Part 5. PUNAH

85 9 0
                                    

Di bawah salah satu sisi lagit,
Aku terduduk diantara cahaya
bulan dan lampu taman.
Berharap suatu keajaiban kan datang padaku.
Membawa serta alunan sendu dari hati
Ellena Crysantha_Tangisan Malam


Hari ini adalah hari dimana pada akhirnya aku harus mulai belajar menerima kenyataan, menopang semua rasa kecewa yang meletup dalam dada. Semakin lama di rumah, hidupku rasanya juga semakin runyam.

Hari ini aku menyetir sendiri, berputar tidak tahu arah. Menyusuri jalanan kota kecilku sambil mengingat-ingat potongan-potongan harapan yang berubah menjadi kenangan.

Siapa yang tidak jatuh cinta jika berhadapan dengan seorang Rofif Afrian Maulana?

Santri kesayangan Yai As'ari, yang sudah sering menyabet penghargaan tingkat nasional. Bacaan Al qurannya indah, khatam di luar kepala berbagai judul kitab gundul. Juga terakhir kali lulus dengan cumlaude yang membawanya meraih beasiswa S2 di universitas Al-Ahgaff, Hadhramaut, Yaman.

Untuk orang sekualitas diriku adalah sebuah penghormatan yang luar biasa untuk dapat mengenalnya.

Bersamanya aku belajar menemukan jati diriku. Juga dicintainya merupakan bonus yang sungguh indah.

Akan tetapi, nyatanya lima tahun yang kujalani, kuperjuangkan, kudoakan memiliki takdir yang tidak selamanya sejalan.

Abahku memang bukan orang yang mudah, selalu banyak pertimbangan saat harus matur dengannya. Berbicara kepada Abah selalu membuatku berpikir banyak.

Hanya rangkaian dzikir dan bacaan tilawah yang menguatkanku sebelum akhirnya membuka percakapan dengan Abahku. Seseorang yang amat kuhormati, kusegani, juga kucintai.

Dengan sangat hati-hati aku mencoba berbicara kepada Abah, berusaha berbicara dari hati ke hati mengenai keinginan Mas Rofif untuk sowan ke Abah, untuk memohon ijin meminangku saat kembali dari Yaman nanti.

"Siapa Nduk?! Rofif Afrian Maulana, putra Yai Isrofi?!" tanya Abah setelah mendengar penuturanku.

"Njih Abah, saya baru tau ka-"

"Yang kuliah di luar negeri itu?" Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Abah sudah memotong dengan rentetan pertanyaan lain.

"Njih Abah ...," jawabku lagi.

"Santri kesayangan Kyai As'ari?"

"Njih betul, Abah. Dia-"

"Ndak! Kali ini Abah tidak mengizinkan Nduk!" Aku begitu terkejut dengan jawaban Abah.

"Kyai Isrofi orang terhormat, santrinya banyak Nduk. Semua orang hormat akan beliau. Bagaimana mungkin Abah berani mengirim putri Abah kepada beliau?!"

"Saya mencintainya Bah...."

"Kamu terlalu percaya diri Nduk! Apakah menikah hanya modal cinta Nduk?!"

Aku tak bergeming di tempatku, menatap kosong keluar jendela. Aku mulai menangis hingga sulit sekali untuk bernapas, menangis hingga kepalaku pening karena kekurangan pasokan oksigen. Berusaha menolak semua fakta menyakitkan, namun justru rasanya dadaku dua kali lipat lebih sesak.

Aku terdiam di bawah kaki Abahku. Kuangkat kepalaku dan kutatap wajah Abah dan Umik. Beliau memandangku masih dengan ekspresi yang sama. Maka aku hanya membalasnya dengan senyum tipis yang kupaksakan, seolah mengiyakan.

"Apa yang membuatmu merasa begitu percaya diri Nduk?" Abah masih berusaha menyudutkanku.

"Ratusan piala hasil lomba ngajimu bukan jaminan bahwa kamu sudah cukup pantas Nduk. Kyai Isrofi pasti menginginkan menantu yang sekualitas dengan putranya. Kamu itu siapa Nduk?"

Aku memejamkan mata, berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghentikan tangis, aku harus kuat, aku harus tegar ucapku pada diri sendiri.

Mengapa begitu menyakitkan mendengar kalimat yang meluncur bebas dari Abahku sendiri? Apakah seserendah itukah nilai diriku?
Umik mengelus pundakku mencoba menguar perasaan kalut.

"Nduk, Abahmu ada benarnya. Jangan jadi orang yang gegeden empyak kurang cagak, jangan karena kalian saling mencintai maka kamu merasa pantas untuk menjadi pendamping hidupnya."

*gegeden empyak kurang cagak : peribahasa 'lebih besar pasak daripada tiang'.

Aku merasakan hatiku rasanya seperti menyusut, aku benar-benar tidak tahu harus menunjukkan reaksi seperti apa saat Umik mulai berbicara.

"Betul memang perempuan harus mencari nasab yang lebih baik dari nasabnya. Tetapi Nduk, kamu harus berkaca, kita ini siapa? Ibaratnya kita hanya lilin yang cahanya hanya dapat dinikmati oleh sedikit orang.

Sedangkan keluarga Kyai Isrofi ibaratnya adalah matahari, yang cahayanya di digadang-gadang oleh seluruh alam raya. Lilin ndak bakal iso pantes bersanding sama matahari." Umik mengakhiri kalimatnya.

Kurasakan sesak dan nyeri yang sama sekali tak dapat dideskripsikan, karena saat ini yang ingin aku lakukan hanyalah menangis.

"Abah dengar Gus Rofif sudah digadang-gadang jadi penerus pondok pesantren Kyai Isrofi-Abahnya. Apa pantas putri Abah yang hanya lulusan sarjana, masih minim pengetahuan agama bersanding dengan seorang putra Kyai besar?

Abah tidak bermaksud menyakiti dirimu, tetapi Abah hanya berharap bahwa putri Abah, berkenan untuk lebih sadar diri."

Sekali lagi, tak satupun yang bisa kuselamatkan dari perasaan percaya yang kubangun sekian tahun lamanya. Ternyata yang lebih menyakitkan adalah perasaan cinta yang sadar diri.

****

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang