Epilogue

1 0 0
                                    

'Ghifar hanya ingin Ayah bangga pada Ghifar. Apapun hasilnya, Ghifar hanya ingin Ayah merasa bangga pada pencapaian Ghifar di masa ini. Ini permohonan terakhir Ghifar, Yah.'-Sang Penyair

Seiring berjalannya waktu, Sagara memutuskan untuk menetap di Indonesia sampai wisuda Ghifar datang. Sagara memutuskan untuk bekerja dari antar-negara agar tugasnya tidak menumpuk.

Zeva pun siap untuk mewakili Ghifar yang sudah tidak ada. Memikirkannya memang membuat Zeva sedih, namun Zeva juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikhlaskannya dengan berat hati. 

Dua tahun berjalan, rasanya seperti hampa. Zeva tidak bisa memungkiri perasaan kesepian karena Ghifar meninggalkannya. Rasanya baru kemarin mereka bercanda tawa, tetapi ternyata hari ini ia akan mewakili kelulusan Ghifar sebagai sarjana-2. Zeva juga sudah mengkomunikasikan tempat dimana Ghifar bekerja, dan teman-temannnyapun turut berdukacita. 

Tin! Tin!

Suara berisik dari klakson mobil sudah mengusiknya yang masih melamun di meja makan setelah sarapan. Ia pun sadar tak lama setelah Javar menggedor-gedor pagar rumahnya. Zevapun menghampiri Javar yang sudah geram karena tak kunjung keluar. Setelah keluar, Zeva hanya diam sembari naik ke dalam mobil Javar yang ternyata Sagara, ayah Ghifar, juga ikut menemani dan menghadiri acara kelulusan Ghifar. Setelah sampai, Zeva hampir menjatuhkan rahangnya dikarenakan kampusnya sangatlah besar. Tak kalah besar dengan harapan orangtua.

"Buset.. selama ini, Mas Ghifar kuliah di sini?" tanyanya entah pada siapa. Mengagumi betapa besar gedung kuliah Ghifar.

"Iya.. saya biayain Ghifar berkuliah di sini. Di sini juga sudah terjamin pendidikannya. Seperti Javar yang tahun ini akan saya biayai kuliah," sahut Sagara yang mendengar ucapan Zeva.

"Oh.. Keren sekali." Zeva tidak begitu tertarik, tapi ini adalah hal yang luar biasa bagi Zeva yang gedung kuliahnya kecil. 

"Yasudah... ayo masuk," ajak Javar dengan senyum tipis memandangi gedung didepannya.

Mereka pun masuk dengan mata berpendar ke segala arah pasalnya auditorium sudah penuh, mereka juga bingung mau duduk di mana. Tapi karena ada yang kenal dengan Sagara, lebih tepatnya relasi kerja, dan orang itu langsung membantu mereka mencari tempat duduk. 

Setelah mereka mendapat tempat duduk, Sagara segera menunduk ramah lalu berterimakasih sudah dibantu. Karena mustahil sekali mereka mencari tiga tempat duduk sekaligus. Untungnya tak memakan banyak waktu membuat mereka langsung duduk siap menonton apa yang disajikan untuk mereka. Zeva membawa bingkai Ghifar yang memakai jas membuat ketampanan Ghifar menjadi berkali-kali lipat. 

Saking tampannya, ia menjadi berharap kalau Ghifar ada di hadapannya sekarang. Memakai jas hitam dengan kemeja putih, rambut yang dirapihkan bak pangeran yang datang dari kahyangan. Matanya yang berbinar cerah, serta tingginya yang semampai membuatnya tampak 'sempurna' di mata Zeva.

Sebelum menonton pertunjukan mahasiswa, satu-persatu mahasiswa dipanggil untuk mengambil medali dan memindahkan tali toga tanda lulus, juga bersalaman dengan rektor tanda terimakasih. Setelah banyaknya mahasiswa/i dipanggil, nama Ghifar belum kunjung dipanggil membuat Zeva gelisah di tempat.

Beberapa menit berselang, akhirnya nama Ghifar dipanggil membuat Zeva segera berdiri dan berbaris menanti giliran. Ia seperti kembali ke masa lulus gelar dokternya. Saat itu adalah saat terbangga Zeva bisa lulus tepat waktu, bahkan lebih cepat.

"Ghifar Zyifran Ravano, lulus dengan nilai tertinggi kedua seangkatan."

Ia pun memegang bingkai Ghifar tepat didepan dadanya. Menerima medali, tali toga telah dipindahkan, serta ia juga bersalaman dengan rektor kampus Ghifar. Rektor kampus itupun mengucapkan kata belasungkawa juga selamat yang dibalas dengan ucapan terimakasih oleh Zeva, lalu kembali ke tempat duduknya dengan pelupuk yang sudah penuh dengan air mata.

Dokter dan Sang Penyair (Completed Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang