Memang benar cinta pertama itu gak pernah tergantikan? Lalu lebih hebat mana dengan cinta terakhir?
Ini kisah Asa, laki-laki pecinta seni dan soto ayam harus melalui hidup penuh lika-liku setelah gadisnya pergi untuk menikah dengan orang lain.
Anoth...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hello~ selamat malminggggg
Yukk langsung baca aja haha
Jangan lupa yaww vote sebelum bacaaa
Makasihh hehe
Happy reading~
Sorotan mata laki-laki paruh baya itu terlihat kesal namun beliau berusaha menahannya.
"Akan saya cut off donatur itu!" Tegas Reynard dihadapan Saras dan beberapa petinggi, serta investor yayasan.
"Maaf, Pak. Tapi perusahaan ini menunjukan royalitas dengan memberi donasi full untuk tahap pertama pembangunan. Dan ini sangat langka." Ucap salah satu investor yayasan.
"Saya selaku investor di Yayasan Gayatra tidak setuju atas pencabutan donatur yang royal. Banyak relasi dengan beliau. Bapak akan rugi jika melepaskannya." Ucap yang lain.
Saras menjadi serba salah. Bahwa, Ayahnya itu baru tahu jika Perusahaan Damaisaloka milik Asa.
Reynard tampak berpikir, kerutan di wajahnya sudah terlihat jelas dengan kondisi yang semakin tua membuat Reynard tidak kuat memopong yayasan sendiri.
"Bisnis dan yayasan akan tenggelam jika kita melepas orang yang penting, Pak." Lanjut orang tersebut.
"Percepatkan pernikahan Saras dan Gilang."
Semua mata tertuju pada Saras yang dari tadi diam.
"Pa... jangan mengkaitkan masalah ini dengan pernikahan aku."
"Ini masih ada kaitannya dengan kamu!" Bisik Reynard menatap tajam Saras.
"Rapat dibubarkan!" Lanjut Reynard dan keluar ruangan lebih dulu.
Saras hanya menghembuskan nafasnya. Ia bingung harus bersikap bagaimana.
"Maaf, Miss Saras. Jika ada masalah personal dengan pemilik Damaisaloka tolong diselesaikan secara personal saja jangan dikaitkan dengan yayasan. Saya sudah lama menjadi investor dan kerja sama dengan Yayasan Gayatra. Jika kalian tetap melepas koneksi dengan Damaisaloka, kami akan pergi juga."
Mendengar ucapan investor yayasan tersebut membuat kepala Saras semakin linglung.
Kenapa rumit sekali?
🤍🤍🤍
Tatapan laki-laki itu sedang fokus pada laptop yang di depannya dengan jari yang terus bergerak memencet keyboard dengan teratur.
Tok tok!
"Masuk," ucap Asa sembari melepaskan kacamata dan mereganggkan tubuh di atas singgsananya.
"Maaf, Pak. Ada yang mau bertemu dengan Bapak." Ucap sekretaris Asa.
"Udah bikin schedule? Hari ini saya gak mau diganggu."
Wajah sekretaris tersebut sedikit takut dan hati-hati, "ini anak pemilik Yayasan Gayatra mau ketemu Bapak."
Sejak pertemuan mereka di Singapore, Saras sama sekali tidak menghubunginya padahal mereka sudah menjadi partner kerja.
Asa merapihkan pakaiannya dan posisi duduk. "Suruh beliau masuk."
Lalu sekretaris tersebut mempersilakan Saras masuk ke dalam ruang kerja Asa.
Kini mereka berdua dan duduk berhadapan.
"Saya gak bisa berbasa-basi karena saya gak punya banyak waktu. Jadi, apa mau Anda agar semua investor yayasan saya tetap loyalitas tanpa memikirkan perusahaan Anda?" Tegas Saras.
"Maksudnya?" Tanya Asa bingung.
"Anda sudah lama cemplung di dunia bisnis. Jadi, saya yakin ada tujuan khusus agar Anda bisa menjatuhkan yayasan keluarga saya sampai semua investor berempati dan memihak Anda."
Mendengar perkataan Saras, Asa sedikit tersinggung. Seakan-akan Asa orang paling jahat.
"Ini gak ada kaitannya dengan investor lain, Ras. Aku memang mau jadi donatur sekolahan kalian, selain itu aku mau membangun hubungan yang baik untuk kita. Bukan personal aja, tapi bisnis kita. Karena itu cara yang tepat untuk membuktikan ke kamu dan keluarga kamu kalo aku sungguh-sungguh."
"Sa, cukup!! Kamu kurang puaskah udah buat aku kaya gini?" Sudut mata Saras menahan air mata agar tidak jatuh.
Dari awal memang Saras sudah dipenuhi dengan emosional.
"Udah dua tahun harusnya udah selesai, Sa! Tolong beri aku ruang untuk hidup tenang tanpa bayang-bayang kamu! Aku muak, Sa!" Air mata itu akhirnya lolos dari mata Saras.
Sudah dua tahun Asa tidak melihat Saras menangis. Dan lagi lagi karena dirinya.
"Tolong berhenti. Buat semua seperti semula. Aku mohon."
"Ras... bener gak ada kesempatan untuk aku?"
"Aku gak mau berharap lebih sama kamu, Sa. Aku waktu itu masih terlalu muda dan bodoh, jadi sekarang Saras yang kamu lihat berbeda dari Saras yang dulu." Walaupun dengan nada tenang, setiap perkataannya diberi penekanan dengan mimik wajah Saras yang tegas.
Tanpa permisi lagi, Saras lekas keluar dari ruangan Asa.
🤍🤍🤍
"Ras, jadi mau yang mana?"
Tidak mendapat respons dari Saras, Gilang mencoba memanggilnya lagi, "Ras?"
Tetap sama, Saras hanya menatap lurus ke arah depan.
"Ras!" Akhirnya Gilang menepuk pundak Saras sampai sang empu tersadar.
"Eh— kenapa, Lang?"
"Kita lagi bahas undangan lho, Ras. Lo kenapa gak fokus, hm?" Tanya Gilang lembut.
"Oh! Yang putih boleh kok." Ucap Saras sembari melihat buku berisi contoh gambar-gambar undangan.
Gilang hanya mengangguk walaupun ia heran atas sikap Saras yang sering melamun.
Setelah dari tempat percetakan undangan, mereka memutuskan untuk ke rumah Saras.
Saat dalam mobil pun Saras masih banyak diam dan melamun.
Karena tidak mau semakin runyam, Gilang memutuskan untuk tidak bertanya. Ia malah menarik tangan Saras dan mencium punggung tangan Saras dengan matanya tetap ke arah jalanan.
"Jangan banyak pikiran, Ras. Harus happy ya." Ucap Gilang sembari menatap sekilas cincin yang terlihat cantik di jari manis milik Saras, cincin pertunangan mereka.
"Oh! Maaf ya gue banyak diam. Gue lagi pusing karena kerjaan." Ucap Saras tidak sepenuhnya bohong. Memang ia memusingkan pekerjaannya, termasuk Asa.
"Apa mau healing?"
"Gak perlu, Lang. Kita masih banyak kegiatan. Gue juga masih bolak-balik ke Singapore sebelum kita nikah."
"Yaudah kalo gitu setelah kita nikah sekalian honey moon." Gilang menggoda Saras dengan menaik-turunkan alisnya.
"Hahaha. Terserah."
Gilang tersenyum puas melihat tawa Saras. Akhirnya wanita itu bisa tertawa juga.