Hampir tiga hari ini ia dan sang istri juga anak sulungnya itu menemani putri bungsunya di rumahsakit terdekat dari kediamannya, menemani sang putri yang sempat membuat ia dan sang istri panik bukan kepalang pada malam itu. Hari ini, sang bungsu sudah diperkenankan untuk pulang, kembali ke rumah setelah dua hari bermalam disana.
Pras masukkan beberapa baju yang telah di lipat oleh Aya—–sang istri beberapa saat yang lalu sebelum sang istri membantu anak bungsunya itu untuk membersihkan diri disana. Satu tas yang berisi pakaian kotor itu telah Pras rapikan disana, ia beralih pada putri sulungnya yang masih sibuk juga dengan beberapa parcel buah yang dibawakan oleh teman teman sang anak yang menjenguk.
" Bisa engga, ci? Mau papi bantu?"
Gracia tersenyum simpul disana," Engga usah, pi. Ini udah mau selesai kok, lumayan banyak juga ya buah dari temennya adek."
Pras tertawa kecil dengan mengusap surai atas sang anak sulung disana. Tubuhnya ia bawa untuk duduk disamping sang anak di dinginnya ubin kamar inap ini," Balik lagi nya minggu depan sekalian mau wisuda atau gimana, nak?" tanya Pras disana
" Minggu depan aja, Pi. Engga ngapa ngapain juga habis ini, mending dirumah aja."
" Udah ngobrol sama adek?" tanya Pras
Gelengan kepala Gracia tunjukkan pada sang ayah disana," Adek kayak belum mau ngobrol sama aku, mungkin dirumah nanti cici coba lagi buat ajak ngobrol."
Sang ayah mengangguk," Coba dibicarain baik baik lagi, engga sayang apa kalau engga bisa baikan? Kakak adek engga boleh berantem."
Gracia mengangguk paham, tangannya kembali ia gunakan untuk mengemasi beberapa parcel buah yang sempat terhenti sejenak karena sang ayah mengajaknya berbicara tadi.
Suara pintu kamar mandi di dalam kamar inap sang bungsu itu terbuka perlahan, seorang anak dan ibu terlihat mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar mandi disana. Sang ibu memegangi kedua bahu sang anak bungsu, berjaga jaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan lagi.
" Udah semua, Pi? Kita pulang sekarang?" tanya Aya setelah ia bantu sang anak untuk duduk di sofa ruangan ini
Pras mengangguk dengan membawa tubuhnya itu untuk berdiri," Udah, boleh langsung pulang kok. Adek pakai kursi roda ya ke mobilnya?"
Yang ditanyai hanya mengangguk mengiyakan.
Tubuh ringkihnya yang beberapa hari ini turun beberapa kilo mulai diangkat perlahan oleh sang ayah disana untuk didudukkan di atas kursi roda yang sudah pihak rumahsakit siapkan disana. Benar kata sang ayah, agaknya ia tak akan bisa berjalan sejauh itu untuk sampai ke parkiran mobil yang akan ia naiki nantinya.
Pandangannya terpatri pada sosok kakaknya yang masih sibuk dengan beberapa barang bawaan disana. Otaknya sedikit berpikir bagaimana ia dan sang kakak nantinya di rumah. Akankah hubungannya yang tiga tahun belakangan ini bisa diperbaiki setelah hari ini? Atau justru hubungan itu akan semakin buruk sebab gertakannya tempo hari pada sang kakak? Tak ada obrolan lagi setelah hari itu sampai hari ini, ia masih enggan untuk berbicara pada sang kakak disana, mungkin sang kakak juga berpikir sedemikian.
Kursi roda yang ia duduki ini mulai didorong perlahan oleh Pras—–sang ayah, disana. Ibu dan kakak satu satunya itu juga mulai berjalan dibelakang sang ayah dengan beberapa barang bawaan selama tiga hari didalam sini. Ia bersumpah tak akan mau lagi untuk menginap disini, lebih baik memesan tiket di hotel dan menginap disana bukan? Mungkin sesampainya nanti ia dirumah, ia akan segera menghubungi sang sahabat yang mungkin saat ini sedang pusing di kelas dengan dosen killer yang ditakuti seluruh mahasiswa di kampusnya itu.
Beberapa menit berlalu, kini ia sudah duduk di kursi penumpang bersama sang ibu disana. Kepalanya ia letakkan pada bahu sang ibu dengan lirih, agaknya ia masih merasa sedikit pusing kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI ANTARA KEBIMBANGAN
Teen Fiction" Should we fight, or let it go? Or watch this love fade and flow, Ngel?"