'Carilah orang yang betul-betul menerimamu, bukan karena hartamu maupun latar belakangmu. Carilah oeang yang benar-benar akan menerima apapun kekuranganmu.'-Sang Penyair
Setelah Lin meninggalkan rumah Ghifar, Zeva pun pergi ke dapur untuk mengambil kompresan dan air dingin. Setelahnya, ia pun pergi ke kamar Ghifar berada. Sebelum masuk, ia menghela napas pelan lalu mengetuk pintunya dan masuk. Ketika dibuka, ia melihat Ghifar sedang berbaring santai.
"Mas, kamu ga apa-apa?" tanya Zeva khawatir melihat raut wajah Ghifar yang masih kalut.
Zeva pun mendekat dan duduk di sisi ranjang, lalu mencelupkan kain ke air dingin, lalu ia menatap Ghifar yang bergerak tak nyaman. Bajunya masih belum ia pakai, dan keringat masih saja mengucur dari badan maupun pelipisnya.
"Masih ga nyaman. Rasanya sangat panas," ujar Ghifar membuat Zeva meningkatkan waspadanya.
Setelah ia mencelupkan kain ke air hangat, Zeva pun mengambilnya lalu menaruhnya dengan telaten di pelipis Ghifar. Zeva sudah melakukannya dengan hati-hati, namun Ghifar makin bergerak gelisah. Zeva hanya bisa menghela napas.
"Kalau udah enakan, bilang, ya?"
"Iya. Padahal AC kamar sudah 16, tapi masih aja panas," tutur Ghifar yang bergerak tidak nyaman.
Dengan pelan, Zeva menggenggam tangan Ghifar lalu mengelus wajahnya yang penuh dengan keringat.
"Ahh.." lenguh Ghifar.
"Kenapa, mas?"
"Tolong jangan sentuh aku sembarangan." Ghifar menelan saliva nya setelah mengatakan hal tersebut.
"Aku bingung gimana cara ngeredainnya. Selama di kedokteran, aku juga belajar tentang hal ini, dan aku masih belum tau cara ngeredainnya. Kamu tau ini obat apa?" tanya Zeva dengan nada getir
"Obat.. P-pe-rang-sang, kan?" tanya Ghifar dengan napas yang putus-putus
Zeva menghela napas lalu mengangguk, membenarkan ucapan kekasihnya. Ghifar benar, dan ia hanya bisa mengangguk pelan. Tidak mempunyai konsep harus bagaimana.
Ghifar pun berusaha mengambil sebanyak-banyaknya oksigen yang bisa ia dapatkan. Lalu menyingkirkan kain yang ada di pelipisnya lalu mematikan lampu di sebelah ranjangnya. Setelah gelap memeluk mereka berdua, Ghifar menarik pelan tangan Zeva lalu membaringkannya di sebelahnya. Memeluknya dengan erat sembari berusaha mengambil napas sebanyak-banyaknya.
"Tolong jangan banyak bergerak ... aku ga mau kamu kenapa-napa gara-gara aku."
Zeva pun berusaha untuk tidak bergerak, namun semakin ia berusaha untuk tidak bergerak, Ghifar semakin membuatnya gelisah. Ghifar terus menciumi lehernya hingga basah.
"Ghifar ... stop," pinta Zeva dengan adrenalin yang meningkat
"Just ... let me.. kiss.. you.." Ia kembali melanjutkan ciumannya yang terus berlanjut hingga ke bibir tebalnya. Menyesap bahkan sesekali menggigitnya membuat Zeva merasa seperti kehilangan kewarasannya.
Ghifar terus menciumnya, lalu tiba-tiba dengan satu gerakan, ia sudah berada diatasnya. Mengukungnya bak monster yang akan memakan mangsanya. Matanya sayu, dan terlihat menggelap. Beberapa lampu dari luar masuk ke dalam jendela membuat wajah Ghifar sedikit kelihatan.
Ghifar mengambil tangan Zeva lalu meletakannya di dadanya. Menggerakannya hingga terasa seperti mengusapnya. Zeva pun berontak berusaha melepaskan tangannya dari Ghifar, namun tak bisa hingga ia menitikkan air mata.
"Can i?"
"No, Ghifar. Please ... hidup aku masih harus aku gunakan untuk mencari uang. Tolong, jangan siksa aku seperti ini," ucap Zeva gemetar
Tapi Ghifar seakan menulikan telinganya, lalu mulai mencium Zeva kembali. Malam ini, mereka habiskan dengan berduaan.
---
Pagi hari pun tiba, siulan-siulan burung tidak dapat dipungkiri berisiknya, dan Zeva tak bisa menghindari sinar matahari yang menembus masuk dari kaca kamar Ghifar. Walaupun hanya jendela kecil, namun cahaya matahari pagi ini tetap mengusik tidurnya. Zeva pun dengan pelan membuka matanya, lalu mendongak, menatap Ghifar yang semalaman tidur dengan bertelanjang dada ditambah Ghifar terus memeluknya, dan tidak melepaskannya.
"Mas ..." panggil Zeva pelan, dan pelan-pelan netra Ghifar pun terbuka. Ia bangun, lalu mengeratkan pelukannya, apalagi setelah mengetahui kalau Zeva hanya memakai tanktop saja. Ghifar pun tersenyum saat mengingat malam itu.
"Now, you're mine, sayang."
"Mau bagaimana lagi? Waktu tidak bisa diputar kembali. Tolong lebih berhati-hati," hardik Zeva dengan nada marah namun serak
"Maaf."
Zeva pun mengangguk lalu menyelimuti dirinya dengan selimut lalu mengambil bajunya yang berserakan di lantai, lalu masuk ke kamar mandi untuk memakai bajunya. Ghifar pun membiarkannya.
Sedangkan dirinya, ia melihat ke layar hape lalu tertegun melihat pesan dari Lin.
Lin
Zev, gua minta maaf.
Ini total hotel gua.
Rekeningnya bisa lo scan.
Makasih.Ghifar kesal setengah mati melihat pesan dari teman kecilnya itu. Ditambah foto dengan biaya yang harus Zeva bayar. Bukan hotel yang murah untuk sepuluh juta satu malam. Ia merasa bersalah sudah mempercayai teman kecilnya dengan sepenuhnya. Lin menjadi orang yang melukai hatinya.
Ghifar pun langsung mentransfer sesuai dana, atas nama Zeva, lalu mengusap kasar wajahnya. Sedikit frustasi, tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, ia menyukainya, tapi di satu sisi lain, ia merasa bersalah pada Zeva.
Memang ia telah memaksa Zeva untuk keinginan duniawinya. Ia merasa sangat bodoh telah melakukannya pada Zeva. Namun, ia saja hampir gila dengan sentuhan kecil Zeva. Ketika Zeva mengelusnya, ia tidak bisa menahannya lagi. Maka dari itu, ketika malam, ia hanya mengutamakan apa yang terlintas di otaknya. Selebihnya, ia tidak bisa mengendalikan dirinya.
Adrenalinnya berpacu cepat, dan tepat sekali keadaannya dengan sentuhan Zeva. Ketika ada seseorang di depannya, ia hampir tidak bisa berpikir jernih. Ia sudah berusaha untuk menyanggah perasaan tersebut, namun semakin ia menyanggah, semakin rasanya ia ingin mati. Ia tak sanggup dengan reaksi obat itu. Ia ingin sekali tidak melakukannya, namun ia tak kuasa.
Sebenarnya, itu semua diluar kemampuannya, membuatnya tidak waras, dan tidak sadar. Berkali-kali, ia berusaha menahannya, namun sekuat apapun ia menahan, semakin ia dibuat ingin menyentuh Zeva. Merasakan Zeva. Ia dilema malam itu, tapi akhirnya dengan keegoisannya, ia tetap melakukannya. Ia kesal karena tak bisa mengendalikan dirinya. Ia marah pada dirinya yang bisa-bisanya langsung mempercayai teman kecilnya yang hampir sepuluh tahun tidak bertemu dengannua. Mereka hanya sesekali mengobrol lewat chat. Itupun hanya hal-hal yang penting.
Ketika Zeva keluar dari toilet, Ghifar memeluk Zeva lalu mengucapkan kata 'maaf' berkali-kali membuat Zeva membalas pelukannya dan berkata 'tidak apa-apa'. Zeva pun mengerti karena ia sendiri berasal dari jurusan dokter itu sendiri.
"Aku tau, itu bukan atas kehendak Mas seluruhnya. Aku tau, Mas hanya ingin menghilangkan rasa panas itu. Sekarang, aku udah minum pil kok. Ga papa."
"Maaf. Maaf sebesar-besarnya. Aku tau aku seperti bajingan. Tapi tolong jangan benci aku. Aku diambang ketidakwarasan. Maafkan aku."
"Hm. Sudah, lebih baik Mas pakai baju. Jangan sampai sakit. Aku pulang, ya. Aku ingin menenangkan diri sejenak. Aku akan kembali setelah menenangkan diri," pamit Zeva lalu pergi dari rumah Ghifar begitu saja.
====
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter dan Sang Penyair (Completed Story)
Romansa"Kata seseorang kalau orang yang memang ditakdirkan untuk bersatu maka bagaimanapun caranya pasti akan ada waktu untuk kita saling mengenal, saling jatuh cinta, saling benci, dan saling sayang. Awalnya aku tidak mengira bahwa kamulah yang menjadi al...