Jerella ; 01

1.8K 169 50
                                    

"Aku tidak suka teh hijau."

Tanpa menatap lawan bicaranya, pria itu menjawab.

Namanya selera, tidak semua orang harus sama, kan? Ada yang suka dan ada juga yang tidak. Jadi ketika Victor menjawab dia tidak suka, gadis yang bernama Jerella itu sama sekali tidak tersinggung walau teh hijau yang ada di tangannya ia buat dengan penuh effort.

Jerella tersenyum. "Maaf aku tidak tahu, Tuan. Andai saja aku tahu, aku pasti membuatkan Tuan minuman yang lain."

"Untuk apa minta maaf? Kau juga tidak perlu membuat minuman apapun untukku," jawabnya tanpa menoleh. Lalu, pria yang diberi nama lengkap Victor Martinez itu membalik lembaran baru dari berkas pekerjaannya. "Aku sedang sibuk. Keluar lah jika tidak ada urusan lagi."

Dia mengusir Jerella secara tidak langsung?

Memang, rasanya tidak enak untuk tetap berdiri di sana setelah mendengar kalimatnya. Namun persetan dengan itu, Jerella tidak akan terlalu ambil pusing dan akan tetap di sini sebelum ia menyelesaikan apa yang membuatnya datang ke ruangan pria itu.

"Ada yang ingin aku bicarakan, Tuan."

Apa Victor akan marah karena ia mengajaknya bicara di saat pria itu terlihat sibuk? Mungkin iya. Namun apa kau tahu? Jerella pun tidak paham mengapa pria itu selalu terlihat begitu. Selama seharian, di setiap minggunya, Tuan Victor Martinez itu selalu saja sibuk.

"Hanya sebentar," lanjutnya.

Jerella merasa berdebar ketika melihat gerakan tangan pria itu mulai berhenti. Jawabannya pasti akan segera datang, entah itu penolakan atau ia akan diberi satu kesempatan darinya. Apapun dapat terjadi.

"Apa itu hal penting?"

Setidaknya Victor menjawab lebih baik dari dugaannya. Jerella sesaat terdiam. "Entahlah, Tuan. Tapi bagiku ini penting. Setidaknya aku mengatakannya sekali saja pada Tuan."

Ucapan Jerella dibalas tatapannya. Apa itu satu tanda jika Victor mulai tertarik dengan hal yang akan ia bicarakan?

"Baiklah." Ternyata benar. "Namun hanya tiga menit. Kau hanya punya tiga menit!"

Jerella tersenyum dan lantas mengangguk. "Iya, Tuan, terimakasih banyak."

Meski hanya tiga menit, itu lebih baik daripada ia tidak diberi sedikitpun kesempatan olehnya. Tiga menit ini sangat berarti. Dan ia juga tahu jika waktu adalah emas. Apalagi waktu yang pria itu miliki, dapat ditebak seberapa penuh jadwalnya, dan seberapa mahal harganya.

Jadi ia menyadari, ketika Victor bersandar pada punggung kursi keagungannya, dirinya harus segera bicara setelah menaruh cangkir teh yang ia bawa ke atas meja atasannya itu.

"Cepat, katakan!" Victor berkata.

"Baik Tuan. Tapi sebelumnya tolong ... sekali, aku berharap Tuan tidak tersinggung."

Alis duda anak satu itu terangkat.

"Aku tak bermaksud bersikap lancang, atau mencoba ikut campur lebih dalam urusan keluarga Tuan. Tolong jangan salah paham. Aku mengutarakan ini karena jujur saja, aku merasa kasihan kepada putramu, Tuan Prince. Karena itu aku memberanikan diri seperti ini."

Rasa-rasanya, gemuruh jantungnya sendiri bisa ia dengar di telinganya sendiri, dan merasakan seberapa kencang kecepatan organ itu bekerja, menyadari keadaan di antara mereka sangat lah menegangkan. Jerella hanya bisa meneguk ludah setiap kali tatapan Victor mengarah pada dirinya, dan mengintimidasi dirinya. Namun itu hanya sekedar membuatnya sedikit takut, tak sampai membuat ia mengurungkan niatnya.

"Kasihan? Kau tidak lihat apa saja yang dia dapatkan dariku?"

"Jika yang Tuan maksudkan adalah materi, aku menyadari Tuan tidak gagal memberikannya hal-hal mewah seperti yang dia inginkan, atau bahkan yang diinginkan anak-anak lainnya. Tuan mampu memberikan apapun yang dia inginkan."

JerellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang