Dua musimku hanyalah sepi,
Hujan yang membasahi hati dan
Panas yang mengeringkan tangis
Maximilian_IKLIM JIWASetelah pergulatan yang panjang dalam benakku, bertikai dengan diri sendiri. Akhirnya pagi ini aku memutuskan untuk menghadapi kenyataan hidup yang kujalani.
Setelah berhasil menghubungi Lida untuk menemaniku, aku memutuskan untuk menemui dirinya. Ya, aku tersenyum hampa tiap bayangan tentang dirinya mampir.
Langkahku amat berat, keputusan ini tidaklah mudah. Namun percuma juga terus menutupi pilihan hidupku sendiri.Menerima atau pun tidak aku telah terikat dalam sebuah pernikahan yang sah secara agama. Pikiranku terus mencoba mendikte hatiku, bahwa kenangan dan harapan itu hanya menggambarkan betapa naifnya diriku sebagai perempuan.
Langkahku membatu, "Apakah aku seberani itu? Mengatakan kejujuran ini sendiri, lalu melukai perasaan seseorang yang pernah menjadi kesatria dalam setiap episode masa mudaku. Seseorang yang pernah tinggal dalam doa di setiap sujud panjangku."
Namun, mundur pun rasanya percuma, karena Lida sudah menangkap bayanganku berdiri. Dia segera menoleh ke arahku, mengikuti lambaian tangan Lida.
"Kayna! Sini!" seru Lida dari tempatnya. Aku hanya tersenyum lirih. Palsu, namun hanya itu yang kini kumiliki.
Aku melangkah menyeret langkah beratku menuju tempat mereka berkumpul, duduklah kami bertiga. Senyumnya masih semanis madu, senyum yang pernah menjadi kekuatan dalam mengarungi malam dan siangku. Senyum yang sama yang berhasil membuatku selalu jatuh cinta.
Kini, gelisah, bimbang dan penat seolah berlomba memasuki setiap kepingan hati.
"Piye kabare? Aku kalang kabut buat hubungi kamu loh Nduk." Dia masih sama, senang sekali menanyakan kabarku. Suaranya pun masih sama terdengar ringan di telinga.
*piye kabare : bagaimana kabarnya
"Alhamdulillah saya baik, Mas. Mas sendiri bagaimana kabarnya?" jawabku.
Hatiku makin tak karuan, kala tak sengaja mataku melewati bola matanya yang tepat sedang memandangiku.
Rasanya aku hidup, tapi seolah semuanya telah mati. Sesak di dadaku, nafasku sudah tidak karuan lagi. Seolah-olah paru-paruku sudah memiliki kaki dan tangan yang berusaha untuk meloncat keluar.
Kupejamkan mata dan menarik nafas lebih dalam, kuhadapi kenyataan hidup manis, pahit semuanya kini harus kutelan sendirian."Kamu sakit Nduk?" Pertanyaannya berhasil membawaku ke alam nyata. Aku menggeleng lemah, memilih sibuk menata laju darahku.
"Perjalanannya lancar?" tanyaku mencoba berbasa-basi. Lida masih belum kembali dari toilet. Baru kali ini waktu yang begitu singkat terasa begitu lama.
Mungkinkah waktu terhenti sejenak, agar dalam kisah ini hanya ada aku dan dia? Ingin rasanya aku meminta kepada semesta agar segera mengeluarkanku dari situasi yang membuatku merasa tidak nyaman ini. Seolah-olah ada sekat yang tak memerlukan batas pandang.
"Lancar, Alhamdulillah ... Besok kalau kamu mau kita bulan madunya di sana saja."
Kemudian dia mengangsurkan ponselnya ke arahku, "mau lihat fotoku waktu di Jabal Rohmah?"
Aku masih menanggapinya dalam kebisuan.
Restoran pinggir danau ini tak seriuh biasanya, sebab dalam diriku jauh lebih berantakan dan lebih kacau mendengar pernyataannya.Bagaimana aku harus mengatakan kejujuran yang akan menghancurkan dirinya dalam sekejap mata. Kalimat seperti apakah yang paling tepat untuk kujelaskan kepadanya.
Lida akhirnya kembali, setelah 10 menit yang membuatku merasa dalam neraka perasaan bersalah.
"Loh kamu belum pesan makanan juga Na? Tau gitu aku pesankan sekalian tadi," ujar Lida.
"Ndak tau ini, dia hari ini terlalu pendiam," tambah Mas Rofif.
"Kamu sakit lagi Na?" tanya Lida khawatir. Aku menggeleng saat Lida mencoba mengukur suhu dengan telapak tangannya. Rasanya aku sudah seharian tidak punya nafsu makan. Jiwa dan ragaku benar-benar tidak baik-baik saja hari ini.
"Tapi wajahmu kui loh, pucet." Lida masih sibuk mengomentari.
Sedangkan pikiranku seperti sedang berlomba menjauhi akhir.
"Kalau ndak sehat mending lain kali saja kita ketemu, kan masih bisa to Nduk." Mas Rofif berusaha menambahi. Angin dari danau berembus menerpa wajahku. Aku merasa hatiku semakin menyusut, dan mataku mulai berkaca-kaca.
"Ada hal penting yang harus saya bicarakan denganmu Mas," kataku akhirnya. Sebuah susunan kalimat yang berhasil menghentikan keriuhan antara Lida dan Mas Rofif.
Kekosongan, kehampaan itu kembali menyeruak dalam alam nyataku, setelah bertahun-tahun aku akhirnya berhasil keluar darinya.
"Kamu kalau ada yang perlu di ceritakan, mbok yo cerita to Nduk. Jangan di pendem sendiri." Dia masih sama seperti saat pertama kami bertemu, selalu tenang.
"La mbuh, Kayna ini gimana to Mas, masa terakhir ketemu juga kayak orang linglung. Kamu kayak ndak punya temen buat bersandar, buat cerita. Kamu nganggep aku apa to Na?" sedangkan Lida masih menyerocos tidak dapat mentolerir keterdiamanku.
*La mbuh : nggak tau nih
***
Ingin rasanya aku memungut detik demi detik yang berharga dan merangkainya sebagai kekuatan baru dalam menghadapi kenyataan hidupku. Sementara gerimis di luar mulai meluruh jatuh, begitupun dengan air mataku yang tak terbendung lagi. Kami hanya saling terisak dalam diam untuk waktu yang cukup lama, setelah kuceritakan semuanya kepada Mas Rofif dan Lida. Baru saja mimpi-mimpi yang kami bangun sekian hari hancur tak terbentuk, aku merasa sedih sekaligus lega telah menyampaikan keputusan ini kepadanya.
Mas Rofif terus meyakinkanku bahwa keputusan ini bukanlah salahku. Bukan kemauanku, mungkin memang sudah menjadi suratan takdir. Bahwa kami memang tidak ditakdirkan bersama.
"Di walimatul urs-mu nanti, saya pasti akan datang. Ijinkan bagi saya membacakan ayat suci Al-quran di pernikahanmu, nanti. Berikan kesempatan untuk saya mendoakan kebahagiaanmu. Ini kesempatan terakhir saya, biarkan ayat yang dulu saya impikan sebagai mahar meminangmu, menjadi ayat yang dapat jadi pilar kebahagiaan dalam rumah tanggamu."
Lalu kami terisak lagi dalam diam, Lida memelukku. Kuyakini bahwa musim-musim akan segera berganti. Seperti halnya dalam kehidupan. Ada hari dimana kita berada dalam senyum, tawa dan tangis. Dalam perjalanan yang panjang kami pernah melahirkan hari-hari paling manis dalam episode-episode yang mampu menghias wajah kebahagiaan. Akan tetapi hidup memang terjadi dan dengan itu lahirlah perpisahan yang telah ditetapkan menjadi jalan takdir yang tak terelakan.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMILIK HATI KAYNA
RomanceKayna Nurayda hanyalah seorang gadis biasa yang terjerat cinta seorang gus dari sebuah pesantren besar di kotanya. Perjalanan cinta selama empat tahun menemui badainya. Ia di jodohkan oleh Abinya dengan orang asing, disaat Kayna sedang berjuang untu...