Ada banyak sesuatu yang mengharuskan ia pulang, pergi dari sahabatnya yang sedari pagi bersama untuk bertemu kembali dengan anggota keluarga yang mungkin akhir akhir ini intensitas bertemu berkurang dari hari hari sebelumnya. Christy merasa lebih baik jika bersama dua sahabat anehnya itu daripada harus disini, dirumahnya sendiri.
Dalam perjalanannya pulang ini ia sudah membayangkan bagaimana buruknya ia didalam kamarnya nanti seperti hari hari sebelumnya, memeluk kesunyian itu sendirian dengan angannya yang masih terbang dengan kenangan sosok pria dua puluh tiga tahun itu. Setir yang ia kemudi sedari tadi ia belokkan untuk memenuhi carport rumahnya ini, kendaraan yang baru saja ia parkir dengan rapi ini baru ia sentuh kembali setelah berakhirnya hubungan ia dengan pria dua tahun diatasnya itu.
Ia bawa totebag berwarna cream miliknya itu di bahunya dengan tas laptop yang ia bawa didepan dadanya. Langkahnya lunglai membawa tubuhnya untuk mulai masuk dalam rumah kediamannya ini.
Sambutan dari sang Ibu napaknya berhasil ia dapatkan malam ini, Aya menunggu sang bungsu dalam kesunyian kediamannya ini didepan televisi yang hanya formalitas untuk menemani rasa kantuknya disana." Lagi sibuk banget ya di kampus? Dari kemarin kemarin pulang malem terus adek."
Sang bungsu yang baru saja ingin menginjakkan kakinya untuk menaiki satu persatu anak tangga dirumahnya ini menoleh, memperhatikan ia yang masih duduk didepan televisi dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan itu." Maaf ya mi, adek lagi hectic dikampus, mau uas." jawab sang bungsu disana
Langkah sang bungsu nampak gontai menaiki satu persatu anak tangga dirumahnya ini, meninggalkan ia sendirian disana. Tak ada rengkuhan yang ia dapatkan sepulangnya bungsu dari luar seperti tempo hari yang lalu, tak ada untaian kata manja yang sang bungsu tuturkan semenjak hampir sembilan hari yang lalu, tak ada ajakan untuk menemani sang bungsu makan atau sekedar menonton film di kamar anak bungsunya itu, Aya sedikit heran dengan perubahan anak bungsunya ini. Apa, apa yang sebenarnya dirasakan oleh anaknya ini? Mengapa perubahan itu terlalu cepat dan ketara disini? Apa yang ia perbuat pada anak bungsunya yang tak ia sengaja? Apa yang berubah dari kehangatan rumah ini sehingga sang anak enggan untuk segera pulang kesini?.
" Tadi aku denger mobil adek, udah pulang ya dia?"
Aya menoleh kebelakang, melihat sang suami yang baru saja membersihkan badan sehabis pulang dari bekerja dan mulai duduk disampingnya ini," Kita ada salah sama adek ya, mas? Atau aku ada salah yang engga sengaja ke dia ya?"
Putra mengernyit, ia tak tau apa yang dipikirkan sang istri sehingga bisa melontarkan pertanyaan seperti ini," Kenapa tiba tiba tanya gitu? Adek kenapa emangnya? Marah ke kamu?"
" Kamu sadar engga kalau hampir tiap hari dia pulang malem terus, ya oke kalau tugas atau apa, tapi itu tiap hari loh, kayak engga wajar aja. Terus dia kalau pulang engga peluk aku lagi, engga manja manja ke aku lagi, engga minta buat disuapin makan, engga minta buat ditemenin tidur. Adek juga beberapa hari ini engga ikut sarapan kan, mas? Engga minta dibikinin bekal lagi. Aku takut kalau aku engga sengaja bikin adek kecewa atau marah, gimana, mas?" Jelas Aya pada suaminya disana
Putra bawa pergelangan sang istri pada genggaman tangannya, memberikan ketenangan seolah hal ini akan baik baik saja disana," Mau ngobrol sekarang? Kita tanya adek." ajaknya
" Cape engga ya adek, takut kalau udah mau istirahat."
Putra menggeleng dengan tubuhnya ia ajak untuk beranjak dari duduknya," Engga bakal, masak diajak ngobrol sebentar engga mau?"
Sosok Ayah dan Ibu dari Christy ini memutuskan untuk benar-benar beranjak dari sana untuk pergi ke lantai dua dirumah ini dimana tempat kamar sang anak bungsu berada.
Ketukan Putra dengungkan disana lirih, dengan panggilan yang ia lontarkan juga. Tiga kali ketukan yang ia lontarkan itu tak bertujuan, ia mulai berpikir apakah benar sang anak bungsunya ini sudah beristirahat. Sebelum ia layangkan lagi ketukan untuk keempat kalinya, pintu dengan warna coklat tua didepannya ini terbuka perlahan, menampilkan perempuan dua puluh satu tahun itu lebih segar, ia yakin sang anak selesai membersihkan diri.
" Maaf pi tadi adek habis mandi, engga denger kalau diketuk pintunya." jelasnya, " Ada apa pi, mi?" tanyanya kembali
" Adek engga mau peluk mami ya sekarang, mami kangen loh" Putra bersuara disana
Yang ditanyai hanya diam, memilin ujung bajunya tanpa suara.
Pertanyaan itu agaknya susah untuk ia jawab, atau bahkan tak ada jawabannya. Ia pun tak tau mengapa setelah hubungannya dengan Arkenzee ini ia menjadi lebih malas untuk berkomunikasi dengan anggota keluarganya, ia tak tau mengapa hal ini terjadi.
" Adek kan lagi sibuk, pulang malem terus. Kalau minta minta ke mami, mami pasti udah capek, mami kan juga harus istirahat." Susunan kata yang mampu Christy rangkai disana
" Mami engga akan capek, mami malah sedih kalau adek engga minta ke mami." sendu Aya disana
Christy menghela nafasnya lirih," Maaf ya mi, besok besok adek minta ke mami. Ada lagi engga yang mau diobrolin? Adek mau belajar lagi."
Baru saja ia dan suami akan menjumpai titik terang disini, namun sekat tinggi itu dibangun lagi oleh sang bungsu disana. Entah apa yang dirasakan anak bungsunya ini sekarang, mengapa ia terasa jauh sekali sekarang ini.
Pintu berwarna coklat tua itu kembali tertutup sebelum dua orang didepannya ini beranjak dari sana, sang anak menutupnya tanpa ada sapaan selamat malam untuknya dan sang suami disana. Hatinya sedikit menjerit untuk mendobrak pintu didepannya ini dan segera memeluk seseorang dibalik pintu itu dengan erat, ia akan memeluknya dengan lama dan tak mau melepasnya. Hal itu nampaknya hanya sekedar angan angannya saja, sang bungsu membangun tembok besar nan tinggi untuknya disana.
Sosok dibalik pintu coklat tadi meluruh kebawah dibelakang pintu, menekuk lututnya dengan isakan tangis yang entah mengapa memaksa untuk dikeluarkan. Ia sendiri tak tau mengapa bisa sejauh ini dengan sang ibu, ia sendiri tak tau mengapa ia seperti membangun temboh tinggi disana, apa salah sang ibu disana baginya? Mengapa ia membangun tembok tinggi itu jika sang ibu tak bersalah apapun disana?
" Gue kenapa sih sebenernya? Mami engga salah, mami engga ngapa ngapain, kenapa gue bisa semarah ini ke mami?" Monolognya sendiri disana
Kepalanya ia benturkan dengan sedikit keras ke arah pintu dibelakangnya berulang kali," Come on, Chris. Mami lo engga salah, engga boleh kayak gini." Ucapnya dengan benturan kepala yang masih ia lakukan disana." Come on, lo harusnya marah ke cici lo, bukan mami. Come on, Christ"
" Engga boleh gini lagi, engga boleh jauh sama mami"
" Engga boleh gini lagi, engga boleh marah ke mami"
Rapalnya pada deretan kalimat yang entah sudah berapa kali ia dengungkan disana.
" ARKENZEE BAJINGANN! GUE BISA GILA KALAU GINII. AYO BALIK LAGI AJA ZEE! GUE GILA KALAU KAYAK GINI."
Teriaknya dengan sekuat tenaga yang tersisa di tubuhnya. Kepalanya semakin ia benturkan dengan keras ke arah tembok disampingnya. Suara teriakan yang ia dengungkan tadi melirih sejalan dengan darah segar yang dengan beraninya keluar dari kepalanya. Suara teriakan namanya terdengar samar ditelinga Christy, suara panggilan panggilan dari orangtuanya semakin menghilang dari radar pendengarannya. Mata mengerjap beberapa kali tatkala tubuhnya mulai dibopong entah oleh siapa disana. Tubuhnya dibawa ke mobil dengan suara kegelisahan yang masih sedikit ia bisa dengar disana. Suara sang ibu yang memanggil namanya dengan lirih menjadi suara terakhir yang bisa ia dengar sebelum matanya tak bisa lagi ia ajak untuk bekerjasama saat ini. Angelina Christy dalam keadaan tidak baik baik saja malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI ANTARA KEBIMBANGAN
Teen Fiction" Should we fight, or let it go? Or watch this love fade and flow, Ngel?"