Part 4. Metamorfis

117 10 0
                                    

sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal
berupa
bunga kertas dan lintasan
angka-angka
Sapardi Djoko Damono_ Sementara Kita Saling Berbisik

Aku menatap kosong layar komputer yang belum kunyalakan. Mendung menyelimuti siang ini, begitupun dengan perasaanku. Pernyataan Umik pagi ini meruntuhkan seluruh usahaku untuk bersanding dengannya.

Semua yang kuterjemahkan dalam diriku adalah kerapuhan. Setiap kerapuhan yang dibungkus rapi dalam topeng kekuatan. Aku mengatakan bahagia. Agar hidupku bahagia.

Aku tersenyum agar setiap orang menerjemahkan hidupku dengan kebahagiaan.

Bagaimana dengan hatiku?

Aku mencintainya. Tapi bukankah cinta dapat berubah.

Masih jelas di kepalaku perkataan Umik yang di sampaikan hati-hati kepadaku. Sebuah jawaban yang di berikan oleh Abah yang menentukan hubungan kami berdua selanjutnya. Meskipun aku tidak bisa mendengar langsung kalimat itu meluncur dari bibir Abah.

Namun perasaan sesak ini semakin menggerogoti perasaan bahagia dan penuh harap yang kurasakan selama ini.

"Abah memintamu untuk tidak terlalu banyak berharap dengan Gus Rofif," jelas Umik.

Perasaanku yang awalnya setentram embun yang turun menyambut pagi, tiba-tiba bergejolak. Bagaikan sebuah batu kecil yang di lemparkan ke dasar laut. Meskipun tak seberapa namun mampu memunculkan riak-riak kecil di kedalaman. Membuat yang ada di relung terdalam itu kembali goyah.

Apa yang harus kulakukan?

Aku seperti berada dalam situasi yang sulit dalam pilihan-pilihan kehidupan yang rumit. Di saat yang seperti ini rasanya enggan sekali untuk berbicara dengan siapa pun.

Kulirik gawaiku yang bergetar beberapa kali. Nama Mas Rofif muncul di sana.

Namun, untuk kali ini saja aku ingin rasanya menutup mata sejenak dari setiap nafas dan pandangan mata dalam bayangan yang membingungkan.

***

Hari itu Sabtu pertengahan bulan Januari, aku mematut pandangan secara intens pada tetes-tetes air yang membentuk banyaknya titik tanpa jeda, lalu meninggalkan jejak basah yang terkesan abstrak.

Aku sungguh tak yakin bahwa teman Mas Rofif akan benar-benar menjemputku.

Siapa aku?

Hanya mahasiswa baru yang tidak begitu terkenal di kampusku yang besar.

Sudah setengah jam lebih aku menunggu di ruang pergerakan. Aku juga ragu-ragu untuk menghubungi Mas Rofif lebih dulu. Kami tidak cukup dekat bukan?

Namun di tengah lamunanku, sayup-sayup kudengar suara kendaraan masuk di tempat parkir dekat ruang pergerakan yang nyempil di antara ruang-ruang organisasi kampus lainnya.

Aku menatap tak percaya saat tau yang menjemputku adalah dirinya, Mas Rofif. Rambutnya sedikit basah karena melewati hujan antara tempat parkir dan ruang pergerakan.

Aku pernah mendengar sebuah kata 'Even in bad things there's always something good.' Aku tak yakin bakal cocok untuk menggambarkan situasi ini, tetapi aku cukup bersyukur yang menjemputku Mas Rofif sendiri. Tidak akan terbayang betapa canggungnya jika yang menjemputku adalah temannya, seseorang yang mungkin belum pernah aku temui di dunia nyata.

Setelah perjalanan sekitar lima belas menit, kami akhirnya sampai di tempat seminar yang di laksanakan di sebuah gedung bekas bioskop kotaku. Aku cukup terkejut, gedung ini sudah cukup berubah banyak. Mas Rofif mempersilakanku turun, dan mengajakku ke ruang panitia. Aku hanya membuntutinya seperti anak kecil yang tidak tau arah.

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang