Beratnya Pikir

562 82 7
                                    

Sedari tadi laki laki dua puluh tiga tahun itu hanya duduk melamun di atas kursi meja belajarnya dengan tatapan kosong ke arah jendela didepannya. Ucapan kakak kandung sang kekasih beberapa hari yang lalu mampu membebani kepalanya beberapa hari belakangan ini.

" Come on, Zee. Segera ambil keputusan itu dan biarin adik saya hidup tanpa kamu"

Hanya susunan empat belas kata mampu menganggu semua kegiatan tiga hari belakangan ini. Hanya dengan empat belas kata tidur malamnya tak nyenyak, pola makan terganggu, konsentrasinya terbagi. Hanya dengan empat belas kata itu tujuh puluh dua jamnya hanya ia gunakan untuk duduk di meja belajarnya dengan lamunan yang tak kunjung selesai. Empat belas kata itu lebih menusuk hatinya daripada gertakan gertakan yang sang ayah berikan padanya tempo hari. Nada yang kakak kekasihnya itu lantunkan dalam empat belas kata itu terdengar memelan dari hati, suara memelan dan penuh harap itu berhasil menyayat hati kecilnya disana.

Hahh. Helaan nafas Arkenzee keluarkan entah untuk berapa kali setelah ia dudukan dirinya pada kursi belajarnya itu. Baru ia rebahkan kepalanya dimeja belajarnya, notifikasi dari telepon genggamnya membuat aktivitas yang ia lakukan terhenti.

engga mau tau lo hari ini harus latihan dan ikut manggung

tiga hari lo engga ikut, bangkrut kita bray bray

iya

Hanya itu yang bisa ia ketikan di telepon genggamnya, hanya itu yang sanggup ia balas disana. Tiga hari tak mengikuti latihan dan jadwal manggungnya, Zee tak permasalahkan jika Aldo memarahinya nanti, sebab ini salahnya.

Pintu kamarnya terbuka perlahan disana, sang ibu membawa satu piring makanan di tangannya dan Zee bisa tebak jika wanita yang melahirkannya itu akan menghampirinya disini.

" Ayo makan, kamu dari kemarin sore engga makan"

Dugaan Zee benar, sang ibu menghampirinya dan menyuruhnya untuk memakan makanan yang sudah wanita yang berdiri disampingnya ini bawakan untuknya," Suapin ya, bun? Habis ini zee mau latihan soalnya"

Tentu Anin mengangguk disana, mengambil kursi lainnya yang ada dikamar anak sulungnya itu untuk ia gunakan duduk didekat laki laki dua puluh tiga tahun itu," Bunda tau kok kalau abang lagi banyak pikiran, tapi engga boleh sampai engga makan ya bang, nanti kalau sakit gimana?"

Suapan demi suapan Arkenzee terima disana, ia tatap sang ibu dengan mulutnya yang masih penuh disana," Bunda tau abang banyak pikiran?"

" Kalau engga ada yang dipikirin, engga mungkin tiga hari abang engga ikut manggung engga ikut latihan"

" Tiga hari yang lalu abang ketemu sama cicinya Christy" mulai Zee disana

Anin tatap anak sulungnya itu penuh perhatian disana, ia dengarkan semua cerita sang anak dengan seksama.

" Cicinya minta buat abang segera udahin hubungan ini dan biarin Christy hidup tanpa abang. Cicinya ngomong gitu dengan nada yang bener bener lirih, cicinya ngomong dengan nada yang kayak pasrah. Abang salah ya bun udah bikin hubungan kakak adek itu rusak?" jelasnya pada sang ibu

Anin usap kepala sang anak lirih disana, ia tatap sang anak dengan senyuman simpul, memberi ketenangan disana," Hubungan abang ini kalau semakin berlanjut bakal mengecewakan banyak pihak, engga cuma ayah sama bunda aja, tapi orangtuanya Christy, cicinya, atau mungkin semua sanak saudara abang ataupun Christy juga bakal kecewa"

DI ANTARA KEBIMBANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang