Takdir

1 0 0
                                    

'Tidak ada orang yang bisa memilih lahir dari siapa, dari kalangan mana, dan dari hidup yang mana. Walaupun begitu, kita bisa memilih mau menjadi seperti apa pada saat nanti dewasa.'-Sang Penyair.

Di bandara Surabaya, seorang pria yang usianya sudah matang itu terlihat gagah walaupun usianya sudah sangat matang. Bersama dengan beberapa rekan kerjanya, ia berjalan tegap ke arah pintu keluar bandara setelah menyelesaikan penerbangan 12 jam lamanya. Setelah keluar bandara, pria itu segera menaiki mobil yang menjemput mereka di bandara.

Sagara Arkan Ravano, namanya. Seorang pemuda yang mempunyai bisnis dimana-mana dengan satu orang putra yang sedang menjalani jenjang perkuliahan. Sagara merupakan seorang penyair terkenal di Benua Amerika. Tapi, sayangnya Indonesia tidak menerima dengan hangat Sagara. Sagara mempunyai banyak blacklist di perusahaan ternama, Indonesia.

Putranya memiliki nama yang cukup dikenal kalangan orang Indonesia, karena sang anak merupakan penyair yang karyanya sangat relate dengan kehidupan anak Indonesia sehingga putranya memiliki banyak pendukung.

Sagara pun sampai rumah, dengan disambut para pelayan rumah dan beberapa bodyguard yang ikut melindungi rumah ini dan dirinya. Sagara sering sekali keluar negeri untuk urusan bisnis, sehingga kedatangannya ke Indonesia benar-benar bisa dihitung dengan jari saja. Dalam sebulan, mungkin Sagara hanya bisa mengunjungi rumah dua kali saja.

Sagara segera menuju ruangan kerjanya untuk mengambil berkas penting disana lalu menaiki mobil untuk pergi ke rumah sakit dimana ia yang mengelola. Tidak ada yang tahu bahwa ia mengelola rumah sakit itu, tapi putranya tahu. Ketika semua orang tidak tahu siapa orang dibalik pengelolaan rumah sakit Citra Bakti sehingga rumah sakit itu ramai-ramai saja. Dan yang mengelola juga mengatur secara keseluruhan juga bukan dirinya, karena dirinya cukup sibuk dengan urusan luar negerinya.

Setelah menemukan ruangan dimana sang anak dirawat, Sagara segera memasuki ruangan itu dan mendapatkan sang putra sedang tertidur lelap karena habis diberi obat yang mempunyai efek tidur. Sagara pun mendekati sang anak dengan pelan lalu duduk di kursi dekat brangkar sang putra.

"Maafin Ayah, Ghifar. Ayah baru sempat menemui kamu hari ini," monolog Sagara pelan.

Sagara terlahir dengan segala kekurangannya, dan Ghifar terlahir atas kesalahan hidupnya. Itu mungkin sebabnya Ghifar terlalu membenci keluarganya. Sang Ibu tidak pernah Ghifar lihat kembali. Terakhir melihat sang ibu, Ghifar masih berumur 10 tahun dan itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kalau bisa memilih, Ghifar juga tidak mau terlahir dari keluarga yang terbilang 'Cacat'. Tapi, balik lagi, memangnya Ghifar bisa memilih? Ghifar tidak akan pernah bisa memilih, dan ia hanya pasrah saja bagaimana keadaan dan kondisi keluarganya. Yang penting, ia masih memiliki sahabatnya.

Sagara tahu, dia sangat tahu bahwa hidup sang anak benar-benar kejam dan pahit. Hanya saja, Sagara tidak mengerti harus bagaimana menyembuhkan luka sang putra. Sagara hanya tidak mau kecewa. Hidupnya tidak sempurna, dan ia juga tidak mau sang anak ikut terimbas.

---

Kini, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore membuat Zeva segera mengambil nampan makanan dan obat yang harus Ghifar minum kembali untuk pemulihan lukanya. Setelah sampai diruangan Ghifar, Zeva tertegun melihat punggung tegap milik seseorang yang sedang duduk disana. Ghifar belum kunjung bangun dari obatnya dan seseorang itu menatap Ghifar lamat-lamat. Dengan cepat, Zeva mengetuk ruangan Ghifar setelah itu membukanya dengan perlahan.

"Dengan keluarga Ghifar?"

"Iya, saya Ayahnya. Ada apa?" ucap Sagara.

"Saya minta tolong jika Ghifar sudah bangun, jangan lupa diingatkan untuk dimakan makanan dan obatnya sehingga Ghifar bisa lanjut tidur nanti malam. Sehingga Ghifar memiliki malam yang lelap," timpalku sehabis itu pamit dari sana. Tidak enak harus menganggu momen indah itu. Mungkin bisa disebut indah karena memang momen itu momen yang indah.

Setelah kepergian Zeva, Sagara hendak berbalik karena ada pertemuan meeting dengan klien di sini membuat Sagara tidak bisa membuang waktunya yang berharga begitu saja, sampai satu suara yang mampu membuat Sagara kembali duduk.

"Ayah?"

"Gimana kondisi kamu? Sampai kapan disini?" tanya Sagara to the point

"Masih banyak luka, tapi untuk luka internal ga ada, cuma eksternal aja. Pemulihan luka kira-kira dua Minggu, Yah."

"Kuliah?"

"Izin dulu, Yah, ke dosennya. Ghifar masih butuh waktu untuk pemulihan. Semua badan Ghifar masih sakit."

"Cepat sembuh. Kamu ini sudah mahasiswa semester tengah. Jadi harus fokus mengejar IPK," tutur Sagara sembari mengusap pelan rambut legam milik putranya.

"Ayah kapan sampai? Bagaimana Ayah bisa tau Ghifar ada disini?"

"Hari ini. Dikasih tau supir rumah," ucap Sagara santai. Walaupun ia sibuk, tapi ia tetap memiliki informasi terbaru terkait anaknya. Walaupun tidak sampai informasi yang mendetail bagaimana kondisi hati Ghifar atau Ghifar kesusahan atau tidak, karena jarak pandang mereka pun terbatas.

"Ibu ga ikut?"

"Lagi kerja di luar negeri."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa Ayah ga kasih Ghifar liat muka Ibu di usia Ghifar yang sudah lebih dari 20 ini? Apa Ghifar ga berhak tau Ibu walaupun Ghifar dari anak luar nikah?" tanya Ghifar dengan pelupuk yang sudah penuh.

"Ayah tidak tau Ibu kamu bekerja dimana. Tapi satu hal yang harus Ghifar tau, bahwa Ibu kamu sudah memiliki keluarga dengan dua anak lelaki kembar."

Tawa getir Ghifar seketika memenuhi ruangan sunyi itu. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Berpikir akan presentase sejauh mana harapan itu melukai mereka. Ghifar tidak pernah belajar membenci, hanya saja, Ghifar iri. Lelaki berusia 26 tahun dengan balutan kaus rumah sakit itu pun menutup wajahnya dengan tangannya dan membiarkan air mata itu membasahi pipinya. Terkadang, Ghifar terlalu tidak sanggup untuk mengatasinya sendirian. Orang bilang, posisi Ghifar masih sempurna, tetapi Ghifar merasakan luka yang terus menghajar dirinya habis-habisan. Ghifar tidak pernah meminta satu hal pun, karena Ghifar tau, harapan dari permintaan itulah yang pada akhirnya akan menyakiti Ghifar sendiri.

Tangisnya melebur dengan harapan yang kembali ia harus kubur dalam-dalam. Ghifar benci kelihatan lemah didepan orang, Ghifar tidak pernah merasakan namanya kenyamanan dalam titik rendah. Ghifar hanya ingin terlihat bahwa ia baik-baik saja sampai Ghifar tau, ia tidak mampu menampung itu semua.

"Sejauh apa yang Ghifar ga tau tentang Ibu Ghifar sendiri? Rasanya Ghifar sudah melewatkan banyak hal dari Ibu," ucapnya gemetar sambil meremas ujung buku jari sang Ayah yang terkepal sambil bertengger nyaman di brankar Ghifar.

"Banyak. Tapi Ayah ga bisa kasih tau. Ibu kamu sudah menyakiti kamu selama ini. Saya tidak akan biarkan wanita itu kembali menyakiti anak saya."

"Tapi Ghifar harus tau, kan? Setidaknya siapa orang yang pernah ngelahirin lelaki yang tidak beruntung ini, ya, kan, Yah?" Berdamai. Pada akhirnya, Ghifar selalu memilih untuk berdamai pada keadaan daripada menentang keras keadaan tersebut.

Sagara mengangguk samar, lalu berbalik setelah menyuruh Ghifar makan dan meminum obat dari Zeva. Sagara juga harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya sebelum harus kembali ke Singapura dan kembali menjalani bisnis travelnya.

======

To Be Continued

Dokter dan Sang Penyair (Completed Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang