"Nak, kamu yakin?"
Wanita paruh baya di depannya menatap Farid dengan ragu. Ia sama sekali tak masalah harus menerima satu anak lagi di panti asuhannya, namun melihat Farid yang tampak tak yakin akan keputusannya membuatnya juga meragukan keinginan lelaki muda itu.
"Istri saya udah meninggal. Saya masih muda dan nggak punya pekerjaan tetap. Keluarga saya dan istri saya pun nggak ada yang mau nerima anak ini. Saya nggak bisa besarin anak ini sendiri." Jelas Farid pelan. Ia terus menunduk, menatap bayi perempuan yang sejak tadi tertidur di pangkuannya.
"Bayi ini baru sepuluh hari, dan saya udah frustasi untuk ngurusnya, saya nggak tahu harus gimana. Saya harap, Ibu mau nerima anak saya."
"Kami bisa nerima anak kamu dengan terbuka. Saya cuman nggak mau kamu menyesal."
Farid menggeleng, "Saya udah yakin dengan keputusan saya. Ini yang terbaik. Anak ini berhak dapat kehidupan yang lebih layak."
"Kalau anak ini diadopsi?"
Tanpa sadar, Farid menggenggam tangan bayi itu dengan erat. Pertanyaan itu terasa menyesakkan. Namun, yang ia lakukan hanya mengangguk. "Jika nanti anak ini diadopsi, tolong pastikan orang tua itu baik dan mampu untuk membesarkan anak ini."
"Udah tugas kami untuk menyerahkan anak-anak ke orang tua yang tepat."
"Terima kasih."
Farid lalu menggendong anaknya dan menyerahkannya pada wanita paruh baya itu. Setelah bayinya ada pada gendongan wanita itu, Farid langsung merasa kehilangan. Masih dengan mata sendu, ia tak lepas menatap bayi itu.
"Kamu boleh simpen nomer telpon kamu di sini, saya akan mengabarkan kalau ada apa-apa."
Farid menggeleng, "Nggak usah menghubungi saya." Karena dengan begitu, ia masih terhubung dengan anaknya. Farid tak ingin tahu mengenai anaknya, jika itu hanya akan membuatnya terus menyesali langkahnya.
Wanita itu menghela napas, "Ya sudah. Oh ya, nama bayi ini siapa?"
Farid terdiam. Bodoh, ia bahkan lupa memberinya nama. Ia pun terdiam sejenak, memikirkan nama yang tepat.
"Nadi. Namanya Nadi."
***
"Rid, lo masih waras, kan?"
Daus, teman satu indekos Farid menatapnya dengan raut khawatir. Melihat Farid yang sedang duduk merokok di teras indekos dengan tatapan kosong membuatnya khawatir.
Farid hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Sejak satu minggu ia meninggalkan Nadi di panti, ia tak pernah baik-baik saja.
"Sorry karena gue baru ngedatangin lo. Gue baru balik kampung kemarin. Turut berduka ya, Rid. Gue udah denger kalau Binar udah nggak ada."
"Makasih, Us. Maaf ya, kalau Binar ada salah sama lo." Farid tersenyum. Sejak Binar dan dirinya tinggal di indekos ini, istrinya itu sering terlibat adu omong dengan Daus karena hal sepele, entah itu Daus yang tak membuang sampah di tempatnya, atau pun kebiasaan lelaki itu yang selalu memainkan musik di malam hari sehingga mengganggu tidurnya.
"Sorry, Rid, kalau anak lo gimana sekarang?" Tanya Daus hati-hati.
"Gue titipin di panti asuhan." Balas Farid ringan.
"Rid, serius?" Daus menatapnya tak percaya.
Farid mengangguk, "Gue nggak bohong, ngapain juga bohong."
"Tapi itu anak kan udah lo sama Binar perjuangin bareng-bareng. Kalian aja sampe diusir sama keluarga kalian karena mutusin untuk nikah, kan?"
Iya, mau seberapa banyak orang yang tak menginginkan anak itu, tapi Nadi adalah hal yang ia dan Binar perjuangkan. Meskipun mereka sempat menyesalinya, tapi Nadi menjadi alasan untuk mereka bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadi | Seri Family Ship✅️
Fiksi UmumFarid melakukan kesalahan besar saat masa remajanya, dan mau seberapa besar usahanya untuk memperbaiki keadaan, semuanya tetap sama. Ada korban atas kesalahan bodohnya; Nadi. Begitu Farid memanggilnya. Dan hanya dengan melihat Nadi, perasaan bersal...