Kebetulan atau takdir

4 0 0
                                    

'Netramu adalah salah satu hal yang paling kusukai dari banyaknya hal yang kusukai darimu. Dengan caramu menatapku membuatku ingin terus selalu menikmati terangnya netra coklat milikmu. Bukan aku yang memilihmu, tapi hatiku yang memang tidak bisa beranjak darimu.' -Sang Penyair

Ditengah sendunya pagi ini, ada seseorang yang tergesa-gesa melakukan aktivitasnya. Dia terlambat karena malamnya ia hanya tidur 3 jam dan itupun tidak lelap. Sekarang sudah jam 8 pagi membuat jalanan pun mengalami kemacetan. Setelah linglung tidak tahu mau berbuat apa, Zeva segera turun setelah memberi uang pada orang yang mengantarnya pagi hari ini. Seperti biasa, Zeva menaiki gojek yang selalu berdiam dengan setia di pangkalan.

Zeva berlari di trotoar dengan tidak melihat jalan dibawahnya membuat dirinya tersandung batu yang cukup besar dan itu membuatnya terjungkal ke depan dengan siku dan lutut yang terluka cukup parah. Orang-orang disekitarnya pun membantunya untuk bangkit. Setelah Zeva berterima kasih, ia pun membersihkan bajunya yang kotor karena trotoar jalan itu.

"Lo ga apa-apa?" ujar sebuah suara yang familiar.

Zeva pun mendongak untuk melihat sang pemilik suara, dan ternyata orang itu sedang mengenakan kaus santai dan celana kargo hitam ditambah tali yang menjuntai dari celah ikat pinggang sampai ke saku yang ada di dengkul. Juga ia terlihat menawan dengan kacamata clear nya.

"Mas Ghifar?" tanyaku dengan jaw yang hampir jatuh.

"Lo ga apa-apa, kan? Lagian lo ngapain si lari-lari kaya gitu? Udah kaya dikejar apaan aja," heran Ghifar

"Gua telat kerja, Mas!" Ingatku pada satu hal itu.

"Yaudah gua anterin sini. Kasian lo noh, udah jatoh, ga ada yang mau nolongin, mana rumah sakit lo masih jauh. Lo sial banget pagi-pagi," cetus Ghifar

"Yaudah ayo. Gua ga mau dimarahi dokter lain."

"Ayo." Ghifar menarik tanganku menjauh dari tempat ku terjatuh.

Sambil berlari, aku melirik punggungnya sesekali ke arah tangannya yang menggandeng tanganku. Itu cukup manis.

Setelah sampai di depan mobil, Zeva dan Ghifar pun menaiki mobil itu dan tancap gas menuju rumah sakit dimana ia bekerja.

"Lain kali, kalau kesiangan, kontak gua aja. Gua siap anterin lo pake motor," ujar Ghifar.

"Nomor lo?"

"Di laci noh, taruh lagi nanti, ya. Itu soalnya emang buat tanda pengenal gua. Dan gua cuma punya 1."

Setelah percakapan singkat itu, Ghifar fokus ke jalanan, lalu aku fokus memasukkan nomor yang ada di tanda pengenal tersebut.

Selang beberapa menit kemudian, mobil yang dikendarai Ghifar pun sampai di pekarangan rumah sakit dimana Zeva bekerja.

"Dah sana turun. Kabari gua kalau penting," pesan Ghifar.

Aku pun mengangguk ke arah Ghifar lalu ingin membuka kenop pintu mobil, tapi saat aku belum membukanya bahkan menariknya, Ghifar menarik salah satu tanganku dan membawa tubuhku kedalam pelukannya. Parfum wood serta aroma rasberi pun seketika menguar dari kaus yang dikenakan Ghifar membuatku menarik napasku dalam. Aromanya sangat enak untuk dicium. Dalam beberapa menit aku nyaman di pelukannya, tapi aku sadar aku harus segera bekerja. Gawat kalau harus berlama-lama disini. Nanti bisa-bisa dokter lain marah dan atasan pun memecatku karena terlambatku seperti disengaja.

"M-mas ... Gua mau kerja."

"Jangan gua-lo deh, aku-kamu aja gimana?" ucap Ghifar tiba-tiba.

"Nanti lagi aja, ah. Gua mau kerja dulu, ya, mas. Makasi buat tumpangannya." Zeva pun segera keluar dari mobil.

----

Setelah seharian penuh dengan jadwal operasi, Zeva pun merebahkan tubuhnya di kasurnya yang empuk. Lalu ketika melamun, tiba-tiba Zeva teringat akan nomor Ghifar yang ia simpan. Dari pagi tadi pun ia tidak mengirim pesan apa-apa. Zeva pun langsung menyambar hpnya yang berada tepat disebelahnya untuk membuka room chatnya dengan Ghifar.

Malam, mas. Maaf ya tadi ga sempet chat. Sibukk hehe.

Aku pun menunggu balasannya sembari scroll ig.
Lalu, ketika notifikasi hp ku berbunyi aku akan memastikan notif apakah itu sampai aku mendapatkan notifnya dan tersenyum lebar.

Malam juga. Iya kok gua tau. Btw, udah makan?
Makan yuk, gua tau tempat enak nih!

Wah boleh tuh, Mas.
Gua juga belum makan soalnya hehe

Siap-siap, ya. Nanti gua chat lagi.
Eh btw sharelock yaa!

Rasanya kami sudah seperti teman yang sangat-sangat dekat sehingga ketika pertama kali chatan, bisa langsung menanyakan hal seperti itu. Ghifar juga orangnya to the point ga suka basa-basi sehingga lebih terkesan dry text. Tidak apaa ... ini hanya kesan pertama kali saat chatan dengannya. Nanti juga akan membaik.

Setelah mematikan handphonenya, Zeva pun bangkit untuk berganti pakaian dan berdandan sedikit. Sedikit saja, dengan polesan bedak dan lipbalm sudah cukup. Tidak perlu yang sampai didempul.

Beberapa menit kemudian pun handphone Zeva berdering karena adanya telepon masuk dari Ghifar. Rupanya ia tak mengirimkan chat tetapi Ghifar langsung meneleponnya.

Zeva pun turun kebawah dan membuka pintu ruang tamunya untuk keluar dan menaiki mobil Ghifar. Sebenarnya, Zeva pun kurang tau apakah Ghifar berasal dari keluarga kaya atau keluarga yang biasa-biasa saja. Ghifar tidak pernah cerita itu padanya.

"Halo, mas. Aku lama, ya?"

"Aku? Haha. Gua kira lo ga bakal mikirin perkataan gua. Ga lama kok. Yaudah kita jalan, ya."

Sebelum tangan Ghifar menyentuh kemudi, tangan Zeva sudah lebih dulu menangkapnya sembari menatap Ghifar dalam.

"Gua lama, ya?"

"Cukuppp lamaa. Tapi kan gua juga baru nelepon lo. Kita impas."

"Impas, ya? Ok deh."

"Kenapa lo belum makan?" tanya Ghifar.

"Sibuk, Mas. Belum lagi ada Operasi banyak hari ini. Pokoknya capek, lah. Apalagi, kan, gua ga punya support system. Jadi, yah, gua stres ya stres sendiri. Hehe," cengirku sambil menatapnya hangat

"You doing a great job today. Jadi dokter emang ga mudah, tapi perannya bagi manusia itu besar. Jadi, lo cukup hebat. Apalagi operasi-operasi gitu. Tandanya kan lo nyelamatin satu nyawa. I'm so proud of u." Tangan Ghifar turun untuk menggenggam tanganku dan mengelusnya pelan.

"Awwww, gua terharuuuuu ... ko lo se sweet ini siii? Padahal pas dirumah sakit udah kayak sahabat yang udah sahabatan bertahun-tahun. Tapi disini lo kayak pacar gua haha."

"Kalau lo ga keberatan, ayo."

"Ayo apa, mas?" tanya Zeva bingung

"Ga ada apa-apa. Kita jalan, ya."

Dan merekapun makan di suatu restoran yang bernuansa romantis. Mungkin itu hampir tidak disadari oleh Zeva sendiri, tapi dengan perlakuan Ghifar padanya dua hari ini membuat Zeva dilema sendiri. Ia tidak tau Ghifat melakukan ini semua karena apa. Apa mungkin karena mereka sudah dekat karena Zeva sudah pernah merawat Ghifar? Entahlah. Semuanya masih terlalu awal untuk mendiagnosis nya. Yang ada nanti cape sendiri. Biarlah, kita jalani saja dulu hubungan teman ini.

======

To Be Continued

Dokter dan Sang Penyair (Completed Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang