Part 3. A Moment to Remember

157 10 2
                                    

Dia terbalut sunyi
bait lentera menyair kasih
daun jatuh tanpa tiupan nada
debu tak memaknai daki
tatkala tayamum menyimpan bersit zaman
Sastrowidjojo_Dia 1


Aku masih sibuk di belakang laptopku, melakukan pembukuan penjualan mingguan dari butik kecilku. Melakukan penghitungan catatan usaha untuk memisahkan antara modal dan keuntungan. Saat yang bersamaan gawaiku beberapa kali bergetar di atas nakas, tanda ada panggilan masuk yang belum sempat kulihat.

Matahari di luar cukup terik, sedangkan ruangan minimalis ini masih cukup baik memberikan udara segar. Mungkin karena beberapa tanaman sengaja kuletakkan sebagai penyaring udara. Atau mungkin karena tatanan ruangan ini sudah cukup memberikan asupan oksigen dengan baik.

Gawaiku kembali bergetar, akhirnya kuputuskan menengok panggilan yang berbunyi beberapa kali itu.

Astagfirullah!” Aku terkejut menatap nama Umik tertera dalam layar pipih di tanganku. Buru-buru kulakukan panggilan balik.

Waalaikum salam, Mik. Maaf tadi ndak jawab telepon Umik. Ada apa Mik? Kayna masih di toko….”

“Nanti kalau pulang Umik nitip belanja bahan-bahan dapur ya. Minggu depan kita akan kedatangan tamu agung.”

“Oh njih Mik, daftar belanjanya di kirim saja lewat pesan njih, Mik. Mau ada tamu agung sinten to Mik?”

*tamu agung : tamu besar/terhormat

Wis ndak usah nanya dulu, biar surprise. Kamu rampungkan dulu kerjaanmu, tapi kalau bisa pulangnya agak cepet ya Nduk.”

*Wis Ndak : sudah gak usah

Njih Mik,” jawabku sebelum Umik mengakhiri panggilannya.

*Njih : iya (bahasa halus)

Tamu agung, hanya dengan dua kata itu berhasil membuatku merasa tidak nyaman. Rentetan pertanyaan pun datang silih berganti, mencoba menerka-nerka dari hal yang dapat di jawab hingga yang sama sekali tidak masuk akal.

Aku beranjak dari tempat dudukku saat kulihat ada yang datang. Aku menyambutnya, kedua pasangan muda itu menghampiriku.

Nuwun sewu Mbak, mau lihat-lihat gamisnya siapa tau ada yang cocok,” kata si perempuan yang nampaknya sebaya denganku.

*nuwun sewu : permisi

Oh njih monggo... Kalau ada yang bisa saya bantu, silakan panggil saya saja njih….”

*oh njih monggo : iya silahkan

Hari ini aku datang sendirian, Mbak Mirna yang biasanya bantu jaga kasir, sedang ijin karena anaknya sakit.
Sepeninggal pasangan muda itu, aku mengedar pandangan menyapu ruangan kecil yang memiliki konsep minimalis modern yang di dominasi kayu-kayuan.

Aku merintis butik ini bukan tanpa sebab, semua memiliki sentuhan kenangan yang kuat.

Aku adalah seseorang yang suka mencoba hal-hal baru. Lida juga sering mengatakan padaku kalau aku ini terlalu berani mengambil setiap keputusan tanpa memikirkan resikonya.

Waktu itu aku masih kuliah semester ganjil pada tahun ke duaku di kampus. Salah seorang kenalan menawariku untuk jadi reseller jilbab. Aku menerimanya tanpa pikir panjang. Kupikir merintis usaha akan sesimple itu. Nyatanya semuanya tidak mudah pada awalnya.

Aku menawarkan jilbab jualanku dari satu tangan ke tangan lainnya.

“Pilih-pilih dulu siapa tau ada yang cocok.” Aku coba menawarkan kepada setiap teman yang kutemui.

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang