Part 7. GARIS WAKTU

85 9 0
                                    

Dunia tersembunyi memiliki awan dan hujan,
tetapi dalam jenis yang berbeda.
Langit dan cahaya mataharinya, juga berbeda.
Ini tampak nyata,
hanya untuk orang yang berbudi halus
mereka yang tidak tertipu oleh kesempurnaan dunia yang semu
-Dimensi Lain_Jalaluddin Rumi

Rupanya hidup selalu berhasil menawarkan teka-teki yang rumit, sementara jalan keluarnya belum juga tertanda ujungnya. Ada satu waktu dalam hidup, di saat aku merasa tidak dapat menentukan kemana laju takdir akan membawaku. Hari dimana saat pertanyaan enggan menemukan satu jawaban.  Juga hari saat aku harus menahan segalanya, hingga rasanya sakit sekali.

Aku mencoba beristikharah untuk mencari jawaban dari Allah atas kerisauanku. Sekalipun tidak selalu ada perasaan yang tepat setelah istikharah, namun aku meyakini apa yang terjadi setelahnya insya Allah adalah kebaikan untukku.

Akan tetapi, apakah jawaban terbaik selalu datang dengan mengejutkan? Lantas bagaimana aku harus menyikapi perasaan sedih atau bahagia yang tercampur rata dalam dada?

Siang ini, aku diperbolehkan pulang oleh dokter yang menanganiku. Dokter hanya berpesan agar aku lebih dapat mengelola stresku dan menjaga pola hidup sehatku. Aku memarkir sepeda motorku di depan rumah. Sesampainya aku di dalam, aku dikejutkan oleh keramaian yang sudah mewarnai rumahku. Mbak Warni yang biasa bantu-bantu di rumah kalau ada hajatan, sudah sibuk di dapur. Beberapa tetangga dekat juga tampak bergabung di sana.

Umik dan Abah terlihat sibuk menyambut tamu-tamu yang datang. Aku tidak cukup mengerti dengan apa yang terjadi. Sepertinya jadwal khataman anak-anak TPQ masih cukup lama. Ibu-ibu yang melihat kedatanganku beramai-ramai menggodaku, aku mendekati mereka lalu mencium tangannya satu persatu.

“Sudah sehat Mbak Na?”

“Alhamdulillah, berkat doa ibu-ibu semua,” jawabku.

“Harus sehat, yo Mbak Na. Wong hari bahagia masa malah sedih-sedih,” ujar Bu Dwi, lalu yang lain menambahi.

Seketika gelak tawa mengikuti ucapan Bu Dwi. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi gurauan tersebut, sebab aku sendiri juga tidak mengerti ke arah mana pembicaraan ini. Setelah berbasa-basi sebentar, aku meminta permisi ke kamar.

Tak lama kemudian Umik menghampiriku, Umik bilang aku harus bersiap-siap.

“Ada acara apa to Mi?” Aku mencoba bertanya dengan hati-hati.

“Nanti kamu juga tau, Nduk. Kata Abah biar jadi surprise,” jawab Umik.

“Duh, Kayna jadi deg-degan Mi. Bukan acara yang aneh-aneh kan Mi?” tanyaku lagi.

Umik hanya senyum-senyum sambil memilihkan baju yang katanya cocok untuk acara nanti malam.

“Kamu istirahat dulu saja, nanti kalau sudah Asar Umik bangunkan,” lanjut Umik. Aku yang masih belum benar-benar sehat hanya menurut saja.

***

Hawa dingin pedesaan pada akhir bulan Juli cukup menusuk tulangku, sekalipun suhu kamarku lebih hangat daripada di luar, namun tetap saja tidak mampu mengurai perasaan gugupku. Aku tak banyak bertanya saat Umik memanggilku, aku hanya mengekor Umik dan duduk di ruang tamu. Malam ini, beberapa tokoh masyarakat hadir, Umik hanya berbisik kepadaku bahwa aku harus siap. Sungguh pun tak pernah terlintas di benakku untuk membantah apa pun yang diputuskan Abah, namun keputusan kali ini sungguh mengejutkan.

Sedikitpun tak pernah terbersit dalam pikiranku, saat seseorang itu mendatangiku. Saat dia dengan kalimatnya yang sangat halus mengenalkan dirinya di tengah-tengah kami. Aku tak pernah mengenalnya sebelumnya. Dia teramat asing bagiku.

Aku terdiam cukup lama, aku ingin menyanggah permintaan lelaki asing itu. Namun sia-sia, Abah lebih dulu menerima pinangannya. Tubuhku menengang saat Umik memasangkan cincin kawin model nurina yang kuakui seleranya bagus. Bibirku kelu, efek terkejut jadi yang bisa kulakukan hanyalah diam, linglung.

Dia duduk dihadapanku, dia-lelaki asing itu menjabat kedua tangan Abah. Mengikrarkan kedua kalimat syahadat yang disaksikan oleh para tokoh agama, lalu diikuti ikrar ijab qobul yang menggema di hadapan para tamu undangan yang hadir mendoakan kami.

“Sah!” saat kalimat itu menggema, airmataku meleleh tak terbendung lagi. Haruskah secepat ini segala sesuatu terjadi? Ada banyak kebingungan yang merebak memenuhi rongga dadaku, antara kesedihan atau kebahagian yang terjebak.

Bagaimana aku harus menghadapi kejadian demi kejadian yang aku sendiri tak berani bertanya bagaimana laju takdir memilih kita?

Kuyakin para sesepuh dan siapapun yang hadir berpikir bahwa aku sangat terharu dengan perjodohan ini. Rupanya mereka masih berpikir bahwa aku menangis bahagia atas keputusan Abah yang jelas-jelas diputuskan secara sepihak saja. Di kamar minimalis yang kutempati bertahun-tahun ini aku menangis deras. Membayangkan di belahan bumi lain ada seseorang yang masih setia meneriakan namaku dalam doa-doanya.

Bagaimana meyakinkan diri bahwa yang sedang kujalani adalah dunia nyata, bukan sebuah utopia yang bisa berakhir kapan saja? Rasanya setiap laju hidupku sepertinya tidak mendapat restu dari yang Kuasa. Aku benar-benar merasa putus asa sekarang, frustasi dengan semua pikiran burukku.

Setelah semua tamu pulang, Abah dan Umi mendatangiku. Kali ini aku terlalu bingung untuk bereaksi seperti apa.

“Abah tau, kamu pasti keberatan mengenai perjodohan ini, Nduk.” Abah memulai kalimatnya.

“Asal kamu tahu, dalam mencari pendamping hidup itu bukan cuma soal cinta. Cinta bukanlah modal utama keluarga menjadi sakinah, mawaddah, warahmah.” Abah menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Kamu itu orang berpendidikan, paham agama, dan tau syariat. Jangan hanya karena nafsu saja kamu ikuti. Menikah itu harus sesuai tata aturan yang Allah gariskan untuk kita,” lanjutnya lagi.

Abah kemudian berpindah duduk di sisi ranjangku dan melanjutkan kalimatnya, “calon suami yang Abah siapkan untukmu itu sudah memenuhi standar sholeh. Jangan kira sholeh yang Abah maksud adalah yang cuma rajin solat saja. Soleh bagi Abah adalah dia yang paham ilmu agama, luas pengetahuannya, bisa momong orang, pekerja keras dan bisa melindungi kamu juga jadi penerus Abah ngopeni santri-santri.”

Baru kali ini ingin rasanya aku menyanggah kalimat Abahku, apa kurangnya Gus Rofif jika memang itu yang diinginkan Abah. Namun, sekali lagi aku hanya bisa bungkam, karena aku hanyalah wanita jawa. Seperti halnya dalam kamus jawa, bahwa kata wanita terbentuk dari dua kata bahasa jawa. Yakni kata wani yang berarti berani, dan kata tata  yang berarti teratur, wani ditata yang artinya berani (mau) diatur. Sehingga aku hanya bisa manut dengan setiap keputusan Abahku.

“Ingat Nduk, pernikahanmu ini bukan hanya soal kamu saja, tetapi untuk keluargamu, dan untuk kemajuan dan kemaslahatan umat. Catet itu Nduk. Jangan main-main!” tambah beliau sebelum akhirnya keluar menemui lelaki asing yang telah sah secara agama menjadi suamiku.

***

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang