Part 11 HARI H

286 12 3
                                    

Sajak perpisahan merunyam
Batin mencoba menitih luka aksara baru
Bertamu pada pintu-pintu patah hati
Terlilit pada golongan penikmat air mata
Berparas sayu yang remuk diam-diam
Dunia tahu perpisahan itu kejam pada manusia
(Sajak Perpisahan Sepihak_Fitri Nur V.R)

Dalam Al-quran yang suci, Allah jelas-jelas telah berjanji bahwa lelaki baik untuk perempuan baik, dan perempuan baik untuk lelaki baik.

Lantas mengapa di kepalaku berputar rentetan pernyataan yang coba membandingkan mengenai jodoh idaman?

Memangnya kualitas seperti apa yang aku punya?

Hingga dengan percaya diri merasa layak untuk bersanding dengan jodoh “sempurna” versi diriku.

Kata orang-orang, hari pernikahan adalah hari yang paling membahagiakan. Dimana dua insan menyatu dalam mahligai cinta-Nya. Dengan berkalung restu kedua orang tua, seharusnya aku menjadi wanita paling bahagia di dunia ini.

Namun nyatanya aku masih belum dapat menerima kenyataan bahwa aku harus menikah dengan seseorang yang bukan pilihanku. Selama ini aku terjebak dalam fantasi masa mudaku, lalu seperti bom waktu, semua fantasi itu benar-benar berakhir saat aku terjaga.

Menikah dengannya, sejatinya tidak hanya sekedar akad dan walimatul urs, melainkan maknanya jauh daripada itu. Ini tentang pengalihan tanggung jawab Abah kepada lelaki disampingku untuk menafkahi, melindungi dan menjaga harkat martabat serta mendidikku untuk dapat bersama meraih ridho-Nya. Sejak detik ijab qabul disuarakan, statusku telah berubah dalam catatan agama dan catatan Negara.

Kini, aku seolah berada di tengah arus nyata dan maya, berusaha meyakinkan diri agar tidak tertipu oleh kesempurnaan dunia yang semu. Ingin rasanya aku meraung, mengeluarkan sesak yang memenuhi rongga dadaku, kala mataku menangkap bayangan seseorang yang ratusan hari pernah tinggal dalam doa-doaku.

Bayangan itu nyata, ia berjalan ke arah mimbar, mendekap Al quran bersampul warna emas. Berdiri tidak jauh dari hadapan kami. Rupanya lelaki yang kini berdiri di atas mimbar dengan stelan batik merah maroon itu bukanlah seorang pecundang. Mas Rofif benar-benar hadir di acara walimatul urs-ku. Seperti janjinya hari itu.

“Di walimatul urs-mu nanti, saya akan datang. Ijikanlah saya untuk membacakan ayat-ayat suci Alquran di pernikahanmu, Nduk...,” pintanya menghiba.

“Berikan kesempatan bagi saya untuk mendoakan kebahagiaanmu. Ini kesempatan terakhir bagi saya, biarkan ayat-ayat suci yang dulu saya persiapkan sebagai mahar meminangmu, menjadi doa yang akan jadi pilar kebahagiaan rumah tanggamu.”

Mengingat hari itu, air mataku tak kuasa kubendung lagi. Mas Rofif tidak pernah ingkar janji, dia benar-benar membacakan ayat itu dengan suaranya yang merdu.

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ

Saat sampai pada bagian itu, Mas Rofif berhenti sejenak, menarik nafas dalam-dalam melonggarkan sesak yang menyeruak perlahan-lahan. Tak sengaja saat aku coba melayangkan pandanganku ke arahnya, setetes bulir air mata itu terjatuh. Ini sangat menyakitkan untuk kami berdua, tetapi kami tidak dapat memilih takdir untuk berpihak kepada kita berdua.

Rasanya aku seolah menyatu ke dalam bulan Juni, yang berdiri di tengah-tengah, diantara kenangan dan harapan. Kurapalkan istighfar berkali-kali, mencoba meyakinkan diriku. Setelah hari perpisahan yang aku kumandangkan di hadapannya, juga setelah ikrar akad kuterima di bawah restu kedua orang tuaku. Seseorang yang duduk disampingku adalah jodoh terbaik yang Allah berikan kepadaku.

Kini rupanya aku sedang mencoba melangkah, mengobati dan menerima setiap kenyataan hidup yang kujalani. Hidup memang terjadi, dan dengan itu datang kehilangan. Aku kembali membeku di tempatku. Melihat Mas Rofif berhasil menyibak kerumunan tamu undangan dan berakhir berdiri di panggung pelaminanku.

Kucoba untuk menguasai tangis, mencoba tersenyum sekalipun itu palsu. Bak trailer sebuah film yang scene-scenenya berubah begitu cepat, sejenak berhasil membawaku pergi ke masalalu. Dimana pernah ada sekeping rasa yang pernah menjelma menjadi asa, tersemat indahnya janji manis tentang masa depan.

Kini setiap kali bayangan itu mampir, aku hanya akan menganggapnya sebagai remahan-remahan kecil. Sekali lagi aku meyakinkan diri bahwa segala yang terjadi di masa lalu adalah gambaran  betapa naïf diriku.

Namun dalam tempo yang begitu singkat, jantungku melonjak seolah mau keluar dari dadaku, hatiku seperti menyusut dua kali lipat  dan membuat bulir-bulir hangat menggenang di sudut mataku. Aku kembali dapat merasakan jantungku berdetak kencang, dan darahku mengalir menghangatkan dan melemaskan setiap inci dari tubuhku.

Barakallahulaka wabarokaalaika wa jama’a baina kuma fi khoir…”
Ucapnya dengan raut wajah pura-pura tegar.

Dia menangkupkan kedua tangannya menutupi kesedihan yang coba ia sembunyikan. Aku hanya dapat mengaminkan lirih. Kala tak sengaja kedua mata kami bersitatap, aku menangkap ada bulir hangat di ujung matanya. Aku menunduk tak kuasa ikut merasai kesedihan itu.

Dia berhasil melewatiku, turun dari panggung pelaminanku dengan terus menundukkan kepalanya. Aku menatapnya untuk terakhir kalinya, bersamaan itu kuhela nafasku dalam-dalam saat tubuhnya menghilang dari kerumunan para tamu undangan. Benar, ini adalah terakhir kalinya aku berjumpa dengannya.

Lida bilang Mas Rofif sudah memutuskan akan kembali ke Yaman, dia ingin menetap di sana untuk waktu yang belum dapat ditentukan. Benar, bahwa kami butuh jarak sejauh-jauhnya. Keputusannya adalah yang terbaik untuk kami, mungkin jika Mas Rofif terus-menerus berada di sekitarku, aku akan merasa sulit sekali menerima kehadiran Mas Alif sebagai imamku.

Sekali pun dihadapanku dia berusaha tegar, dan selalu menguatkan. Nyatanya Mas Rofif tetaplah manusia biasa yang bisa merasakan sakitnya sebuah perpisahan. Rupanya kota ini terlalu menyakitkan untuk kami berdua, terlalu banyak sisa-sisa kenangan dan harapan yang pernah sama-sama yang kami langitkan berdua.

Kurasai hangat tangan Mas Alif menyentuhku, menyadarkan bahwa sudah banyak antrian tamu undangan yang memberikan ribuan ucapan doa yang hanya bisa ku-aamiinkan. Sambil mengingat-ingat nasihat Umik aku menatap lelaki yang kini akan selalu membersamaiku.

“Ada kalanya kita kecewa dengan takdir, ada kalanya kita yang membuat orang lain kecewa dengan diri kita. Akan tetapi Nduk, itu tidak menjadikanmu orang jahat. Kita semua pernah membuat kesalahan, tetapi dengan begitu kita jadi belajar.”

****

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang