Part 9. Jejak Sunyi

78 9 0
                                    

Kita, katamu
Bagai dua ilalang liar
Yang tumbuh di hamparan rumput halus
Dimana embun enggan beranjak
Dari selusur daunnya
Walau terik mentari hangat menyengat
(Kita, Katamu_Amril Taufik Gobel)


Hujan yang menggantung di langit, diam-diam menjatuhkan rintiknya. Langit yang semula gelap, seketika berwarna putih. Bagaimana kamu menerjemahkan rintiknya? Hujan sebagai keajaiban yang jatuh dari langit, atau hujan sebagai kesunyian yang turun diam-diam? Hujan memiliki banyak arti.
Seperti sebuah pertemuan dan perpisahan.

Siapa pun pasti terkejut bila berada diposisiku. Aku tidak menyangka dia akan mendatangiku secepat ini. Di tengah cuaca yang cukup buruk di luar sana. Dia berdiri menjulang di balik daun pintu ruang butik kecilku. Mengedar pandangan takjub sebelumnya akhirnya melambaikan tangan menyapaku. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, semua terlalu cepat dan membingungkan.

Lelaki yang masih asing bagiku itu berjalan ke arahku. Mbak Mirna tampak mencoba menerka-nerka saat akhirnya aku mengalah untuk mencium tangannya dan mempersilakan masuk ke ruang berukuran sedang yang kujadikan kantorku.

“Maaf ndak ngabarin dulu.” Dia mengawali kalimatnya.

Aku memandanginya dari atas ke bawah, sudah kutebak dia pasti tidak mengenakan jas hujannya saat menerobos derasnya hujan angin. Antara ingin marah dan khawatir menyatu dalam pikiranku. Kupilihkan stelan hem yang sepertinya cocok dengannya. Dia tampak kacau sekali.

“Ini ganti dulu,” kataku sambil menyerahkan setelan hem itu.
Dia terkekeh menerima uluran tanganku. Aku beranjak menyeduh kopi sachet yang jadi persediaanku dan Mbak Mirna. Mbak Mirna mengekor saat aku sampai di pantry kecil dan buru-buru menginterogasiku.

“Siapa Mbak? Kok saya ndak pernah lihat mampir kesini?”

“Menurut Mbak Mirna siapa?”

“Duh sampeyan ini, ditanya kok malah balik nanya to Mbak Na,” kesal Mbak Mirna.

Aku terkekeh sambil menunggu air panas memenuhi cangkir bergambar beruang.

“Kayaknya setahu saya Mbak Na ndak punya kakak laki-laki kan? Tapi yang buat saya jadi penasaran itu kenapa Mbak Na pakai cium tangan. Bukane yang pake cium-cium tangan itu kalau sama mahromnya ya?” Mbak Mirna tampaknya kekeh untuk menemukan jawaban dariku.

“Mbak Mirna jangan kaget ya, cukup saya aja yang kaget,” jawabku, yang malah bikin Mbak Mirna mengerutkan dahi.

“Loh maksudnya gimana Mbak?” Mbak Mirna mulai menggaruk rambutnya yang tertutup jilbab.

“Tarik nafas, dan jangan teriak,” pintaku, Mbak Mirna mengangguk.

“Dia suamiku Mbak.”

“Ha!! Gimana ceritanya?” teriak Mbak Mirna syok.

Aku hanya mengedikkan bahu dan membiarkan Mbak Mirna merangkai ceritanya sendiri. Saat aku memasuki ruanganku, dia sudah rapi dengan stelan hem dariku. Dia sedang duduk di ruang baca dan mengambil salah satu buku favoritku. Aku berdehem yang membuatnya menoleh.

“Kamu suka novel?” dia bertanya sambil menggoyangkan novel kesayanganku di tangannya.

Aku hanya mengangguk dan mengangsurkan secangkir kopi hangat kepadanya. Dia menerimanya dengan senyum secerah mentari, seperti anak kecil yang menerima hadiah dari ibunya. Jujur aku belum tau seperti apa dirinya, ini terlalu cepat. Sedangkan terakhir kali kami bertemu, aku hanya bisa menangis tanpa memberikan kesempatan baginya untuk berbicara panjang.

“Suka,” jawabku akhirnya.

“Wah lain kali kalau saya datang, saya bawakan novel terbaru ya,” begitu katanya.

“Njih,” jawabku singkat, bukan karena tidak tertarik dengan tawaran itu namun rasanya masih asing untuk bersikap ramah dengannya.

“Maaf ya, nyatanya saya belum benar-benar mengenalmu,” lanjutnya ambigu. Dia menyeruput kopi buatanku hati-hati.

“Mas… Bagaimana bisa sampai ke sini?” tanyaku akhirnya.

“Abah bilang kalau mau ketemu kamu suruh ke sini.”

“Jenengan dari rumah?” tanyaku, karena menurutku dengan umurnya saat ini seharusnya dia bisa memilih memakai jas hujannya. Bukan malah nekat hujan-hujanan seperti tadi.

“Tidak,” jawabnya enteng, seolah tidak ada beban yang harus di pertanggung jawabkan di hadapanku. Aku menghela napas kesal.

“Terus?” Aku belum berhenti menginterograsi. Dia terkekeh lirih, sebelum akhirnya memilih jawaban yang malah membuatku cemberut.

“Apakah seperti ini caramu berkenalan dengan suamimu, Nduk?”

Seketika aku terdiam, rasa marah, khawatir dan semua perasaan yang awalnya kutujukan padanya tiba-tiba pecah berkeping-keping. Ingatanku seolah berlari ke belahan bumi lain, dimana ada seseorang yang mungkin akan kecewa berkali lipat saat tahu faktanya.

Hacthimm!!

Suara bersinnya mengembalikanku ke dunia nyata.

“Maaf ya, malah membawa virus,” kekehnya. Satu hal yang baru kutahu tentangnya, dia adalah orang yang selalu meminta maaf dan senang sekali tertawa.

****

Senja masih menawarkan wangi petrikor sisa hujan seharian, dimana gerimis baru saja mereda. Rupanya mendung masih setia memoles warna langit. Dia masih bersikukuh menungguku pulang.

Meskipun begitu, aku lebih banyak menyibukkan diri melayani para pembeli yang datang. Sedangkan dia memilih membenamkan dirinya di ruang baca. Mbak Mirna baru pamit lima menit yang lalu. Aku kembali menemuinya yang mengajakku sholat Ashar bersama.

Setelah kami usai sholat Ashar, kutunggu dirinya yang masih khusyuk wirid dengan membereskan peralatan kerjaku, dan menyusun ke tempatnya.

“Sudah lama ngelola butik ini?” Aku tersentak mendengar suaranya yang memang memiliki nada serak-serak basah. Dia berdiri di sampingku, ikut membantuku membereskan ruang kerjaku.

“Njih, sejak selesai kuliah,” jawabku.

“Wah sudah cukup lama ya, dikelola sendiri saja?” tanyanya lagi.

“Njih, karena ini adalah mimpi saya,” jawabku sambil menoleh ke arahnya. Dia mengangguk-angguk mencoba mengertiku.

“Ndak coba buka toko online?” tanyanya kembali, aku menghentikan kegiatanku.

“Belum kepikiran sih, tetapi siapa tahu dapat di coba nanti,” jawabku.

“Saya punya kenalan yang sudah sukses di bisnis online, siapa tahu kapan-kapan bisa bertemu.” Dia rupanya jenis orang yang mudah mengimbangi jalan pikiranku, atau aku saja yang memang selama ini masih menutup pintu untuk setiap pembicaraan tentangnya.

“Dulu waktu saya pertama kali ketemu kamu, kita masih sangat kecil. Jadi terlalu banyak yang terlewat dari ceritamu.” Dia berbicara seolah kepada dirinya sendiri.

“Pasti sudah lupa to? Atau malah tidak pernah terkenang.” Dalam sekian detik aku menatapnya mencari jawaban.

Sejak kapan dia mengenaliku? Atau aku saja yang tidak pernah perduli akan kehadirannya selama ini.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Lain kali kita akan bicarakan ini. Sudah sore, mari pulang.”

Dia benar-benar tidak memberiku jawaban yang memuaskan, hingga akhirnya kami berpisah di depan butikku, meninggalkan diriku dengan ribuan tanya yang terasa begitu membebani.

***

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang