Part 1. PROLOG

1.1K 29 6
                                    

Aku ingin tersenyum lagi seperti dulu
Seperti saat kau jatuh cinta padaku hanya dengan melihat senyumku
Namun aku naïf, akulah bayang-bayang paling semu
Kehilanganmu adalah kelemahanku terbesar
(Cinta Terakhir_Rayhandi)

Jalanan kota masih menyisakan sisa genangan air hujan. Bau tanah menguar menciptakan petrikor yang melenyapkan debu-debuan. Langit masih mendung, juga gerimis belum benar-benar berhenti bergerilya. Aku terjebak di toko kain, mencari kain pesanan Umik bersama Lida. Umik bilang akan ada acara spesial beberapa bulan ke depan.

Aku sibuk bertanya kepada penjaga toko tentang kain pesanan Umik, sedangkan Lida bertugas memoto jenis kain, warna dan penjelasan lainnya untuk di kirim ke Umik.

Kedua orangtuaku sedang merencanakan acara besar yang aku sendiri belum tau detailnya. Entah akan ada silaturahmi keluarga besar atau kegiatan anak TPQ yang jelas aku belum bertanya lagi.

Setelah cukup menguras waktu yang membuatku tampak seperti seorang wartawan dadakan, Umik memilih kain warna peach dengan kombinasi batik khas kota kecilku. Aku lekas menyelesaikan pembayaran ke kasir dan meminta penjaga toko memasukkannya ke dalam bagasi mobil Lida.

Beruntung sekali memiliki sahabat sebaik Lida di saat seperti ini, yang mau kurecoki di sela-sela kesibukannya mengajar.

Hujan sudah reda ketika kami akhirnya meluncur pulang. Langit masih terbungkus gelap dan waktu telah beranjak senja, sedangkan perjalanan ke rumah cukup panjang. Sesekali aku menguap sedangkan Lida masih fokus pada gagang setirnya.

"Kudengar dari Budhe Maimunah kalau Mas Rofif bakal pulang. Apa kamu sudah dengar Na?" Lida akhirnya membuka percakapan di tengah kantukku yang menyerang.

Sayangnya pertanyaan itu benar-benar berhasil membuat kantukku hilang seketika. Aku mengalihkan perhatianku pada deretan persawahan panjang di luar jendela. Mengambil nafas dalam memenuhi pasokan oksigen dalam paru-paruku yang terasa menyempit, sebelum menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Lida.

Apakah lebih sakit menerima kenyataan bahwa cintamu bertepuk sebelah tangan atau cintamu tidak mengantongi restu?

Kupikir setiap patah hati memiliki porsinya masing-masing. Akan tetapi aku memilih bahwa cinta tanpa restu lebih menyakitkan.

Semua hal benar-benar berubah saat kita memilih mengakhiri perjalanan kita yang rumit.

Hari itu perasaan kosong menyeruak di dalam dada. Ada yang setelah berpisah bisa cepat move on, tapi ada juga yang sulit move on karena sejak awal jalinan cintanya cukup kuat.

Untuk menjawab pertanyaan Lida yang sederhana, nyatanya tidaklah sederhana bagi seseorang sepertiku yang berada dalam posisi yang cukup membingungkan.

"Belum tau." Aku menjawab sekenanya, hanya itu kalimat yang rasanya mampu mewakili perasaan yang saling berkecamuk dalam dadaku.

Sebenarnya Mas Rofif sudah mengabariku jauh-jauh hari tentang kepulangannya, tetapi pesannya seringkali kuabaikan.

Aku sedang mencari waktu yang tepat untuk berbicara, bahwa pada akhirnya aku dipaksa mundur dari tempatku berjuang. Aku mundur karena setelah waktu yang begitu panjang, aku diminta sadar diri oleh kedua orang tuaku sendiri.

"Kok bisa ndak tau to kamu Na? Biasanya Mas Rofif bakal lebih dulu ngabarin sampeyan dibandingkan ngabarin keluarganya." Lida masih ngeyel di balik kemudinya.

Aku memilih diam tak menjawab pertanyaan itu lagi. Berganti menarik nafas dalam-dalam melonggarkan dadaku yang mulai sesak. Aku memilih memandang ke luar jauh, karena tiba-tiba pandangan mataku mulai kabur karena kabut tipis memenuhi kelopak mataku, perih.

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang