Part 2. Pertemuan Ke Dua

287 11 0
                                    

PERTEMUAN PERTAMA YANG KEDUA

Semoga doaku di wajah malam ini
masih terselip engkau
yang terlantun karena sekeping mimpi
Al Ukhuwah Wal Ishlah_Doa Malam


Pernahkah kamu melihat hujan sebagai sesuatu yang hangat? Seolah setiap tariannya mampu membawa kita pada setiap ritme kehidupan paling membahagian.

Bulan Juni menjadi saksi bahwa akhir dari waktu yang telah lewat dan hari baru yang akan terjadi. Sebuah bulan yang berdiri kokoh diantara kenangan dan harapan.

Meski berkali-kali aku mencoba melupakan kenangan, mencoba menghentikan harapan yang bertumbuh semakin liar dalam benakku.

Nyatanya kenangan manis tidak mudah hilang dari ingatan kita. Sungging senyumnya yang semanis madu, sungguh telah lama mendiami hatiku. Dia adalah nama yang selalu kuteriakkan dalam doa pada malam-malam panjangku.

Aku sungguh lupa bagaimana detail pertemuan pertama kami. Sebuah pertemuan yang benar-benar berhasil membawaku dalam sebuah kisah dalam fantasi masa mudaku.

Kuhela nafasku sejenak, kulayangkan kembali ingatanku pada memori kala itu. Kutelusuri semuanya di sini, satu-satu.

Siapa yang pernah menyangka akan suratan takdir seromantis itu?

Dipertemukan di bawah atap langit yang sama dengan seseorang yang selalu tinggal dalam doa-doa kita.

Lida menyeretku ke kampus yang sama dengannya. Dimana akhirnya sebuah pertemuan pertama akhirnya benar-benar berhasil terjadi. Siang itu adalah akhir bulan Maret. Cuaca cukup terik setelah sekian hari di guyur hujan badai.

Lida memaksaku untuk ikut serta menjadi bagian dari sebuah kompetisi pidato yang di adakan oleh BEM kampus kami. Dengan sungguh terpaksa, aku akhirnya mengikutinya. Berbekal teks yang berhasil kuhapalkan semalaman, tak kusangka aku berhasil meraih posisi ke tiga dalam kompetisi itu.

Lida menepuk pundakku dengan senyum secerah mentari mendengar hasil pengumuman dari panitia lomba.

"Bener kan, apa kataku... kalau ndak ikutan kamu rugi loh...," begitu kata Lida.

"Yo... kali ini kamu bener. Nanti kalau dapat pesangon, aku kasih buat kamu...," jawabku tak kalah riang.

"Beneran loh...," jawab Lida menggodaku.

Tak lama kemudian datang seorang laki-laki yang tadi duduk di bangku juri menghampiri kami. Lida kemudian melambai.

"Ini loh masku, Rofif Afrian Maulana. Si santri kesayangan Yai As'ari, yang pernah bikin sahabatku tercinta ini terpesona waktu ngaji subuh waktu itu...."

"Huss..! Ngawur kamu. Ndak usah di dengerin kalau Lida yang ngomong." Beruntung dia menghentikan cerocos Lida yang juga berhasil membuatku malu. Aku hanya tersenyum kikuk di hadapannya.

*Ndak : tidak

"Namamu sapa Nduk? Lupa tadi...," tanyanya kepadaku.

*Nduk : secara harfiah berarti "Nak" tapi dapat juga bermakna "dek"

"Kayna Salsabil Nuraida, Mas," jawabku pendek.

"Wah namamu indah, seorang perempuan yang cerdas, betul to artinya?"

*to : kan

"Injih, kok Mas bisa tau?"

*injih : iya (bahasa halus)

"Loh masku ini kan ahli bahasa Arab. Dulu waktu MA dia juga nyabet juara debat bahasa Arab tingkat nasional loh...," jelas Lida.

"Uwis.. uwis.. ga usah ngarang sik tidak-tidak. Ndak usah percaya sama Lida, nanti musyrik."

*uwis-uwis : sudah-sudah

"Duh sarkas sampeyan Mas, sama adik sendiri," sahut Lida sambil bersungut-sungut.

*sampeyan : sebutan kamu (untuk teman/sebaya) sedangakan kalau yg lebih hormat/tua (panjenengan)

Aku hanya tertawa melihat tingkah keduanya. Juga aku lupa bagaimana rupa perasaan yang tiba-tiba berbunga tanpa tau apa sebabnya.

"Public Speaking-mu bagus Nduk, sayang sekali kalau ndak dikembangkan," begitu katanya.

"Bener to Mas? Aku juga setuju kalo soal itu." Lida menambahkan.

"Saya masih belum cukup percaya diri Mas... Ini juga karena di paksa sama Lida."

"Bagus itu... Lida emang sukanya maksa!" sahutnya.

"Tapi model paksaanku bagus to?" Lida mencoba membela diri.

"Kali ini aku setuju sama kamu, Da. Oh iya, Nduk sering latihan lah... Sayang banget kalau udah ada bakat malah ndak langsung di kembangkan. Jangan kayak adekku sik paling bawel ini, bakatnya cuma bikin orang pusing."

"Kae to, Mas Rofif emang ndak bisa di kasih hati, sukanya bikin orang jadi emosi."

*kae to : Nah kan

"Nduk hati-hati jangan dekat-dekat Lida, takut di gigit...." Mas Rofif masih setia menggoda Lida.

Sedangkan sudah berapa kali benakku bertanya pada sematan 'Nduk' yang tiba-tiba dia berikan kepadaku. Rasanya asing, tetapi entah mengapa terdengar menyenangkan. Mungkin karena aku anak satu-satunya, jadi selama ini hanya kedua orang tuaku yang memanggilku dengan sebutan "Nduk". Sedangkan orang-orang di sekitarku biasa memanggilku dengan sebutan "Mbak" sejak kecil.

"Wis ... Mas Rofif, rugi aku ketemu sampeyan. Kayna ini temenku dari jaman baheula. Jadi sampeyan ini yang suka ngarang-ngarang, nyuruh-nyuruh sohib sejatiku buat ninggalne aku ... Huss ... huss ... sampeyan sana yang pergi."

*sampeyan : penyebutan kamu dengan bahasa yg lebih halus.

Sekali lagi aku tertawa melihat tingkah keduanya. Entah mengapa baru kali ini rasanya aku bertemu dengan seseorang untuk pertama kali, namun rasanya sudah seperti kenal lama. Apakah wajar perasaan seperti itu? Ataukah aku saja yang terlalu berlebihan dalam menanggapinya.

*****

Holllahhh..

Ini part 2 nya ya

Yang kemarin salah
Harusnya part 3

PEMILIK HATI KAYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang