Part 13. In the Rain

346 17 12
                                    

Jika kelak kudapati ia kembali atau melihatnya di tepian itu lagi
Akan kuanggap ia sekedar ilusi, ada namun tak nyata
Karena ia sudah kutenggelamkan bersama semua rasa yang berserakan
Akan kubangun ia yang baru, kujaga ia agar tetap utuh
dan tak kembali runtuh
(RUNTUH_Sang Mata Pena)

Di hari walimatul 'ursku dengan Mas Alif adalah hari terakhir kali bagiku untuk melihat Mas Rofif. Sejak hari itu aku tidak pernah mencoba mencari tahu tentangnya lagi. Aku bahkan mati-matian melupakan seluruh hidupku tentangnya.

Namun, pertemuanku dengan Bu Nyai Maemunah nyatanya masih meninggalkan benang-benang halus kenangan yang sudah hampir berhasil kuenyahkan.

Ini hari ketigaku setelah pertemuanku dengan Bu Nyai Maemunah, Umiknya Mas Rofif. Butuh berhari-hari bagiku untuk memutuskan bahwa aku harus merombak butik yang sudah ratusan hari menjadi tempatku melabuhkan impian dan harapan yang kubangun sejak muda. Mungkin sekarang adalah waktunya, selama ini aku terlalu banyak menunda keinginan itu.

Mbak Mirna mendekatiku, saat aku sibuk mengawasi para tukang yang sedang menyusun baju-baju jualanku, dan kemudian memasukannya ke dalam beberapa kardus untuk kupindahkan ke gudang sementara waktu.

"Beneran harus di rombak Mbak?" tanya Mbak Mirna.

"Iya... Pengen suasana baru," ujarku memberi alasan klasik.

"Padahal aku dah cocok loh Mbak, kupikir yang bikin beda toko kita dengan yang lain ya adanya ruang baca," Mbak Mirna mengeluarkan pikirannya.

"Iya kah? Coba nanti kita buat cara baru...," aku menanggapi sekenanya.

Karena di kepalaku hanya ada keinginan agar semua kenangan tentangnya musnah. Aku tak ingin menyimpan secuil kenangan tentang dirinya. Aku harus menghilangkannya. Sudah kuputuskan untuk memulai kehidupanku bersama Mas Alif.

"Novel dan buku kesayangan Mbak Kayna mau ikutan di masukin loak Mbak?" Mbak Mirna masih bertanya lagi. Mungkin intruksiku kurang jelas, jadi aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Lah... sayang Mbak, bagus-bagus."
Mbak Mirna masih bersikeras untuk mempertahankan buku-buku itu.

Bagaimana pun aku dulu paling suka dengan novel bersampul biru yang sedang di pegang Mbak Mirna. Di sana ada beberapa catatan kecil yang dibuat Mas Rofif untuk menyemangatiku.

"Nanti saya mau beli lagi Mbak, yang itu dijual aja," jawabku.

"Eman Mbak Na, mubadzir." Mbak Mirna nampaknya masih bersikukuh. Namun keputusanku sudah bulat, tidak boleh ada yang tertinggal tentang Mas Rofif di tempat ini.

"Mbak Mirna, mulai besok sampai waktu pengerjaan butik ini selesai kita kerja dari rumah ya Mbak. Untuk penjualan kita hanya beralih lewat online." Entah mengapa tiba-tiba aku teringat pembicaraanku dengan Mas Alif, mungkin sudah saatnya aku mencoba beralih ke toko online, dan saat ini adalah waktu yang tepat sepertinya.

"Yah... Nanti saya bosen dong Mbak Na, ndak bisa ketemu sama pembeli langsung, anakku juga sering manja kalau sama emaknya."

"Nanti kita terima sistem COD Mbak, tapi Mbak Mirna harus siap buat ketemu pembeli area satu kabupaten ya. Nanti lokasi dicari yang terdekat. Kita harus mulai melirik pasar online. Biar makin ramai, insya Allah," terangku.

Meskipun belum tampak kelegaan yang berarti dari wajah Mbak Mirna, namun lambat laun kuyakin dia akan mengerti. Disini bukan hanya butik ini yang harus di renovasi, namun paling utama adalah hatiku. Aku butuh waktu untuk kemudian menerima seluruh hidupku yang baru.

"Mbak Mirna bisa kerjanya di rumah saya, nanti insya Allah saya ajarin dulu untuk sistem penjualan dengan sosial media, nanti bisa kita pakai instragram, FB, WA dan lewat marketplace juga."

"Ah... Aku ndak paham istilah-istilah itu Mbak."

"Insya Allah nanti paham Mbak, kita sama-sama belajar ya," kataku.

"Tapi saya ndak sendiri to Mbak Na, saya itu orangnya bingungan sama hal-hal yang baru," ujarnya lagi.

"Nanti ada tetangga saya yang kemarin lulus SMA, sudah kutawari untuk ikut bantu kita Mbak. Kemarin ruang belakang sudah saya tata jadi kantor sementara." Setelah mendengar pernyataanku, wajah Mbak Mirna terlihat lega. Jadi kupikir bukan masalah besar untuk mengalihkan bisnisku ke online di waktu terdesak ini. Memang akan selalu ada hikmah untuk setiap keputusan baru. Termasuk karena terpaksa daripada butik tutup selama renovasi, jadi terpikir ide untuk beralih jadi toko online.

***

Aku sedangan berjibaku di dapur kala telponku berdering berkali-kali. Umik memanggilku, mengatakan bahwa telpon itu penting agar kuangkat.

Aku berjalan terburu, mengambil cepat gawai yang masih bertanggar di kabel chargerku.

Nama mas Alif tampak memenuhi kontak penggilanku.

Kutekan tombol berwarna hijau yang menghubungkanku dengannya. Namun, suara asing terdengar dari seberang, mengabarkan bahwa mobil yang ditumpangi Mas ALif kecelakaan di Solo. Sambil bergetar aku terisak, Umik memelukku.

"Kenapa dari sekian banyak orang harus Mas Alif, Mik?" Ucapku lirih terjatuh dipelukan Umik.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang