Perdebatan Panjang

473 82 8
                                    

" Aku mohon jangan menghindar lagi. Kapan selesainya kalau kamu menghindar terus?"

Hanya helaan nafas yang Arkenzee dengungkan disana sembari menatap sosok kekasihnya yang hampir tujuh hari ini tak ia temui. Sosok kekasihnya yang sedang duduk di bangku kemudi milik Arkenzee disana, sosok kekasih yang sedikit ia paksa untuk mau duduk dengannya di dalam mobil miliknya ini.

Helaan nafas juga masih didengungkan oleh Christy disana, netranya hanya menatap jendela mobil milik Arkenzee tanpa mengalih." Apa yang mau diselesain, kak?"

Kekehan hambar Arkenzee lontarkan disana dengan lirih," Kamu lupa atau pura pura lupa sih?"

Punggungnya ia senderkan pada kursi dibelakangnya tatkala tatapan Arkenzee menghunus di bola matanya. Tatapan yang penuh artian disana, tatapan yang penuh dengan tuntutan jawaban, tatapan menyerah yang dipaksa untuk kuat. Christy tau, Christy tak pura pura lupa, ia tau arah pembicaraan ini akan kemana.

" Kamu masih mau sama aku engga sih, Christy?"

" Pertanyaan engga berbobot"

Arkenzee dekatkan dirinya dengan tatapan yang ia nyalakan pada netra Christy disana yang sedang tertuju juga untuknya," Engga berbobot? Aku engga mau merjuangin orang yang engga mau aku perjuangin. Bilang kalau udah engga mau sama aku. Biar kita, hubungan kita engga sia sia banget kayak yang kakak kamu omongin"

" Kenapa jadi bawa bawa cici disini?"

Tawa Arkenzee mengekeh disana dengan sedikit kencang," Loh, kan emang fakta."

Setapak dua tapak garis terlihat jelas mengerut dalam kening perempuan yang duduk bersandar dalam mobil ini. Punggungnya terlihat menegak dengan keterkejutan yang baru saja ia dengar beberapa detik yang lalu. Keterkejutan yang sama seperti tempo hari, keterkejutan yang sama dengan suara yang naik satu oktaf tempo hari, keterkejutan yang sama dari ia pada sosok laki laki dua puluh tiga tahun disampingnya ini.

" Udahan aja kita. Kamu udah beda" ucapnya pada kekasihnya

Arkenzee tatap lamat lamar sang kekasih disana dengan keterkejutan yang ia alami," Ringan banget ngomongnya, beneran udah engga mau sama aku?"

" Kamu udah beda" ucap Christy. " Kamu bukan Kak Zee yang aku kenal, buat apa diterusin?"

" Kamu yang beda, kamu" sergah Arkenzee disana

Kepalanya kembali dalam pelukan kursi mobil yang ia duduki ini, Christy pejamkan matanya disana setelah sergahan dari kekasihnya yang ia dengar baru saja. Pejaman mata yang kini mulai terlihat mengalir air dari dalam sana, pejaman mata yang dipaksa dipejam oleh sang puan untuk mereda semua gejolak di dadanya.

" Kita ini sebenarnya mau apa? Hubungan kita ini mau kemana?"

Masih dengan isakan yang sama, mata sang kekasih disampingnya enggan dibuka untuknya.

" Christy, kalau emang hubungan kita ini nyakitin kamu atau buat kamu dan keluarga kamu engga baik, kita beneran udahan aja ya?"

" Keluarga kamu juga engga baik baik aja soal ini, bukan keluarga aku aja" ucapnya lirih disana

Helaan nafas Arkenzee hembuskan lirih disana dengan tatapan lurus ke depan," Iya, maaf engga bisa buat hubungan kita baik"

Apa yang harus mereka pertahankan disini? Hubungan yang sulit ditembus untuk sepasang kekasih yang tak akan mau mengalah, apa yang harus diharapkan untuk hubungan semacam ini selain kata perpisahan?

" Aku anterin pulang"

" Untuk terakhir kali " lanjutnya

••°••

" Bentar, berhenti dulu sebentar. Aku mau ngomong"

Dengan isakan yang perempuan itu dengungkan disana, langkahnya ia bawa untuk berhenti didepan ruko dengan kursi panjang yang ada disana. Dirinya ia bawa untuk duduk disana dan menghabiskan air matanya yang tak mau berhenti terjun untuk laki laki yang sekarang ini tepat didepannya.

Laki laki itu berjongkok dengan kepalanya yang ia tundukan didepannya," Maaf, maaf untuk sekian tahun yang lalu"

Tak ada permintaan maaf yang dijawab disana, disana hanya ada ada isakan tangis yang masih samar terdengar ditelinga laki laki yang berjongkok didepannya ini. Wajahnya ia palingkan kemana saja asal tak memandang wajah laki laki didepannya ini. Wajah yang sangat ia hindari, wajah yang sangat ia tak sukai, wajah yang melukis luka sedalam ini padanya. Tapi sial, justru wajah ini yang setiap hari ia temui pada sosok malaikat kecilnya.

" Habis dari malam itu aku bersumpah buat engga lihat wajah kamu lagi kak, aku muak lihat kamu, aku benci lihat kamu, aku bener bener engga mau lihat wajah brengsek kamu itu" ucap Ashel lirih disana

Kepala yang sedari menunduk terangkat lirih juga untuk memandangi wanita dengan nafas yang masih berusaha diatur oleh sang puan disana.

Dua pasang mata itu bergerak dan berhenti untuk tumpang tindih disana," Sialnya, aku malah lihat itu setiap hari sekarang"

" Dia sekarang umur 4 tahun, wajahnya persis kamu, tapi dia baik dan engga brengsek kayak kamu" lanjutnya disana

Aldo anggukan kepalanya lirih disana, menyetujui apa yang perempuan didepannya ini katakan," Iya, aku emang brengsek. Aku pengecut, aku terlalu takut sama masa depan aku sampai aku lupa kalau kamu juga masih punya masa depan waktu itu"

" Cel, maaf. Aku bener bener ngerasa bersalah untuk tindakan aku ribuan hari yang lalu. Entah maaf aku ini bakal kamu terima atau engga setelah ribuan hari aku baru bisa ngomong ini ke kamu. Tapi, boleh engga aku ketemu sama dia sebentar aja?" lanjutnya disana

Entah respon apa yang harus Ashel berikan disana untuk laki laki dua tahun diatasnya yang berjongkok didepannya ini. Ia tak tau bagaimana menjawab sebuah permintaan yang sedari dulu ia takuti jika bertemu dengan laki laki didepannya ini. Permintaan yang mungkin akan kelu dijawabnya.

" Shel"

Laki dua puluh tiga tahun dan perempuan dua puluh satu tahun inipun menoleh bersama pada sosok perempuan yang kini mulai menghampiri Ashel dan menariknya dengan lirih disana.

" Ngapain sih disini? Michie nungguin kamu di mobil, ayo balik"

Tangannya mulai ditarik perlahan oleh perempuan yang sudah ia anggap sebagai kakak perempuannya ini," Kak bentar"

Indah menoleh kebelakang, menunggu lantunan kalimat yang akan didengungkan oleh perempuan yang ia ajak segera kembali ke mobilnya itu.

" Kamu mau ketemu sekarang?" tanyanya pada laki laki yang sedari tadi hanya berdiri memperhatikan ia dan Indah

Keterkejutan berhasil Indah rasakan disana dari lontaran empat kata yang disusun satu kalimat oleh perempuan yang ia ajak sedari tadi," Shel? Engga gini"

" Memangnya boleh?"

" ENGGA!"

Bukan, bukan Ashel yang menjawab. Pertanyaan pria itu dijawab oleh Indah disana dengan bentakan yang keras.

DI ANTARA KEBIMBANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang