Sasa mengusap tempias hujan yang jatuh mengenai rambut. Gadis itu menggunakan jemari tangan yang kurus, berusaha menyisir bagian ujung kusut yang disebabkan angin.
Hari ini hujan turun, tapi tidak deras. Hanya saja, karena dicicil oleh langit, jadi hawa dingin pagi seperti dipangkatkan menjadi dua dan berkali-kali lipat dari yang seharusnya.
"Sa?" panggil seseorang.
Yang disebut namanya menoleh, menunggu gadis dengan bando merah untuk mendekat. "Lo di kelas ini ternyata?"
"Oh, Gita. Iya, Git. Gue di kelas ini."
"Nggak di unggulan?"
Sasa menggeleng. Dia yang memilihnya, menghindari sekelompok gadis yang ternyata masuk ke lokal itu. Tak mau mengulang tragedi saat kelas satu dahulu, Sasa meminta wali kelasnya untuk memindahkan diri ke kelas reguler.
"Yahh, sayang banget. Kita nggak ketemu." Gita menunjukkan wajah kecewa. Bibir kecilnya tertekuk sedikit dengan pupil melebar. "Padahal gue pengen bareng sama lo lagi."
Sasa memandang teman lamanya dengan wajah datar, lalu menggaruk pipi yang tidak gatal. "Yahh, gimana. Guenya di sini kata Bu Indah."
"Gue kira lo di unggulan. Pantes gue cari nggak nemu."
"Nggak, Git. Hehe."
"Yaudah kalau gitu. Kapan-kapan kita main bareng lagi ya."
"Oke."
Gita balik badan dan pergi meninggalkan Sasa. Gadis itu memandang jauh punggung temannya dan masuk ke dalam kelas. Ada mendung yang ikut tertular dari langit menuju dada. Ingatan tempo dulu menyebabkan senyum yang seharusnya ditampilkan Sasa menjadi murung. Dia lalu melanjutkan langkah untuk masuk ke kelas.
Suasana pagi tampak riuh. Beberapa siswa mengobrol ragam hal yang menyangkut di kepala mereka. Ada yang tertawa, ada yang sibuk menutur cerita. Sisa lainnya terjebak dalam bacaan buku atau ponsel yang mereka bawa.
Sasa mendaratkan bokong di kursi. Meletakkan tas dan duduk dengan nyaman, dia menampung wajah menatap ke arah jendela, dimana tepat di sebelah bahu kiri.
Lama ingatannya menggali, pertemuan dengan Gita memercik hal yang seharusnya tak perlu untuk dibahas. Tapi Sasa mana bisa mengendalikan ingatan, memori yang berusaha dia lupakan, muncul begitu saja ke permukaan.
Waktu itu dirinya kelas satu, masih polos, dan lugu. Soal pergaulan pun Sasa menerima siapa saja tanpa minimal syarat yang harus dia buat, dan bertemanlah dirinya dengan Gita. Gadis bando merah yang beberapa menit lalu baru saja menemuinya.
Gita baik, dia ceria dan tipe banyak bicara. Segala hal ditutur dengan lancar lewat bibir. Sasa yang memang tak banyak bersuara menyimak topik obrolan yang dibawa Gita dengan hati riang.
Sampai seorang laki-laki tampan berkarisma, yang memang selalu saja ada di tiap kehidupan para remaja, muncul di antara mereka.
Sasa menyukai Decky, begitu juga dengan Gita. Dan rasa-rasanya, semua orang di kelas bahkan satu angkatan sepata untuk menyukai laki-laki itu dan menjadikannya idola.
Tipe jiwa pemimpin yang pintar dalam pelajaran, olah raga, kaya, dan tentunya dingin. Kepada semua orang Decky jarang bicara, tapi lantaran satu kelas dengan Sasa, entah kenapa laki-laki itu mendadak mau mengobrol dengannya. Apa saja.
Mungkin karena kesukaan sama terhadap pelajaran matematika, keduanya menjadi akrab dan nyambung kalau mengorbrol, terlebih Ibu Decky juga berasal dari kampung halaman sama dengan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Pretty Like Blood In The Snow
Mystery / ThrillerSasa Bila jatuh cinta pada teman sekelasnya. Seperti kebanyakkan remaja laki-laki yang digambarkan menarik, Yudith memukau pada pandangan pertama. Namun, kisah cinta itu tidak berjalan mulus lantaran Yudith yang terasa berbeda dan aneh. Hingga di su...