13. Jatuh Cinta

89 11 2
                                    

Sasa tiba di sekolah lebih lambat dari biasanya. Semalaman suntuk gadis itu tidak bisa tidur dan terus terjaga menatap langit-langit kamar. Matanya baru menemukan lelap saat mendekati pukul tiga pagi dan Sasa beristirahat kurang dari dua jam.

Hal itu menyebabkan kantung matanya menghitam dan lemas saat berjalan memasuki sekolah. Begitu dirinya tiba di kelas, pemandangan pertama yang menyambut adalah Abit sedang mengobrol dengan Akbar.

Entah apa yang mereka bahas sampai Akbar tertawa terpingkal-pingkal. Mereka asik sendiri dengan dunianya, sementara satu orang lain yang biasa ada di sana juga, tidak tampak dimana pun.

"Yudith mana, ya?" tanya gadis itu. Jantungnya berdegup kencang karena menyebut nama sosok yang kemarin mengantar pulang.

Bayang-bayang laki-laki itu dan dirinya yang saling melumat membuat Sasa merasa tidak nyaman dan gelisah. Dia malu, bahkan sebelum berangkat saja, Sasa berkali-kali memejamkan mata sembari menyiapkan diri untuk bertemu dengan tukang gambar itu.

Apa yang nanti akan mereka lakukan? Bagaimana Yudith akan memandangnya? Bagaimana dia bersikap? Apakah akan seperti biasa? Atau justru sebaliknya.

Sasa gugup. Dia malu level seratus. Takut mereka terjebak dalam suasana canggung atau hal memalukan lain yang sulit Sasa bayangkan.

Begitu akan lanjut melangkah, seseorang menepuk bahu gadis itu dan membuatnya terperanjat.

"Sa?"

"Akhh!!" pekik pemilik nama yang membuat seisi kelas menatap ke arah gadis itu. Sasa menutup mulut dan langsung minta maaf. "Sorry, gue kaget."

Begitu berbalik, pelaku utama yang membuatnya menjerit lebih mengagetkan Sasa lagi.

"Yudith?"

"Lo nggak apa-apa?"

"A-ak-aku, eh, g-gue. Lo kenapa ad-ada."

"Seragam gue ketinggalan kan kemarin? Lo bawa?"

"Hah?" Wajah Sasa memerah. "Se-seragam? ..."

"Bawa nggak?"

"Nggak gue bawa, Dith. Ketinggalan, lagi dijemur juga."

"Lo cuci jadinya?"

Sasa mengangguk. "Habisnya kalo dibiarin nanti jadi bau dan lo pasti mau makek, kan."

Hari ini jadwal seragam sekolah untungnya memakai batik. Jadi Yudith tidak perlu khawatir bajunya sedang di jemur.

"Yaudah nggak apa-apa, pulang sekolah nanti gue ambil. Kita barengan, ya."

"Barengan apa, Dith?"

"Ya, pulang."

Sasa diam, matanya memperhatikan tampilan laki-laki itu, tampan macam biasa. Dengan wajah yang selalu saja menggoda untuk dipandang lama-lama.

"Tapi kalo lo mau pisah naik kendaraan lain nggak masalah sih," tambah Yudith lagi.

Sasa menjilat bibir bawahnya, dia ragu. Masih malu dengan kejadian kemarin, tapi memaksa berbicara. "B-bareng lo aja."

"Oke."

Yudith masih memperhatikan Sasa yang menunduk gelisah, gadis itu tampak tidak nyaman dan menghindari tatapannya, belum lagi pipi Sasa yang memerah menyebar sampai ke telinga.

"Sa?" panggil Yudith lagi.

"Ya?"

Laki-laki itu memegang dagu Sasa dan menaikkannya. "Bibir lo kenapa? Perasaan yang bagian bawah kemarin nggak luka."

"Oh." Sasa menolehkan wajah ke samping, melepas diri dari tangan Yudith. Gadis itu lalu menyentuh luka yang dimaksud dengan ujung jari.

"Lo jatuh lagi?"

Your Pretty Like Blood In The SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang