ya Raka memang salah! gak guna! beban keluarga!. Apa lagi? Hem?! "

" Raka "

Panggil mama kemudian manariku membawa aku ke pelukannya. Ingin rasanya menangis seketika itu juga. Meluapkan emosi yang menyesak i dadaku. Tapi aku memilih diam memaku. Aku melepaskan pelukannya perlahan.

" Apa yang terjadi? "

Tanyanya lembut namun aku tak menjawabnya.

" Gak papa. Raka berangkat asslamualaiakum "

Kataku kemudian melenggang pergi.

" Berangkat sama gue! "

Titah Bang Rafka mengejar ku. Aku menghempaskan tangannya yang mencoba menahan pergelangan tangan ku.

" Gue bisa berangkat sendiri!. Nih kunci mobil gue!!! Kalau lo mau pakek!!! "

Kataku kemudian menarik tangan Bang Rafka. Dan menaruh kunci di telapak tangannya kemudian memaksa telapak tangan itu agar menggenggam kunci itu. Kemudian bergegas pergi. Aku berjalan kaki sampai akhirnya aku menemukan taksi.

Aku tak menghiraukan Bang Rafka yang mengikuti ku sedari tadi. Dan menawarkan boncengan. Aku terus berjalan hingga sebuah taksi yang menyelamatkan ku kali ini.

Aku menuju ke kelas. Terlihat Cinta sudah kembali sehat. Ia menghampiriku tapi aku langsung berdiri menghindarinya.

" Ka. Ada yang perlu gue omongin "

Aku kembali duduk kemudian menuliskan sesuatu di kertas. Dan menyodorkan itu ke wajahnya.

" Nomor Abang gue!. Hubungi aja chrush lo itu! Nanti dia salah paham lagi ke gue!!! "

Kataku langsung pergi darisana. Aku tak memikirkan lagi ia sakit hati atau tidak. Kalau memang Bang Rafka yang ia inginkan harusnya tidak sih.

Aku kembali masuk ketika guru sudah sampai. Chelsy juga kembali masuk. Ia duduk di sampingku. Chelsy  tak seramah dulu. Ia juga menjadi acuh denganku. Aku tak peduli. Chelsy ataupun Cinta aku sudah tak peduli lagi.

" Ma, aku nanti aku nginap di rumah temanku "

Begitu pesanku terkirim dan terbaca aku langsung menonaktifkan gawaiku. Agar tak menganggu. Sekarang aku berada di pojok perpustakaan. Aku ingin langsung ke rumah Andri.

Tapi aku tak mau membuat ia yang tak bersalah menjadi sasaran marahku. Jadi aku memutuskan untuk menenangkan diriku di perpustakaan saja.

Sebelum handphone ku ku nonaktifkan ada suara notifikasi dari sebuah nomor yang tak ku kenal.

" Ka, lo harus pulang "

Aku langsung membuang ponselku ke segera arah. Tak perduli jika gawaiku itu rusak karena benturan keras di lantai.

Aku memeluk lututku sendiri. Aku ingin menangis ataupun berteriak keras. Namun yang bisa ku lakukan hanya menarik keras rambut ku hingga kepalaku terasa berdenyut denyut.

Aku memutuskan untuk sekedar membaca buku. Mengalihkan emosiku sejenak. Namun ketika aku berdiri di antara rak rak tinggi itu tiba-tiba pintu perpus yang tadi terbuka lebar kini tertutup rapat. Begitupun dengan jendela di sisi perpus. Aku langsung berlari menuju ke sana. Aku menggedor-gedor pintu perpus keras.

" Woi woi!!!! Masih ada orang di dalam sini woy!!! "

Aku terus menggebrak gebrak pintu itu sampai akhirnya gelap mulai menyelimuti ruangan ini. Aku mulai mencair saklar lampu. Namun lampu itu tak menyala.

Setelah lelah menggedor-gedor pintu aku terduduk lemas dibalik pintu. Perutku mulai terasa lapar. Ruangan tanpa fentilasi ini membuat dadaku terasa sesak. Aku menghidupkan kipas angin ruangan berharap dengan itu aku bisa bernafas.

Aku mengingat ponselku. Aku merangkak perlahan sambil meraba raba dimana ponselku yang tadi ku buang. Aku tersenyum lebar ketika berhasil menemukan benda pipih itu. Aku mencoba menghidupkan satu satunya harapan ku.

Tapi ponselku mati. Aku mencoba mengatur ritme nafasku yang tersenggal akibat rasa takut, panik, dan putus asa mencampur menjadi satu. Aku masih berusaha mencari celah. Aku memutuskan untuk lewat jendela namun jendela itu di kunci permanen dengan paku.

Dadaku semakin terasa sesak dan nyeri. Akupun membaringkan tubuhku di lantai perpustakaan yang dingin. Jika aku memutuskan tidur di meja pojok yang di pasang permanen itu aku tak akan bisa mendapatkan angin segar dari kipas angin. Karena terhalang rak tinggi. Tentu saja angin dari kipas angin itu tak akan sampai disana.

Aku menggertak gigi ku merasa dingin yang menusuk. Ingin rasanya aku mematikan kipas itu. Tapi sama saja aku mematikan sumber oksigen. Aku memeluk tubuhku perlahan. Rasa dingin, lapar, dan pusing di kepalaku menyerang secara bersamaan. Membuat pertahanku runtuh juga.

Sekuat tenaga aku mencoba menahan agar mataku tetap terbuka. Namun perlahan penglihatan ku mengabur.  Tubuhku terasa di paksa di tarik ke alam bawah sadarku. Dan semua perlahan menjadi gelap dan semakin gelap.

Jangan lupa vote and comment ya. Makasih ya udah mau baca. Mampir ke cerita ku yang lain juga ya.

bukan dia yang aku inginkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang