Part 8. BUNGA KERTAS

108 8 2
                                    


Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.
Sapardi Djoko Damono_Hatiku Selembar Daun

Rasanya sudah lama aku tidak pernah merasa sekacau ini. Pekerjaan yang seharusnya menyenangkan kini terasa berat dan terbebani. Aku sadar bahwa tidak seharusnya membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaanku.

Hari ini butik cukup ramai, Mbak Mirna masih sibuk di bagian kasir. Sedangkan aku memilih bersembunyi di ruang kecil yang kujadikan kantorku.

Memang benar layaknya malam di musim kemarau, kenyataan hidup itu terasa dingin. Namun entah mengapa aku sungguh tak mampu untuk beranjak darinya. Berusaha sekuat tenaga meyakinkan diri, bahwa semua yang kulalui ini hanyalah sebuah proses. Segala bentuk manis dan pahit akan kutelan sendirian.

Aku pikir dengan menyibukkan diriku dengan pekerjaan, lebih dapat untuk menerima takdir hidupku. Ternyata tidak juga. Malah rasanya dua kali lipat, perasaan rindu yang tak dapat lagi kujamah, sedangkan perih memeluk segala bentuk ketiadaan.

Kini, aku merasa setiap laju kehidupanku sepertinya tidak mendapat restu dari Yang Maha Kuasa. Berkali-kali kuyakinkan diriku, bahwa harapan-harapan itu masih ada. Aku hanya sedang  berusaha menghindar untuk melangkah maju, mengobati segala kekecewaan  serta menerima setiap kenyataan dalam hidupku. Akan tetapi sepertinya Sang Maha Perencana hanya sedang menundanya.

Aku akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi sahabatku-Lida.

“Wah... wah… tumbenan den ayu minta ketemu. Sudah sehat rupanya?” goda Lida tak tahan.

“Alhamdulillah, Da… Kamu hari ini ada waktu yang kosong ndak?” lanjutku sambil men-shut down laptopku di atas meja.

“Jam tujuh kalau mau sih? Tapi kamu beneran sehat Na?” Lida bertanya soal kesehatanku.

“Kalau memang masih kurang enak badan jangan di paksakan, lewat telepon kan masih bisa Na.” Lida masih mencoba tawar menawar.

“Tetap saja beda rasanya, Da. Aku sudah kangen sama kamu. Pokoknya harus ketemu, untuk tempatnya nanti aku share lokasi ya,” yakinku. Lida memilih mengalah dan mengiyakan ajakanku.

***

Semalam suntuk mataku tidak berhasil terpejam, pikiranku berlarian pada kenangan dan harapan yang telah hancur berkeping-keping. Rupanya, aku bukanlah perencana yang baik. Selama ini aku terlalu keras mendayung perahu, namun malah karam dihantam ombak.

Kenyataannya kita benar-benar rapuh dalam ketidakberdayaan.
Aku masih percaya bahwa sebenarnya aku sedang melangkah perlahan, seperti sedang mencoba berenang ke permukaan. Tinggal hitungan hari atas kepulangan Mas Rofif ke Indonesia, di hari itu pula aku harus mempersiapkan diri untuk mengikrarkan perpisahanku sendiri. Mas Rofif semakin sulit di hubungi, itulah mengapa aku memutuskan menemui Lida.

“Wah.. sudah sehat to rupanya?” suara Lida berhasil mengintrupsiku. Aku menghampirinya yang sudah memesan kopi, dan duduk di tepi jendela. Suara gemericik air hujan, yang luruh di pertengahan bulan Agustus, di tambah alunan musik melankolis rasanya begitu mendukung untuk pembicaraanku kali ini.

“Kamu pengennya aku sakit terus?” jawabku akhirnya.

“Yo ndak gitu, Na. Sensitif amat Na?” Lida menyambung kalimatku dengan gurauan yang sama.

“Tumbenan pengen ketemu?” Lida mulai bertanya.

“Mas Rofif-” Lida memotong kalimatku yang belum selesai.

“Sudah kuduga! Pasti mau nanyain masku to kamu?” Aku hanya mengangguk tanpa perlu membuat penjelasan.

“Selalu begitu,” ujarnya sambil menyeruput kopinya yang masih mengepul. Udara malam ditambah gemericik air hujan yang tumpah dari atap langit menambah dingin suasana hatiku.

“Terakhir kali waktu kamu sakit, Na… Mas Rofif menghubungiku. Dia bilang bakal gak aktifin nomornya, karena bakal masuk ke Mekkah-Madinnah dia bakal ganti nomor, katanya.”

“Untuk?” tanyaku.

“Hissh… mosok kamu belum tau to Na! Mas Rofif bilang kalok studinya di universitas Al Ahgaff sudah rampung. Nah daripada langsung pulang, dia mau ziarah dan sekalian dilanjut umroh katanya.”

Aku menghela nafas lega mendengar penuturan Lida. Setidaknya selama ini dia masih baik-baik saja.

“Masku bilang mau wisata religi ke masjid-masjid bersejarah di Tarim, seperti ke masjid Segaf, masjid Alaydrus, Masjid Ba’lawi, masjid Muhdlor dan yang lainnya. Terus mau dilanjut ke makam-makam para aulia,” jelas Lida lagi.

“Kok diem Na? Ndak nanya tujuannya perjalanan Mas Rofif kali ini untuk apa?” Lida menyenggol lenganku, menggodaku. Aku hanya menanggapinya dengan menggelengkan kepala.

“Hissh…, kamu ini. Ndak tau gimana Masku galau karena terlalu lama nunggu jawaban dari kamu. Katanya dengan ziarah biar hatinya bersih, jiwanya tenang. Biar bisa nemu jawaban terbaik dari Allah buat kalian. Kalau nunggu kamu jawab, sampek masku ubanan juga kamu masih banyak ragunya, Na.” Lida terkekeh menjelaskan. Sedangkan aku sibuk menata laju darahku, kutatap langit malam yang gelap sembari menyeruput kopiku yang mulai dingin dalam diam.

“Masku bilang dia mau ke Jabal Rahmah, dan berdoa disana. Dia yakin Na, kalau memang kalian ditakdirkan untuk bertemu dan bersama setelah sekian lama terpisah seperti Kanjeng Nabi Adam dan Bunda Hawa, maka sejauh-jauhnya jarak akan selalu disatukan Na. Romantis to kamasku, hehe.” Lida masih bersemangat dalam menerangkan kisah perjalanan religi Mas Rofif.

Lain dengan diriku yang hanya diam membeku, kuperlakukan hatiku yang hancur ini seperti luka yang membekas di kulitku. Bahwa semakin aku terbiasa dengan sakitnya maka aku akan semakin kebal.

Bagaimana menjelaskan kepada Lida, bahwa sesungguhnya takdir telah melaju menuju akhir yang tak lagi dapat dinyatakan dalam kata-kata. Mungkin memang benar, aku bukanlah seorang perencana yang baik. Seluruh kalimat yang kususun dalam perjalanan menemui Lida, tidak mampu kusampaikan sepatah kata pun. Hingga akhirnya malam membawa kami kembali berpisah, bersamaku yang tenggelam dalam ketidakmampuan untuk menyampaikan kenyataan.

****

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang