Hari minggu, jam sepuluh malam. Sasa terbentur sebuah soal yang membuat otaknya seperti terlilit tali tak kasat mata. Juling mata Sasa menatap ragam angka yang berubah jadi huruf dan huruf berubah menjadi angka. Semua terbalik-balik, tapi ini belum gila.
Karena hal yang lebih gila lagi, Sasa membayangkan salah satu simbol matematika yang ada di buku cetak lima ratus halaman itu, berubah menjadi martabak. Sasa lapar.
"Masih jam sebelas sih. Kayaknya oke untuk keluar."
Ada pilihan untuk memesan secara online, tapi Sasa mendadak ingin keluar sebentar melepas jenuh di bangunan kepalanya. Dia memakai jaket rajut tipis dan menuju ke persimpangan gang untuk membeli sendiri.
Pikirnya itu lebih cepat dan praktis. Menggunakan sepeda yang dia punya, Sasa melintasi jalanan menuju ke tukang martabak yang agak jauh keluar. Dia ingat kemarin ingin diet, tapi lapar tidak suka berdiskusi dengan empat huruf berawalan D itu.
Terserah kalau badannya sebesar tong setan. Sasa mau kenyang.
Dia memesan yang spesial, dengan kacang dan coklat. Agak sedikit maruk karena Sasa bilang pada pedagangnya, "Tambahin susu kental manisnya yang banyak ya, Pak."
"Nggak kemanisan, Neng?
Sasa tersenyum dan memberi jempol. "Nggak apa-apa."
Pulang dari membeli apa yang dia mau. Sasa melihat sebuah mobil terparkir di jalanan. Sekarang masih jam sebelas, tapi suasana sepi. Mungkin karena arah menuju kosannya memang jalanan yang jarang di lalui orang.
Aspalnya sudah banyak kroak, lubang dimana-mana. Jalur lain yang ada di sebelah jauh lebih mulus karena sudah mendapat jatah perbaikan dari pemerintah. Pengendara banyak memilih lewat sana meski memutar.
Seorang pria dengan wajah aneh menopang sebelah tangannya di jendela. Saat Sasa lewat, mereka bertemu pandang. Gadis itu hanya ingin melihat sekilas. Sampai tangannya menjulur dan mencolek bagian pinggang Sasa.
Gadis itu berhenti, lalu menatap galak.
"Apaan sih?"
"Kenapa lo nggak suka, Lacur?"
Terperangah Sasa, berdenging kupingnya mendengar bagaimana orang dengan mata terlalu runcing itu mengatainya. Kesal karena pengaruh lapar, Sasa memundurkan sepeda dan menghadapi orang itu.
"Maksud lo apa ngomong lacur, hah? Nggak sopan tauk."
Tak di duga, yang punya kendaraan keluar dan balik menantang Sasa. Matanya merah, seperti habis mengonsumsi sesuatu. Sasa yang tadi mencak-mencak mendadak mendapat naluri aneh dari tindak-tanduk bertanduk pria itu.
Dia mendekat dan Sasa yang masih di atas sepeda memutuskan memacu pedal lalu melesat pergi. Dia pikir ini akan berakhir, bertemu orang acak di jalan yang mulutnya pedas seharusnya dihindari, bukan dihadapi. Sasa lupa dia tipe penakut dan cengeng.
Jadi ketika melihat mobil milik pria aneh itu melaju di belakangnya. Sasa makin panik. Tak peduli sekuat apa gadis itu menggoes, dia tetap akan tersalip oleh orang itu.
Sasa di tabrak. Punggungnya melenting ke depan dengan sepeda yang dikendarainya jatuh tersungkur. Sasa panik, napasnya megap-megap.
Orang itu sepertinya memang sedang ingin mencari masalah, kebetulan Sasa lewat dan dia menjadi sasaran. Rambut Sasa ditarik dan kepalanya ditinju dengan kuat. Sasa menjerit, berusaha melepaskan diri.
Dia diseret untuk disembunyikan di samping mobil yang berlawanan dari jalur lintas, lalu kembali dipukuli. Tak hanya itu, pria aneh calon penghuni neraka di depannya juga mulai menarik kaos yang Sasa kenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Pretty Like Blood In The Snow
Gizem / GerilimSasa Bila jatuh cinta pada teman sekelasnya. Seperti kebanyakkan remaja laki-laki yang digambarkan menarik, Yudith memukau pada pandangan pertama. Namun, kisah cinta itu tidak berjalan mulus lantaran Yudith yang terasa berbeda dan aneh. Hingga di su...