19. Rasa takut

231 29 21
                                    

Jangan lupa apa? Ya, jangan lupa komen dan vote yaa, makin banyak komen makin rajin princess Charlotte update

***

Dua gelas teh panas dan rawon ditambah nasi. Sasa belum sarapan saat berangkat ke sekolah. Ketika Decky bertanya haruskah mereka makan terlebih dahulu. Sasa mengiyakannya dan di sinilah mereka berada.

"Gue sering langganan makan di sini. Rawonnya enak dan dagingnya banyak. Kapan-kapan lo juga harus coba mie ayam langganan gue sama temen-temen. Di situ juga enak, murah, dan porsinya banyak."

"Lo suka makanan yang porsinya banyak, ya?"

"Untuk kantung pelajar bukannya emang harus nyari tipe makanan yang kayak gitu, ya? Lo sendiri suka makanan fancy?"

"Nggak juga sih." Sasa menggeleng. "Gue juga nyarinya yang murah, banyak, dan enak. Agak nggak tahu diri, tapi gimana? Gue ngekos di sini dan harus berhemat biaya bulanan."

Decky tersenyum dan mulai memakan makanannya. Setelah banyak pertimbangan, Sasa akhirnya setuju dengan ajakan membolos Decky. Ini tak baik, mengingat keduanya bukan berasal dari anak berandal yang suka melewatkan jam sekolah. Apa yang Sasa pikirkan sebenarnya? Kalau boleh jujur, dia malu bertemu Yudith dan mungkin karena itu dia pikir hari ini sebaiknya tak usah ke sekolah saja.

Bahkan seragam yang keduanya kenakan cukup menarik perhatian pengunjung lain yang juga makan di sini. Tapi jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, memang masih jam sarapan. Namun, tak banyak orang di sini. Karena pelanggan yang biasanya berasal dari pegawai kantor, sudah mendaratkan kaki mereka di tempat kerjanya.

"Apa yang mau lo bilang?"

Sasa menyelesaikan sesi makannya. Tidak habis, kuah rawon yang hitam pekat itu masih menggenang, tapi Decky yakin daging di dalamnya sudah tandas. Nasi yang juga Decky pesan pun tak Sasa sentuh. Sayang sekali memang.

"Gue aja deh sini yang makan nasi lo."

"Eh?" Mata Sasa membola saat Decky mengambil piringnya dan menuangkan ke piring miliknya sendiri.

"Jangan mubazir, Sa. Petani susah payah nandur padi dan diolah sampe jadi nasi. Lo malah buang-buang aja."

"Gue nggak ada niat buang kok. Gue mau bungkus tadi."

"Oh, ya? Serius?" Decky agak kaget dan mulai merasa seperti maling sekarang. "Sorry, Sa."

"Enggak." Sasa tertawa pelan. "Gue bercanda tadi."

Matanya yang bengkak sekarang sudah mulai mengempis. Tapi disebabkan tawa, bengkaknya jadi kelihatan lagi. Decky yang melihat itu tersenyum sambil mengunyah nasi.

"Lo ada apa, Sa, sebenarnya? Kenapa lo nangis?"

"Kucing gue si Miko mati tadi pagi pas gue berangkat ke sekolah. Gue biasa kasih makan dia dan ganti pasir, tapi pas gue sentuh, Miko nggak gerak. Ternyata dia udah nggak bernyawa lagi. Jadi gue nangis sambil pake seragam dan rambut yang basah. Ada kalik setengah jam. Kepala gue sakit."

"Miko mati?" Decky berkata agak kaget dan penuh simpati. "Keracunan kalik, Sa."

"Tetangga gue Mbak Dewi juga ngomong gitu. Mungkin mati karena racun, tapi gue yakin kok dia nggak makan sembarangan. Gue selalu merhatiin makanannya. Yang gue beli aja makanan mahal."

Decky agak berpikir sebentar. "Ada luka nggak di badannya?"

"Gue lihat sekilas sih enggak. Dia baik-baik aja, cuma terlungkup gitu dan badannya keras. Mungkin udah sejak semalam Miko mati."

"Semalam?" Decky mulai menganalisa. "Semalam kandang kucing lo di dalem apa di luar? Dikerjain orang apa, ya?"

"Di dalem lah. Pintu juga gue kunci, nggak bakal ada yang masuk."

Your Pretty Like Blood In The SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang