Part 6. Titik Jenuh

101 8 0
                                    

Di bawah rintik hujan yang jatuh menerpa bumi,
Kutitipkan salam pada sang pemberi impian dan angan.
Adakah akan kutemui satu jawaban?
Atas pertanyaan-pertanyaan yang kadang melelahkan pikiran.
Idris Setiawan_Hujan, Malam dan Sebuah Harapan


_Bagaimana Nduk hasilnya? Aku sudah ingin cepat-cepat matur dengan Abah untuk nembung kamu waktu pulang nanti. Tunggu bulan Agustus aku insyaAllah pulang._

Aku coba mengabaikan pesan itu untuk sekian lama, terpaku antara perasaan sadar dan tidak sadar. Aku hanya diam.

Saat aku jatuh cinta kepadanya, aku tidak pernah berpikir bahwa aku sebenarnya sedang berdiri di atas lapisan es yang tipis. Sebuah jembatan yang bisa kapan saja membuatku jatuh dalam jurang yang entah dimana dasarnya.

Rupanya selama aku menjalani kisah kami, aku lupa menaruh cermin untuk menilai seberapa pantas aku dengannya.

Lalu kini aku menyesali, saat pada akhirnya kecerobohanku berhasil memporak-porandakan diriku sendiri. Aku merasa terbunuh oleh cinta di atas pilihanku sendiri.

Abahku telah berhasil mengacungkan pedang, meruntuhkan jembatan yang kubangun dengan penuh tetes pengorbanan. Semuanya runtuh, lantas membuatku terjatuh dalam pusaran keterhancuran.

Sekalipun penolakan dari Abah tegas, diam-diam aku masih terus mendoakannya. Aku masih berharap bahwa takdir berpihak kepadaku.

Akan tetapi perasaan-perasaan takut semakin menggerogoti pikiranku. Aku merasa begitu kerdil dan jauh dari kata pantas untuk menjadi pendamping hidupnya.

Ternyata perasaan kehilangan itu amat nyata, dan nyatanya aku hanyalah perempuan biasa, yang masih bisa merasakan luka, yang tidak mampu lagi menopang seluruh kekecewaannya. Aku jatuh sakit dan dokter menyarankanku untuk rawat inap.

Kondisiku melemah, karena aku terlalu berpikir keras tentang perpisahan yang harus kuagungkan.
Bagaimana caranya aku harus menghadapi luka?

Kalimat seperti apakah yang pantas untuk kusampaikan kepadanya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dikepalaku.
Umik mengangsurkan bubur kepadaku. Aku menggeleng lemah, karena nafsu makanku benar-benar hilang.

“Makan Nduk… Umik sedih kalau kamu sakit...,” kata beliau.

Aku mencoba membuka mulut mencicipi buburnya sedikit, tetapi belum sampai ke kerongkongan aku sudah memuntahkannya.

“Apa Umik panggilkan Lida?” Umik kembali bertanya, aku hanya menggeleng lemah.

Entah aku tiba-tiba merasa lelah sekali, hingga rasanya aku ingin beristirahat tubuh dan pikiranku.

Apakah kesedihan itu berasal dari diri sendiri, orang lain atau kehidupan?

Sekali lagi aku bertanya, mencoba berdiskusi dengan diriku sendiri. Di saat yang bersamaan pintu ruangan terdengar berdecit pelan, mungkin Umik memilih menyingkir sejenak. Setelah kepergian Umik, kubiarkan diriku menangis, dengan terus mencoba beristighfar berkali-kali mengurai sesak yang terus menjejak di setiap sudut hatiku.

Gawaiku terlihat berkedip beberapa kali, tanda ada orang yang mencoba menghubungiku. Kupejamkan mataku, namun kenangan itu lahir dengan derasnya memukul-mukul mataku.

Telah kuusahakan untuk mengenyahkan, namun tidak berhasil juga. Akhirnya kusadari, tak ada cara lain kecuali rasa cintaku benar-benar habis dengan sendirinya.

****

Aku duduk menatap ke luar jendela, sebuah pemandangan senja yang hanya dapat dinikmati saat peralihan musim hujan ke musim kemarau. Dimana kabut yang tebal mulai menipis, menyisakan guratan-guratan berwarna emas.

Aku beruntung mendapatkan ruang inap dengan bonus pemandangan yang indah. Ditanganku sebuah novel lama berjudul Padang Ilalang di Belakang Rumah dari N.H Dini hampir habis kulahap.

Umik menitipkanku kepada suster, Umik bilang akan ada acara besar di rumah. Aku meminta maaf karena tidak dapat membantu. Saat kubuka lembaran berikutnya, kudengar derap kaki mendekat, dan handle pintu di putar pelan diikuti suara salam.

Waalaikum salam.” Aku cukup terkejut dengan kedatangan Lida. Dia buru-buru memelukku dengan raut wajah khawatir.

Ya Allah kok bisa sampek nginep di RS begini to Na?” serunya dengan tingkah berlebihan seperti biasanya.

Aku tersenyum melihat tingkah Lida yang memang berlebihan sekali kali ini. Mengukur suhu tubuhku dengan tangannya, memastikan badanku tidak ada yang luka, pokoknya lebih repot dari suster.

“Aku ndak papa kok… Alhamdulillah udah baikan,” kataku.

“Kamu ini loh ya, mbok kalau ada masalah cerita to, Na. Jangan di pendem sendiri, jadi mbatek to sampeyan ini.”

*mbatek : stress akibat menyimpan sakit sendiri

Aku menutup bukuku dan menaruhnya di atas nakas, sebelum melanjutkan pembicaraanku dengan Lida.

“Umikmu tak tanya kamu sakit apa, katanya suruh bicara langsung sama kamu. Mungkin kamu lebih mau terbuka kalau sama aku… Sebenere kamu ini ada apa to Na?”

“Aku ndak papa, Da,” yakinku mencoba mengelak.

“Kamu itu ndak bisa bohongin aku, Na. Udah kebiasaanmu, kalau sampai kamu sakit artinya lagi ada masalah yang ndak bisa kamu ceritain to?”

Aku hanya menatap langit-langit kamarku, sambil menelan ludahku berat.

Bagaimana pun aku masih manusia biasa. Sekuat apapun aku mencoba mengenyahkan, harapan-harapan yang sedang kucoba bunuh mati bisa saja kembali bersemi.

“Ya sudah, aku ndak bisa maksa to… Tapi kapan pun kamu siap buat cerita, aku siap dengerin yo.” Lida mengelus pundakku, aku hanya tersenyum tipis mencoba mengiyakan.

Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang, Lida pamit ke mushola RS.

Sepeninggal Lida, aku kembali termenung di atas ranjangku, menarik napas dalam-dalam, sambil beristighfar lirih. Bertumpu di pusaran doa-doa sebagai kekuatan, berusaha tersadar bahwa hidup selalu menghadirkan banyak persimpangan.

****

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang